Sastra tidak semata-mata hadir sebagai karya estetis yang memikat melalui keindahan bahasa, tetapi juga sebagai sarana untuk menyuarakan kebebasan. Sejak periode Klasik Yunani dan Romawi sampai periode modern sekarang sastra menjadi media kritik sosial, serta meneguhkan eksistensinya. Sastra berperan penting dalam memanusiakan manusia dan membebaskan individu dari belenggu sistem yang represif. Sebagaimana halnya Rendra yang terus membentangkan sayap meraknya di tengah pemerintahan otoriter Orde Baru atau Kafka yang terus mencoba bertahan hidup di tengah kehidupan kelamnya.
Film Dead Poets Society (1989) karya sutradara Peter Weir menjadi representasi yang kuat mengenai peran sastra dalam membebaskan individu dari kungkungan sistem. Berlatar di Welton Academy, sebuah sekolah konservatif yang menjunjung tinggi tradisi, disiplin, dan prestise, film ini menghadirkan sosok John Keating, seorang guru sastra yang memantik murid-muridnya untuk berani berpikir bebas melalui puisi. Dengan semboyan carpe diem “seize the day” Keating menanamkan semangat emansipasi diri yang tampak pada kisah Neil Perry, Todd Anderson, dan Knox Overstreet. Namun, idealisme kebebasan ini berbenturan dengan otoritas sekolah dan nilai-nilai konservatif yang justru mencerminkan logika utilitarianisme.
Konsumsilah Puisi Sama Seperti Santapan Siangmu
Utilitarianisme sebagai teori etika normatif menekankan prinsip kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak, sehingga tindakan dinilai benar bila menghasilkan manfaat kolektif. Ketika Jeremy Bentham mengemukakan pemikirannya pada saat itu, Utilitarianisme dapat dikatakan pemikiran yang revolusioner karena ketika itu kebahagiaan hanya milik sebagian kecil orang kelas atas dan orang-orang yang dinilai beriman.
Peter Weir dalam film Dead Poets Society memperlihatkan kekurangan dalam pemikiran utilitarianisme ini, di dalam filmnya Peter Weir memperlihatkan bagaimana prinsip mengutamakan kebahagiaan mayoritas membuat akhirnya mementingkan kebahagiaan sebagai individu dapat dilihat sebagai sebuah kekeliruan.
Welton Academy tidak hanya memberikan pendidikan akan tetapi sebuah janji bahwa siswanya mendapat jalan yang mulus menuju masa depannya, diterima di universitas-universitas Ivy League yang mempermudah mereka mendapatkan kehidupan “mapan” di kemudian hari, dengan pekerjaan yang stabil, dengan membangun keluarga, dan seterusnya.
Kehidupan mapan seperti itu memang banyak orang yang menginginkannya terlebih dari orang tua yang sebelumnya mengalami kehidupan yang sulit. Namun, kadang ketika mencoba memberikannya kepada anak kita lupa menanyakan “apakah dia menginginkannya?” ataukah tidak, karena kita hanya membayangkan tindakan tersebut dapat memberikannya kebahagiaan terbanyak tapi kan belum tentu juga. Kebanyakan orang memang menginginkan kehidupan yang mapan dengan pendapatan yang stabil dan seterusnya tapi tidak dapat dipungkiri beberapa orang sudah merasa mapan dengan pendapatan yang stabil meski tidak begitu tinggi, tapi tidak semua orang bisa memahaminya.
Baca juga: Ibu, Ojol, Penulis: Tiga Peran, Satu Nama
Dead Poets Society mencoba memberikan hal itu melalui sistem sekolah yang mengedepankan kebahagiaan terbesar bagi kebanyakan orang dan seorang guru yang memberikan perlawanan terhadap sistem tersebut dengan menginspirasi siswanya untuk mencari kebahagiaan bagi mereka sendiri.
Mr. Keating mengajarkan kepada siswa-siswanya sastra sebagai media aktualisasi diri tidak hanya sebagai sebuah mata pelajaran di sekolah dengan pengertian yang ditulis oleh seorang akademisi. Pada pertemuan pertamanya di kelas, Mr. Keating langsung menyuruh siswanya merobek pengertian tentang puisi yang ditulis di buku pelajaran dan mengajarkan kepada siswanya kalau menulis puisi merupakan bagian dalam hidup.
Siswa-siswanya kemudian menemukan sebuah catatan tentang Mr. Keating yang di dalamnya terdapat catatan tentang Dead Poets Society. Catatan itu menceritakan sebuah kelompok beranggotakan Mr. Keating dan kawan-kawannya yang lain yang memiliki kegemaran terhadap puisi, mereka pergi ke sebuah gua dan saling bergiliran membaca puisi. Hal itu menginspirasi mereka untuk mendirikannya kembali dan membuat Neil Perry menetapkan keinginannya menjadi aktor.
Neil Perry sayangnya tidak mendapat izin menjadi aktor dari ayahnya, ayahnya menganggap menjadi aktor merupakan tindakan yang tidak berguna. Menurutnya Neil seharusnya sudah tidak memikirkan sesuatu seperti itu dan memikirkan masa depannya saja. Namun, ayahnya malah tidak memikirkan perasaan Neil. Ia tidak memikirkan kebahagiaan dari anaknya sendiri, kebahagiaan yang anaknya inginkan, bukan kebahagiaan yang ia rencanakan.
Konflik ini mencapai puncaknya ketika Neil dipaksa untuk keluar dari pementasan. Keputusan ayahnya adalah tindakan utilitarian yang brutal: mengorbankan kebahagiaan sejati seorang individu demi apa yang dianggap sebagai kebaikan jangka panjang yang lebih besar. Sistem tidak menyediakan ruang untuk negosiasi. Neil dihadapkan pada pilihan yang mustahil: membunuh mimpinya atau mengkhianati seluruh sistem yang telah membentuknya. Tragedi bunuh dirinya adalah lonceng kematian bagi logika utilitarian yang buta. Sistem yang dirancang untuk memaksimalkan kebahagiaan justru menciptakan penderitaan terbesar yang tak terbayangkan.
Baca juga: Melihat Film “Sore: Istri dari Masa Depan” melalui Pengalaman Penonton
Karena Kau Akan Kehilangan Dirimu Ketika Tidak Mendapatkannya
Kematian Neil Perry menjadi bukti paling tragis bahwa “kebaikan terbesar untuk jumlah orang terbanyak” bisa menjadi tirani yang mematikan ketika ia menuntut pengorbanan mutlak dari individu yang dianggap minoritas. Neil adalah korban dari sebuah sistem yang pandai berhitung tetapi tidak mampu merasa. Sebuah sistem yang melihat manusia sebagai angka dalam sebuah persamaan, bukan sebagai jiwa yang mendambakan kebebasan. Tragedinya mengekspos kelemahan fundamental utilitarianisme: bahwa ada nilai-nilai—seperti gairah, jati diri, dan hak untuk memilih jalan hidup sendiri—yang tidak bisa dan tidak boleh dikorbankan di atas altar kebahagiaan kolektif.
Penulis: Rihan Athsari
Editor: Azila Fitria Ramadhani