Soeharto pahlawan nasional, itulah keputusan kontroversial yang lahir dari dinamika politik kekuasaan. Sebuah ironi yang dikemas begitu rapi dalam upacara kenegaraan dan bahasa seremonial, seakan sejarah bisa dibersihkan hanya dengan selendang tanda jasa. Dalam negeri yang terbiasa menukar makna dengan kepentingan, menyucikan dosa pembunuh menjadi seseorang yang dilabeli “pahlawan”, sekarang kehilangan makna sakralnya. Rezim kini sibuk membersihkan sejarah yang dijual atas nama bangsa.
Gelar “Soeharto Pahlawan Nasional” merupakan ironi yang bertransformasi menjadi mitos baru. Dalam perspektif semiotika Roland Barthes, tanda ini bekerja sebagai sistem mitologis: penguasa otoriter dipoles sebagai penyelamat, sementara luka kolektif bangsa dikemas sebagai bagian dari pengorbanan. Di bawah bendera merah putih, mitos itu berkibar gagah, bukan untuk mengenang jasa, melainkan menutupi dosa.
Luka yang Disembunyikan Negara
Sebelum nama Soeharto kembali diarak dengan gelar Pahlawan Nasional, sejarah mencatat jejak panjang kekerasan yang menandai kekuasaannya. Rezim Orde Baru berdiri di atas puing tragedi kemanusiaan yang tidak pernah diadili secara tuntas. Berbagai laporan hak asasi manusia dari “Human Right Watch” menunjukkan bahwa sejak 1965 hingga 1966 terdapat sekitar lima ratus ribu hingga satu juta orang dibunuh tanpa proses hukum sebagai bagian dari pembersihan terhadap anggota dan simpatisan PKI, termasuk guru, petani, dan mahasiswa.
Laporan “International Center For Trasitional Justice” menegaskan hampir tidak ada pelaku utama kejahatan berat di masa Orde Baru yang pernah dibawa ke proses hukum yang adil. Dalam konteks itu, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya penghargaan simbolis, tetapi tindakan struktural yang menyamarkan memori korban dan menata ulang kebenaran sejarah.
Ketika negara memutihkan dosa masa lalu melalui simbol kehormatan, publik ditarik sedang diarahkan untuk melupakan. Figur otoriter dipotret ulang menjadi ikon nasional. Dalam analisis semiotik, tanda pahlawan tidak lagi netral. Tanda itu menjadi produk produksi makna kekuasaan yang bekerja untuk menata ulang sejarah, menukar luka dengan pengorbanan, serta mengubah kekerasan menjadi simbol ketegasan pemimpin.
Ingatan yang Menolak Dibungkam
Cece Rustiawan (78), warga Bandung yang hidup di bayang-bayang Orde Baru, menolak keras pemberian gelar “Pahlawan Nasional” kepada Soeharto. Ia menyebut, gelar itu mencederai arti sejati dari kata “pahlawan”.
“Kalau pahlawan itu seseorang yang berjuang tanpa mengkhianati, saya menolak gelar itu untuk Soeharto. Ia sudah mengkhianati, salah satunya lewat pelanggaran HAM,” ujarnya.
Bagi Cece, seorang yang terlibat dalam pelanggaran kemanusiaan tidak layak diangkat sebagai simbol perjuangan. Cece masih mengingat bagaimana kekuasaan di masa itu dijalankan dengan cara-cara yang menakutkan.
“Setiap ada masalah, tidak melalui jalur hukum. Langsung bloss dihakimi sendiri,” katanya menggambarkan kebijakan yang kerap diikuti dengan kekerasan. Ia menuturkan bahwa banyak orang, terutama mahasiswa dan warga sipil yang dituduh simpatisan, dibuang tanpa proses pengadilan.
“Ada yang dibunuh, ada yang dipenjara, ada yang dibuang. Tahun 66–67 itu banyak pembunuhan di Jawa terhadap orang-orang PKI, bahkan yang cuma dituduh simpatisan,” tuturnya.
Bagi generasi yang pernah hidup di masa itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan penghormatan, melainkan bentuk pengingkaran dan penghianatan terhadap sejarah kekerasan negara. “Kalau disebut pahlawan, itu kaya nutup luka. Da pahlawan mah yang berjuang tanpa mengkhianati, pelanggaran HAM teh termasuk ke pengkhianatan,” tambahnya.
Ironi Bernama “Pahlawan Nasional Soeharto”
Dalam kacamata semiotika Roland Barthes pada bukunya yang berjudul Mytologies (1957), gelar “Pahlawan Nasional Soeharto” beroperasi sebagai tanda yang sarat muatan politik. Ia bukan sekadar rangkaian kata yang menunjuk individu, tetapi konstruksi makna yang sedang direkayasa. Dari konstruksi ini lahirlah sebuah mitos yang dapat dengan mudah dinaturalisasi dan dipercayai publik.
Pada tingkat denotasi, Soeharto diberi gelar karena pengakuan jasa pembangunan. Namun, di tingkat konotasi, ia menyimpan pesan jauh lebih dalam: upaya sistematis menormalkan kekuasaan penuh dosa, penutupan luka sejarah dan menjadikannya bagian dari kebanggaan nasional. Sebuah ironi yang tidak bisa diabaikan.
Pada titik inilah mitos bekerja. Barthes menyebut mitos sebagai “ucapan yang terdepolitisasi” di mana kata depolitisasi merupakan sebuah narasi yang telah disucikan dari konteks politik maupun sejarah kelam yang melingkupinya. Masa gelap Orde Baru dihapus dari konteks historisnya dan dipresentasikan sebagai kisah kepahlawanan. Jika narasi ini terus direproduksi, generasi penerus akan mengamini konstruksi tersebut sebagai kebenaran yang wajar.
Dengan menempelkan kata “pahlawan” pada sosok Soeharto, negara sesungguhnya sedang menciptakan narasi baru yang menggantikan ingatan publik. Penguasa otoriter diproyeksikan sebagai penyelamat ekonomi, sementara pelaku pelanggaran HAM dipoles menjadi figur kehormatan. Tanda “pahlawan”, yang idealnya mengandung kesucian moral, berubah menjadi simbol pemutihan sejarah.
Dalam perspektif semiotika Roland Barthes, pernyataan Cece dapat dibaca sebagai “tanda tandingan” (counter-myth) terhadap makna yang dinaturalisasi negara. Baginya, gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan bagian dari upaya memutihkan jejak kekuasaan.
Baca juga: Masih 01, 02, 03? Stop Menyalahkan Sesama, Saatnya Bersama
Mitos Bernama “Pahlawan” dan Dosa yang Dihaluskan Bahasa
Dosen linguistik Universitas Pendidikan Indonesia yang fokus pada kajian semiotika, Kholid Harras, menilai bahwa makna kata “pahlawan” kini telah terlepas dari dimensi moralitasnya. “Kata itu sekarang lebih berfungsi sebagai konstruksi politik bahasa,” ujarnya lugas.
Menurutnya, gelar “pahlawan” tidak lagi berkaitan semata dengan keberanian atau pengorbanan, melainkan telah berubah menjadi simbol kekuasaan: alat negara untuk mengarahkan bagaimana publik mengingat sejarah. “Moralitas historis individu kini dibayangi kepentingan politik yang ingin menonjolkan jasa dan menghapus dosa,” tambahnya.
Dengan menggunakan kerangka semiotika Roland Barthes, Kholid menafsirkan tanda “Pahlawan Nasional” yang disematkan kepada Soeharto bukan sebagai bentuk penghormatan, melainkan sebagai manipulasi makna. Dalam sistem tanda itu, “pahlawan” menjadi penanda yang kehilangan kejujurannya. Pelanggaran HAM, represi politik, dan kekerasan negara dikaburkan dengan narasi pembangunan dan stabilitas.
“Negara sedang melakukan resignifikasi: mengganti makna dosa menjadi jasa, dan mengubah luka menjadi simbol pengabdian,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa proses ini sejalan dengan konsep mitos ideologis Barthes: upaya naturalisasi yang politis agar tampak wajar dan tidak lagi bisa digugat. Paradoks antara “pahlawan” dan “pelaku pelanggaran HAM” pun diperlakukan seperti cerita tunggal, bahwa seseorang bisa berdarah sekaligus dimuliakan atas nama bangsa. Di situ mitos bekerja: menjadikan kekuasaan tampak suci, dan sejarah tampak damai.
“Begitu dosa bisa dikemas ulang menjadi kebajikan, kata ‘pahlawan’ kehilangan maknanya,” tutup Kholid.
Kini, istilah itu bukan lagi bahasa moral, melainkan kamuflase politik yang membuat kekuasaan tampak berwibawa, bahkan ketika tangannya berlumur darah sejarah.
Menukar Luka dengan Citra Palsu
Pada akhirnya, penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar keputusan administratif, tetapi tindakan simbolik yang memanipulasi ingatan kolektif bangsa. Melalui bahasa dan upacara, negara menulis ulang sejarah agar tampak suci di mata generasi baru. Dengan menempatkan penguasa otoriter sebagai pahlawan, kekuasaan hari ini tidak hanya memaafkan masa lalu, tetapi juga mewariskan kebisuan. Luka yang seharusnya dipulihkan justru dijadikan fondasi untuk membangun citra baru yang menguntungkan penguasa.
Soeharto memang telah tiada, tetapi mitos tentang dirinya terus dipelihara. Ia hidup melalui simbol, diperkuat oleh narasi resmi, dan disebarkan melalui media yang patuh. Begitulah kekuasaan bekerja dalam menyamarkan makna: mengubah kekerasan menjadi keteladanan, menukar kebenaran dengan kebanggaan palsu. Di tengah bangsa yang mudah melupakan, gelar it u menjadi cermin paling getir dari krisis moral negara: ketika sejarah tidak lagi berbicara tentang keadilan, melainkan tentang siapa yang berhak menuliskannya.
Penulis: Saddam Nurhatami Umardi Putra
Editor: Aliyah Iffa Azahra
Baca juga: Ayah dan Perannya yang Tidak Pernah Selesai




