RASISME: PETAKA UNTUK CLARA

Cerminan Sastra Peristiwa merupakan satu bagian dari bagian lain yang berkaitan dengan sosiologi sastra. Melihat imajinasi seseorang berasal dari zaman, mengingatkan akan ungkapan “penulis sering disebut dengan pelayan zaman”. Ya, karena mereka terinspirasi dari beragam peristiwa. Cerpen yang terpilih kali ini ialah “Clara” yang dikaji dengan pendekatan Marxisme. Cerpen ini pun merupakan representasi dari peristiwa tahun 1998 dengan menentukan korelasi antara fakta dan fiksi menggunakan Model Refleksi.

Marxisme, Apa Itu? 

Mari kita bahas dulu Marxisme. Kentalnya pertentangan kelas dan pergerakan buruh menjadi fokus utama pendekatan ini. Marxisme adalah aliran pemikiran yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Frederick Engels dalam buku mereka yang berjudul The German Ideology. Marxisme sebenarnya merupakan teori tentang ekonomi, sejarah, masyarakat, dan revolusi sosial. Dalam perkembangannya, marxisme sering kali digunakan sebagai dasar analisis sastra, sehingga muncul istilah sosiologi sastra marxisme. Dibandingkan dengan teori sosial lainnya, teori sosial Marx menduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai sosiologi sastra (Faruk, 2003: 5).

Nah, cerpen Clara yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma (2014) dikupas menyeluruh dari dua sisi, struktur maupun sosiologi sastra. Pada hakikatnya, seluruh karya sastra harus dikenali pembentuk otonom teksnya. 

Cerpen Clara ini menceritakan seorang perempuan bergaris keturunan Tionghoa yang harus mengalami segala macam bentuk kemalangan akibat diskrimnasi yang terjadi pada tahun 1998. Dengan tema permasalahan diskriminasi etnis yang pernah terjadi di Indonesia, Seno mengungkapkannya dengan dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, tokoh Aku sebagai Clara. Lalu, tokoh Aku sebagai penerima laporan dari Clara. Seluruh tokoh dalam cerita pun mudah dirasakan karakteristiknya. Dendam, kasih sayang, tegar, tangguh, masing-masing tokoh punya karakter yang tegas. 

Telepon Clara berdering, “Jangan pulang.” Clara tidak menurutinya. Suasana yang menegangkan menjadi latar yang membersamai kejadian menyedihkan Clara. Ia harus mengorbankan hal berharga kepada para pelaku diskriminasi di tengah Tol, tengah malam pula. Malam itu juga, Clara kehilangan keluarganya. Dengan ketangguhan hatinya, Clara melaporkannya. Dalam keadaan yang genting ini pun, kebinatangan seorang pembuat laporan sedang berusaha ditekan oleh pribadinya.

Baca juga: Menerka Pikiran Wisran Hadi dalam Naskah “Nyonya-Nyonya

Sembilan Gagasan Lukacks dalam Cerpen Clara

  1. menunjukkan hal implisit (tidak terlihat), dimana karya realis yang didukung kreatifitas pengarangnya dapat menggeserkan stereotype sebelumnya. “Seno seolah-olah ingin menumbuhkan pola pikir kritis dan sikap skeptis pembaca dalam memaknai tragedi 1998 yang menjadi latar belakang cerita.”
  2. memandang realitas secara utuh, penciptaan cerpen tersebut bersandar pada kenyataan dan pandangan atau pola pikir masyarakat saat itu.
  3. kreasi total kesadaran manusia, sastra sebagai media, guna membangun kesadaran pembacanya. Hal ini pun harus mempertimbangkan pola pikir masyarakat pembacanya.
  4. refleksi artistik atas realitas, pengungkapan ulang sejarah dengan memenuhi estetika seni yang imajinatif.
  5. ungkapan kritis emansipatoris, objektifitas dalam penyampaian kalimat, sehingga tidak terlihat adanya unsur keberpihakkan.
  6. tatanan humanis seni realis, menunjukkan sisi keprihatinan terhadap realitas melalui cerpen Clara.
  7. dehumanisasi: keprihatinan realisme sosial, realitas yang ditunjukkan pada zaman orde baru mengenai sikap Pribumi yang brutal kepada kaum Tionghoa.
  8. demokrasi-humanisasi: tatanan masyarakat realis, penciptaan karya untuk membuka pikiran agar dapat memahami peristiwa dari berbagai sudut pandang.
  9. fakta dan fiksi, etnis Tionghoa yang didiskriminasi, kebrutalan Pribumi, streotype masyarakat mengenai Komunisme dan Atheisme, tragedi 1998 adalah tragedi SARA, dan krisis ekonomi. 

Kesembilan gagasan tersebut mampu memberikan gambaran konkret karya sastra sebagai cerminan sejarah. Permasalahan internal pemerintah berdampak pada perekonomian Indonesia. Hal ini mengundang mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa sehingga kerusuhan besar terjadi. Kemarahan Pribumi pun terpancing dengan membakar rumah-rumah dan menyebabkan korban luka, terutama kaum Tionghoa. Mereka beranggapan bahwa kaum Tionghoa yang menjadi penyebab perekonomian memburuk.

Hal-hal rasisme, kepercayaan, kejujuran, dan keobjektifan menjadi unsur penting yang ingin disampaikan Seno kepada pembacanya. Sikap-sikap yang digambarkan para tokoh merupakan pesan dan amanat untuk kita membuka mata. “Setiap makhluk hidup, layak untuk hidup.” Atau kasarnya, “menurut ilmu hewan, katanya binatang pun tidak pernah memperkosa.”

Baca juga: Sudahkah Anda Berbahasa Ibu Hari Ini?

Penulis: Iin Haryani Subadri