Melihat UPI Bekerja: “Tamu” Adalah Raja dan Tugas Kita Cukuplah Membayar Upetinya

Selamat Dies Natalis yang ke-67, UPI!

Sesaat setelah merayakan Dies Natalis, UPI mendapat kabar gembira. Setelah penantian berpuluh tahun lamanya, akhirnya UPI berada di peringkat tiga sebagai universitas terbaik di Indonesia versi Times Higher Education (THE) World University Ranking (WUR) 2022. Mungkin, Mas Sadarjoen Sistomartojo, Rektor Pertama UPI (yang saat itu masih bernama PTPG) melongo melihat semua ini. Andaikata dia bisa bicara, saya yakin dia hanya menyampaikan dua kata, “kok bisa?”.

Dalam kepala saya, pertanyaan “kok bisa?” ini memiliki dua pemaknaan yang berbeda. Pemaknaan pertama merujuk sukacitanya beliau karena hari ini kampus yang pernah dia pimpin sudah masuk ke arena tarung bebas bersama kampus-kampus kelas dunia. Dan untuk pemaknaan kedua merujuk pada dukacita beliau ketika melihat visi kampus yang bergeser dan indikator penilaian “baik” yang berbeda.

Aduh.” ucap beliau sambil nepak tarang.

Ngomong-ngomong soal visi Mas Sadarjoen, dalam pidatonya yang termuat dalam buku Dari Isola Ke Bumi Siliwangi (2011) karya Rudini Sirat, dkk, beliau berucap:

“Fungsi Perguruan Tinggi di tengah2 masjarakat adalah sebagai suatu lembaga masjarakat dengan para sardjana dan ahli2nja, maka PTPG mempunjai fungsi untuk memberi penjegaran dan daja hidup baru pada alam sekitarnja untuk ikut serta melangsungkan dan memperkembangkan hidupnja kebudajaan.” Pikiran Rakjat, 21/10/1954.

Sementara untuk penilaian “baik”, Mas Sadarjoen menyadari satu hal bahwa penilaian baik-buruknya perguruan tinggi ditentukan oleh masyarakat. Lebih jauhnya, beliau menegaskan:

“Tinggi-rendahnja suatu Perguruan Tinggi bergantung pada penerimaan masjarakat sendiri jang terikat pada nilai2 sosial dan ukuran akhlak serta filsafat hidup jang berlaku dalam masjarakat.” Pikiran Rakjat, 21/10/1954

Ah tetapi sudahlah, barangkali memang apa yang pernah dikatakan Mas Sadarjoen tak lagi relevan. Bagi zaman, mungkin, tujuan dari Mas Sadarjoen terlalu mengada-ada. Tak apa Mas, mari kita berbaik sangka. Siapa tau ini hanya persoalan bentuk saja. Meskipun, tetap saja sih, agak ngawur juga.

Kok jadi ngalor-ngidul gini, sih?!

Ok kita lanjutkan ke pembahasan utama!

Mantra Pemanggil “Tamu”

Tingginya peringkat universitas akan berbanding lurus dengan tingginya minat “tamu” untuk berkunjung (bahkan menetap) di kampus kita. Mengapa demikian? Mari kita runutkan alurnya.

Sejak ditetapkannya Mas Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, arah pendidikan kita kian jelas akan dibawa kepada pemroduksian ilmu pengetahuan dan tenaga kerja yang dibutuhkan pasar. Melalui program Kampus Merdeka-Merdeka Belajar, kampus disulap menjadi sebuah korporasi, ilmu-ilmu hanyalah sebuah barang jualan, fakultas dan prodi menjadi mesin pencetak gelar, dan mahasiswa, cukup jelas, sebagai konsumen produksi universitas.

George Ritzer, seorang Sosiolog dari Universitas Maryland, memperkenalkan istilah menarik, yaitu McDonaldisasi. Dalam buku The McDonaldization of Society, Ritzer menjelaskan bahwa dalam situasi hari ini, lembaga-lembaga publik telah didominasi oleh prinsip-prinsip restoran cepat saji, tak terkecuali lembaga pendidikan. Prinsip-prinsip yang dianut adalah efisiensi, daya hitung, keterprediksian, dan kontrol.

“Lucu amat Mas istilahnya, mendegar McDonaldisasi, membuat saya ingin pergi ke McD. Oh iya hampir lupa, saya kan tidak punya uang. Uang saya kan habis untuk membayar Upeti. Sialan!”

Seluruh prinsip tersebut semakin menguatkan dogma “kuliah untuk kerja”. Tak pedulilah mahasiswanya paham atau tidak, berpengalaman atau tidak, mempunyai relasi atau tidak, yang jelas, mahasiswa mesti cepat lulus, punya gelar, dan bekerja. Lulus tepat waktu adalah sebuah keharusan, sebab predikat baik hanya diberikan bagi mahasiswa yang nurut dengan kebijakan yang ada. Sekalipun kita memilih untuk tidak patuh, pastilah kita terhalang Upeti yang kian mahal dan (lagi-lagi) memaksa kita untuk segera keluar.

Ok, kita kembali ke pembahasan utama. Jika kita mengacu ke diksi “Merdeka”, sejatinya tidaklah merujuk pada otonomi yang mencegah intervensi domain kekuasaan agar kebenaran sejati dapat tumbuh dan peradaban mampu berkembang. Justru, “Merdeka” di sana merujuk pada otonomi bias yang memantapkan intervensi kepentingan politik, korporasi, dan organisasi kapitalis agar mampu mengambil alih kendali kampus. Tentu, ini dapat dilihat  dari tujuan Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Dalam Buku Saku Panduan Kampus Merdeka, dituliskan, “Merdeka Belajar-Kampus Merdeka bertujuan untuk memenuhi tuntutan, arus perubahan, dan kebutuhan akan link and match dengan dunia usaha dan dunia industri (DU/DI), dan untuk menyiapkan mahasiswa dalam dunia kerja”.

Terhitung lebih dari 300 perusahaan besar yang terdiri dari perusahaan multinasional, perusahaan teknologi global, startup teknologi, organisasi multilateral, BUMN, dan BUMD masuk ke dalam skema ini. Melalui arah kebijakan pembukaan program studi baru, akreditasi kampus maupun program studi, perubahan status PTN menjadi PTNBH, dan program tiga semester di luar prodi menjadi mantra pemanggil dan pintu masuk bagi para “tamu”.

Keuntungan kehadiran mereka, barangkali akan memudahkan kita mencari kerja, itu pun kalau sejak awal orientasi kita ke arah sana dan siap bersaing dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Namun, bagi saya, tujuan tersebut terlalu kerdil dan pragmatis. Oleh karenanya, saya lebih menyoroti dampak negatif dari seluruh sistem ini.

Baca juga: Muma 2021: Gulirkan Organisasi, Bangun Semangat Juang Baru

Terasing di Rumah Sendiri

Semestinya, fokus terhadap “tamu” bukan menjadi alasan untuk mengasingkan penghuni rumah yang lain, tetapi realitas berbicara sebaliknya. Pembangunan (dalam upaya pemeringkatan universitas tentunya) justru membuat kampus tutup mata terhadap mahasiswanya. Padahal, kita sama-sama tahu, mahasiswa adalah penyumbang terbesar anggaran kampus.

Namun, logika kampus barangkali berbeda. Dalam penilaian WHU, dijelaskan bahwa nilai terendah yang diperoleh oleh UPI adalah industry income. Nilai ini bahkan lebih rendah dari 10 peringkat universitas dibawahnya. Agar mendapat nilai yang baik, tentu hal tersebut mesti dibenahi. Maka tak aneh, apabila pembangunan dilakukan di mana-mana, pembuatan program studi dan perancangan kurikulum disusun sedemikian rupa, tujuannya satu: menarik perhatian para “tamu”.

Sayangnya, kampus barangkali lupa, mahasiswa adalah seorang manusia dan bukan sebatas objek. Kepentingan manusia mesti menjadi prioritas dibandingkan kepentingan lainnya. Saya pun senang kok melihat UPI mampu sejajar dengan kampus berkelas dunia, tetapi saya akan lebih senang ketika mahasiswa memiliki rasa kebermilikan terhadap kampusnya. Kebermilikan tak semata hadir lewat pemeringkatan. Kebermilikan hadir melalui rasa cinta.

Erich Fromm, dalam bukunya The Art of Loving (1956), menjabarkan bahwa cinta acapkali bernuansa pasif. Itu terjadi akibat pemahaman bahwa cinta adalah usaha untuk dicintai dan bukan mencintai. Kenyataan di lapangan begitulah adanya. Kampus hanya menunggu dan fokus mengemas diri agar dicintai. Seluruh waktunya dihabiskan tidak untuk belajar cara mencintai yang baik dan benar. Padahal, ketika kampus mampu mencintai maka secara otomatis kampus pun akan dicintai.

Fromm merumuskan beberapa indikator agar dapat dikatakan mencintai. Pertama, perhatian (care). Dia yang mencintai akan mengamati proses kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangan pihak yang dia cintai. Kedua, tanggung jawab (responsibility). Dia yang mencintai akan merasa bahwa pihak yang dia cintai adalah bagian dari dirinya dan segala dinamika yang terjadi merupakan tanggung jawabnya. Ketiga, rasa hormat (respect). Dia yang mencintai akan memandang pihak yang dia cintai sebagaimana adanya dan sadar bahwa semuanya memiliki kekhasan. Keempat, pengetahuan (knowledge). Ini adalah unsur penentu dari tiga indikator sebelumnya. Dia yang mencintai akan mengetahui secara mendalam pihak yang dia cintai sehingga dapat mewujudkan tiga indikator sebelumnya.

“Lah kok jadi bahas-bahas cinta gini, sih?!”

Di dalam rumah, banyak sekali mahasiswa yang terlunta-lunta untuk membayar Upetinya. Namun, sayangnya kampus boro-boro peduli. Bantuan yang diberikan (mengacu pada Surat Keputusan Rektor No. 1748 Tahun 2021) pun hanya ada pada kisaran ratusan ribu saja. Terlampau jauh apabila kita bandingkan dengan nominal Upeti yang ada pada kisaran tiga sampai empat jutaan. Ini juga menggoyahkan kecintaan mahasiswa terhadap kampusnya. Sebab, kalau kita mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Wawancara yang dikeluarkan pada 28 Juli 2021, pemotongan ratusan ribu tersebut tidak sesuai dengan klasifikasi yang ada pada angka 25%, 50%, 75%, dan 100%. Ah tetapi, saya masih yakin, pemberian bantuan ratusan ribu tersebut bukanlah keputusan final dan masih bisa digugat.

Ketidakjelasan tersebut kontradiktif apabila kita melihat UPI yang mendapatkan penghargaan dari Komisi Informasi Pusat sebagai Badan Publik paling Informatif dalam kategori Perguruan Tinggi Negeri.

“Kok bisa yah UPI mendapat penghargaan sebagai si paling informatif? Hmm…”.

Namun, bagi saya bisa-bisa saja kok, kan sudah saya jelaskan di awal. Fokus UPI itu kepada “tamu”. Mungkin, “tamu” merasa UPI paling informatif. Kalau mahasiswa berkata sebaliknya, ya silakan saja mahasiswa bikin nominasi penghargaan sendiri.

Baca juga: MUSIM

Selain merugikan mahasiswa yang sedang berkuliah, fokus pada “tamu” dengan dalih pemeringkatan universitas juga akan berdampak kepada calon mahasiswa baru. Mengapa demikian? Dalam perhitungan biaya kuliah, kita sama-sama tahu, bahwa salah satu instrumennya adalah akreditasi dan peringkat universitas serta program studi. Dan ini sudah terbukti sejak beberapa tahun ke belakang. Coba cek saja golongan Upeti sejak pertama kali kebijakan ini disahkan.

Kalo bilang Upeti mahal itu subjektif, setidaknya bisa kita buat objektif dengan mengatakan bahwa Upeti kian mahal. Bukankah itu bisa dibuktikan?”

Intinya, kampus semakin jauh bagi rakyat. Begitulah singkatnya.

Antara Mimpi dan Kenyataan

Saya membayangkan seluruh perguruan tinggi melepas egonya. Semata-mata agar mampu mengatasi masalah hidup rakyatnya. Untuk menuju ke sana, kampus mesti kembali ke fitrahnya sebagai pusat ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban. Dan seluruh bayangan tersebut akan tercapai apabila seluruh kampus memiliki etos kolaboratif, bukan kompetitif. Contohnya, kampus-kampus terbaik di negeri ini membantu kampus-kampus yang kekurangan, baik itu dari segi dana, fasilitas pembelajaran, basis pengetahuan, sumber daya manusia, dan segala tetek bengeknya. Namun, saya cukup sadar, semua hal yang saya bayangkan terlalu utopis. Pertama, saya bukan siapa-siapa. Kedua, situasinya tidak memungkinkan.

Kalau ada yang tersinggung dengan tulisan saya, barangkali kita harus mencoba merubah mind set kita. Seperti kata video populer di Tiktok, semua hal yang ada dan terjadi hanyalah persoalan mind set. Cobalah ganti mind set kita bahwa UPI yang saya singgung sejak awal adalah Universitas Pendidikan Islandia. Ingat, bukan Indonesia! Toh juga sistem pembayaran Indonesia kan UKT, bukan Upeti.

Akhir kata, berhubung masih dalam suasana Dies Natalis, saya ingin kembali mengutip apa yang disampaikan Mas Sadarjoen saat awal mula pendirian kampus ini,

“Perguruan Tinggi akan mendjadi satu pasilan jang sekalipun nampak tetap tumbuh, namun berarti akan terus mendjauh dan merugikan masjarakat sekelilingnja.”  Pikiran Rakjat, 21/10/1954.

Oh iya hampir lupa, agar kita dicap baik dan patuh, jangan lupa membayar Upeti, kawan-kawan. Sebab, hanya itu yang kampus inginkan dari kita. Hehe.

Baca juga: Mengapa Indonesia Disebut sebagai Ibu Pertiwi?

Penulis: Tofan Aditya
Editor : Algina Shofiyatul Husna