Ekranisasi adalah suatu istilah yang berasal dari Bahasa Prancis dan memiliki arti layar. Istilah tersebut sering dipakai dalam studi pengkajian karya sastra. Menurut Sapardi Djoko Damono, ekranisasi didefinisikan sebagai pengalihan karya seni dari suatu wahana ke wahana lainnya, disebut juga alih wahana. Oleh karena itu, film ekranisasi adalah suatu alih wahana dari karya sastra yang diadaptasi menjadi film.
Tanggal 30 Maret ditandai dengan lahirnya film nasional pertama di Indonesia, berjudul Sangkuriang. Kelahiran film nasional tersebut ditetapkan menjadi Hari Film Nasional yang dirayakan setiap tahun untuk mengapresiasi film-film Indonesia.
Banyak perkembangan yang terjadi, baik dari peningkatan kualitas cerita hingga kualitas teknis produksi film. Tema yang diangkat juga beragam dan berani, terutama isu-isu terkait perempuan yang terkadang masih tabu untuk dibicarakan.
Sehubungan dengan perayaan Hari Perempuan Internasional tanggal 9 Maret lalu, penulis memaparkan 5 rekomendasi film ekranisasi novel edisi perjuangan perempuan sebagai berikut.
1. Bumi Manusia (2019)
Film garapan Hanung Bramantyo yang rilis tahun 2019 merupakan adaptasi dari novel Tetralogi Buru yang berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Film ini mengisahkan kisah cinta Minke (seorang pribumi) dan Annelise (seorang perempuan Indo), seperti novel aslinya.
Menurut saya, film ini cukup apik dalam memvisualisasikan cerita dari novel Bumi Manusia. Permasalahan tentang diskriminasi yang terjadi pada pribumi, isu mengenai perkawinan silang atau pergundikan, serta perjuangan Nyai Ontosoroh yang dicurigai terlibat dalam kasus kematian suaminya sendiri.
Film ini memberikan pandangan baru terhadap isu pergundikan serta stigma yang melekat pada sosok “Nyai”. Baik dalam buku maupun film, sosok Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang perempuan mandiri, pintar, dan tangguh. Hal ini terlihat dari cara Nyai Ontosoroh mengatur keuangan dan perdagangan milik suaminya.
Adegan yang paling berkesan bagi saya dari film ini adalah saat Nyai Ontosoroh diadili dalam persidangan atas kematian suaminya sendiri. Ia begitu berani dalam menghadapi orang-orang Belanda dan berjuang setengah mati agar mendapatkan hak asuh anaknya, Annelise.
Lakon Ine Febriyanti, selaku pemeran Nyai Ontosoroh, mencuri perhatian penonton dengan aktingnya yang apik. Ia berhasil menghidupkan karakter Nyai Ontosoroh yang tangguh dan mandiri.
2. Imperfect (2019)
“Meng-upgrade mindset jauh lebih penting daripada meng-upgrade fisik. Sesempurna apapun fisik kita, kalau diam-diam mindset kita tetap meragukan dan menjatuhkan diri sendiri, kita akan tetap tersiksa. Sometimes, we are own worst enemy!” (hlm. 59)
Kutipan di atas berasal dari novel karya Meira Anastasia yang berjudul Imperfect. Novel Imperfect menceritakan pengalaman pribadi Meira tentang proses penerimaan diri. Novel tersebut pun diadaptasi menjadi sebuah film berjudul sama yang disutradarai oleh Ernest Prakasa.
Tidak begitu jauh berbeda dari versi novelnya, garis besar cerita dan tema yang diangkat dalam film masih tentang proses penerimaan diri. Film ini menceritakan seorang perempuan bernama Rara yang mengalami perilaku tidak menyenangkan dari lingkungan kerjanya karena penampilannya yang “tidak sesuai” dengan standar kecantikan pada umumnya.
Film Imperfect menunjukkan diskriminasi yang dialami perempuan dalam lingkungan pekerjaan karena alasan yang tidak masuk akal, seperti penampilan, tipe tubuh, dan warna kulit. Padahal nilai perempuan tidak hanya terletak pada kecantikan, namun juga kecerdasan dan kemampuannya dalam hal pekerjaan.
Perkembangan karakter Rara dalam proses penerimaan diri juga bisa dikatakan sangat akurat dan realistis. Fase-fase kehidupan yang Rara alami seperti fase penolakan, fase perubahan diri, lalu fase penerimaan telah memberikan pelajaran berarti bagi penonton film Imperfect.
Baca juga: Kritik Sosial dalam Karya Seni : Rupa Perempuan dalam Wajah Kolase Dunia Maya
3. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020)
Film berjudul Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) yang disutradarai oleh Angga Sasongko merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Marchela F. P. Meskipun film ini termasuk dalam film adaptasi, ternyata ada perbedaan versi di antara keduanya, loh.
Dalam versi novel, NITCHI dibuat berdasarkan kumpulan dari pengalaman banyak orang. Tokoh Awan sebagai seorang ibu yang menulis surat untuk anaknya di masa depan, ia bercerita tentang sedih, bahagia, dan rasa takut manusia.
Angga Dwi Sasongko, selaku sutradara yang mengembangkan tokoh Awan dengan penambahan tokoh lain seperti Angkasa, Aurora, dan kedua orang tuanya. Alur cerita dalam film ini juga merupakan hasil pengembangan dari konsep buku yang diadaptasi.
Film ini berpusat pada keluarga Awan yang tampak sempurna dan bahagia, namun memiliki rahasia yang tersembunyi. Selain itu, film ini juga mengangkat suatu permasalahan tentang proses kegagalan dan bangkitnya Awan dalam menjalani kehidupan. Tema yang relateable dengan kehidupan keluarga generasi milenial.
4. Bird Box (2018)
Masih dengan tema perjuangan seorang ibu, Birdbox merupakan film adaptasi dari novel berjudul sama karya Josh Malerma. Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang ibu yang menyelamatkan keluarga kecilnya dari ancaman bunuh diri oleh mahluk tak kasat mata.
Malorie dan kedua anak balitanya berlindung dalam sebuah rumah untuk menghindari serangan makhluk tersebut. Suatu hari, mereka bertiga pergi untuk mencari tempat yang digadang-gadang aman dari ancaman makhluk tersebut. Selama perjalanan, Malorie dan anaknya berjalan menyusuri hutan dan sungai dengan kain penutup mata.
Adegan paling memorable bagi penulis dalam film ini adalah saat Malorie dan kedua anaknya berada dalam sebuah perahu untuk menyusuri sungai. Saat itu, Malorie harus memilih satu dari kedua anaknya untuk melihat sungai agar membantu mengarahkan perahu yang dia bawa. Penasaran siapa yang akhirnya Malorie pilih?
5. The Hunger Games (2012)
Berlatar pada sebuah negara terpencil bernama Panem yang memiliki 12 Distrik untuk mengklasifikasikan strata penduduk negara tersebut. Distrik 12 merupakan distrik terakhir dengan mayoritas penduduknya seorang penambang batu bara. Pada distrik inilah, Katniss beserta adik dan ibunya tinggal.
Setiap tahunnya, pemerintahan Panem menyelenggarakan sebuah kompetisi maut yang bernama The Hunger Games. Dua peserta dipilih secara acak dari setiap distrik, sayangnya, adik Katniss yang masih kecil justru menjadi peserta yang terpilih. Katniss yang tidak ingin adiknya mati dalam kompetisi tersebut, pada akhirnya ia meminta agar bisa menggantikan posisi adiknya secara sukarela. Saat itulah perjuangan seorang gadis 16 tahun, dimulai.
Kompetisi ini ditayangkan secara langsung melalui televisi, sehingga kemampuan pertahanan hidup saja tidak cukup untuk disukai oleh sponsor dan penonton. Berbekal kemampuan memanahnya yang baik serta keberanian yang besar, membuatnya disukai dan didukung oleh banyak penonton. Meskipun begitu, ia tetap memperjuangkan keadilan untuk keluarganya yang berasal dari distrik 12, sebuah distrik terbelakang di negara tersebut.
Gimana, sudah menemukan film pilihan yang akan kamu tonton minggu ini? Selamat Hari Film Nasional dan selamat menonton film nasional yang berkualitas!
Baca juga: Bagiku Maafku, Bagimu Maafku (Juga)
Penulis: Salsabila Izzati Alia
Editor: Laksita Gati Widadi