Melampaui Halaman Buku: Biblioterapi dan Kekuatan Dialog untuk Kesehatan Jiwa

Dalam riuh rendahnya kehidupan, tekanan akademik, ekonomi, dan gejolak sosial, kesehatan mental sering kali menjadi isu yang luput dari perhatian. Kita begitu sibuk mengejar target, bersaing, atau bertahan hidup, hingga lupa batin kita juga butuh istirahat. Ada keresahan yang membayangi: mengapa di tengah segala kemudahan informasi dan teknologi, kita masih merasa sendirian, cemas, atau hampa? Seolah-olah, kita telah membangun dunia yang serba terhubung, namun pada saat yang sama, kita semakin terasing dari diri kita sendiri. 

Keresahan ini tidak hanya menjadi masalah pribadi, tetapi juga tantangan bagi sistem kesehatan mental kita. Stigma, keterbatasan akses, dan biaya menjadi dinding tebal yang menghalangi banyak orang untuk mencari pertolongan profesional. Di tengah semua hambatan ini, ada sebuah cara sederhana, mandiri, dan mudah dijangkau untuk mulai merawat kesehatan jiwa. Hal tersebut yaitu biblioterapi—sebuah pendekatan yang menggunakan buku bukan hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai media untuk menyembuhkan. 

Angka Kesehatan Mental di Indonesia Merupakan Keseriusan

Keresahan kesehatan mental bukanlah ilusi. Faktanya, menurut Survei Kesehatan Mental Remaja Indonesia National Adolescent Mental Health Survey atau (I-NAMHS) tahun 2022, masalah kesehatan mental memengaruhi 15,5 juta remaja, atau sekitar 34,9% dari populasi remaja. Selain itu, data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa satu dari tujuh anak berusia 10 hingga 19 tahun memiliki masalah kesehatan mental. 

Namun, stigma negatif dan keterbatasan akses menjadi hambatan utama bagi masyarakat Indonesia dalam mengatasi masalah kesehatan mental. Berdasarkan survei Lembaga Psikologi Indonesia tahun 2025, sebanyak 60% penderita depresi enggan mencari bantuan profesional karena takut dicap “lemah” atau “tidak stabil”. Stigma ini diperparah oleh budaya tabu yang masih kuat, terutama di pedesaan, yang membuat diskusi tentang isu psikologis menjadi sangat sulit.

Selain itu, akses terhadap fasilitas kesehatan mental yang memadai sangat terbatas. Menurut data BPJS Kesehatan 2025, hanya 10% fasilitas kesehatan mental di Indonesia yang memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan sebagian besar fasilitas tersebut terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali. Akibatnya, pasien di daerah terpencil sering kali menghadapi tantangan berat, bahkan harus melakukan perjalanan hingga 4-6 jam untuk bisa menemui psikiater terdekat.

Biblioterapi Solusi Sederhana di Tengah Kompleksitas Masalah Kesehatan Jiwa

Dengan kondisi ini, di antara berbagai metode penanganan yang ada, sebuah praktik sederhana sangat relevan dan banyak digunakan untuk terapi kesehatan mental—biblioterapi. Praktik sederhana ini tidak memerlukan biaya besar, bisa dilakukan di mana saja, dan tidak menuntut pengakuan terbuka tentang kondisi mental. Dibandingkan dengan sistem kesehatan yang masih memiliki banyak keterbatasan, biblioterapi dapat menjadi langkah awal yang aman dan mandiri bagi individu untuk mulai merawat kesehatan jiwanya.

Biblioterapi bukanlah sekadar membaca untuk mengisi waktu luang, melainkan sebuah dialog yang disengaja antara pembaca dan teks untuk merawat jiwa. Konsep ini diperkuat oleh Hynes & Hynes-Berry (2019) dalam sebuah penelitian berjudul Efektivitas Penerapan Biblioterapi Dalam Kesehatan Jiwa: Scoping Review yang mendefinisikannya sebagai “proses interaktif”. Dalam konteks ini, buku berfungsi sebagai intervensi psikoterapi (biblioterapi), yang menggunakan bacaan untuk mengatasi masalah pribadi atau mencapai tujuan terapeutik.

Baca Juga: Membebaskan Diri, Menyembuhkan Jiwa Lewat Menulis


Apa yang Membedakan Biblioterapi dengan Membaca untuk Hiburan?

Dheka Dwi Agustiningsih, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia menjelaskan perbedaannya secara tegas: “Biblioterapi tujuannya terapeutik, dirancang untuk membantu individu memahami dan mengelola emosi atau konflik batin tertentu. Sementara itu, membaca untuk hiburan tujuannya rekreatif.” (6/10/2025)

Biblioterapi bekerja dengan cara yang lebih mendalam. Di Indonesia, praktiknya bahkan sudah menunjukkan hasil nyata. Dheka memberi contoh, Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan metode ini pada anak-anak yang sedang menjalani perawatan. Hasilnya, terjadi penurunan respons maladaptif pada anak-anak saat dipasang infus. Hal ini membuktikan bahwa buku, ketika digunakan dengan tepat, memiliki kekuatan lebih dari sekadar cerita.

Biblioterapi Bukan Alat Penyembuh, Melainkan Proses Ko-Kreatif

Penting untuk memahami bahwa efektivitas biblioterapi tidak datang begitu saja dari teks itu sendiri. Ia bukanlah sebuah “pil ajaib” yang bisa langsung menyembuhkan. Ibu Dheka mengkritik pandangan instrumentalistik yang melihat sastra hanya sebagai alat untuk tujuan emosional tertentu. Pendekatan seperti ini berisiko mengabaikan kebebasan interpretasi pembaca.

Sebaliknya, efektivitas biblioterapi terletak pada sifatnya yang ko-kreatif. Teks hanya menyediakan ruang, dan pembaca—dengan pengalaman, emosi, dan sudut pandangnya—yang membangun makna dari ruang tersebut. Inilah yang disebut dengan agensi pembaca, sebuah kemampuan untuk menafsirkan, menegosiasikan, bahkan menolak makna dalam sebuah teks.

Dheka setuju dengan pandangan Edsel Parke dalam Reader Agency and Literary Instrumentalising: Bibliotherapy Amid Empirical Studies of Reception 2024 , yang mengkritik pendekatan biblioterapi tradisional yang memandang bacaan atau sastra hanya sebagai “alat” untuk memperbaiki kondisi psikologis pembaca misalnya, sebagai pelipur lara atau sarana penyesuaian emosi. Sebaliknya, Parke menekankan pentingnya agensi pembaca, yaitu kemampuan pembaca untuk menafsirkan, menegosiasikan, bahkan menolak makna dalam teks berdasarkan pengalaman pribadi mereka.

Mengacu pada teori Affective Stylistics dari Stanley Fish, artikel ini menyoroti bahwa membaca bukan hanya kegiatan kognitif, melainkan juga pengalaman afektif dan situasional. Penelitian mengenai resepsi sastra menunjukkan bahwa bagaimana seseorang membaca dan memahami sastra dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, budaya, dan institusional. 

“Saya menganjurkan pemahaman yang lebih mendalam tentang agensi pembaca dan pengalaman subjektif mereka,” tutur Dheka.

Ia menekankan bahwa bagaimana seseorang membaca dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan institusional yang mengelilingi mereka. Oleh karena itu, sebuah buku yang sama bisa memberikan makna dan dampak yang berbeda bagi setiap individu.

Bagaimana Proses Ko-kreatif  dapat Menstabilkan Kesehatan Mental Seseorang?

Stabilisasi dicapai bukan karena teks memiliki kekuatan magis, melainkan karena proses membaca membuka ruang aman dan bermakna bagi pembaca. Melalui dialog dengan teks, kita dapat: mengidentifikasi dan memvalidasi perasaan yang kita alami melalui karakter atau situasi dalam cerita; mendapatkan perspektif baru untuk menghadapi tantangan, yang membantu kita menemukan solusi, dan; merasa berdaya karena kitalah yang aktif menafsirkan, memilih, dan mengaitkan makna dengan kehidupan nyata.

“Menurut saya praktik biblioterapi yang sehat adalah yang bersifat ko-kreatif, terbuka terhadap berbagai makna, dan memberikan ruang bagi pembaca untuk membangun makna bersama,” jelas Dheka. 

Pada akhirnya, yang menyembuhkan bukanlah teks itu sendiri, melainkan relasi yang terus dirawat antara pembaca, teks, dan konteks.

Perayaan Hari Kesehatan Jiwa dengan Membaca yang Bermakna

Memperingati Hari Kesehatan Jiwa, mari kita renungkan kembali cara kita berinteraksi dengan buku. Sudah saatnya kita melihat buku sebagai teman dialog yang membantu mengatasi kerumitan, bukan sekadar pelarian atau hiburan.

Di komunitas kampus, biblioterapi dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk sederhana. Misalnya, klub buku tematik yang fokus pada isu-isu kesehatan mental atau pojok baca khusus di perpustakaan.

Biblioterapi adalah pengingat bahwa merawat jiwa bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana dan personal. Ini adalah sebuah ajakan untuk mengambil buku, bukan sekadar membacanya, melainkan untuk memulai dialog. Dialog yang mungkin saja membawa kita pada pemahaman diri yang lebih dalam dan, pada akhirnya, ketenangan yang kita cari.

Penulis: Sabila Nurul Fadlillah

Editor: Suci Maharani