Oleh: Rio Tirtayasa
Baru saja, saya membaca tulisan di literat.my.id dengan judul Saya Terbakar Intimidasi Sendirian!. Sebelum saya membaca isi tulisan itu, saya teringat sebuah buku yang berjudul hampir serupa dengan judul tulisan tersebut. Buku tersebut adalah buku karya André Vltchek dan Rossie Indira, dua orang jurnalis dari Amerika Serikat yang berjudul Saya Terbakar Amarah Sendirian!. Tetapi saya bukan ingin membahas buku tersebut, jadi beli dan baca saja buku itu oleh kalian masing-masing.
Saya kira tulisan tersebut menceritakan pengalaman penulisnya yang terkena intimidasi dan intoleransi yang dilakukan orang lain, entah itu di kampus atau luar kampus. Itu hanya imajinasi saya ketika membaca judul tulisannya. Namun, semua berubah ketika Negara Api menyerang. Pada akhirnya, saya tidak mengerti apa itu intimidasi dan intoleransi yang dimaksud. Semuanya menjadi samar, bahkan saya hampir mengalami kebutaan tentang intimidasi dan intoleransi.
Perihal Pemimpin yang Dijadikan Contoh
Dear Founding Father of the Republic of Indonesia yang saya sangat cintai dan saya banggakan. Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih karena telah menjadikan Indonesia dikenal dunia dengan diadakannya Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-blok—walapun anda sendiri secara tidak langsung dekat dengan salah satu blok.
Mengenai Soekarno yang dimaksud, bagi saya ia belum bisa dijadikan contoh untuk para pemimpin dan mahasiswa, walaupun banyak kaum nasionalis yang sangat menyembahnya. Padahal di era kepemimpinannya, negara yang kita cintai ini pernah mengalami inflasi yang sangat besar, bahkan hingga lebih dari seratus persen. Saya meyakini bahwa hal tersebut masih belum banyak diketahui. Sebab dalam buku-buku sekolah, Soekarno hanya disebutkan sebagai presiden pertama, pahlawan, proklamator, atau bahkan orang yang berani melawan penjajah. Itu semua untuk membuat citra sang proklamator sangat baik di mata anak sekolah. Tidak mungkin keburukannya sebagai pemimpin disebutkan, bukan? Saya tidak akan membahas lebih panjang tentang inflasi ini. Lebih lengkapnya, sila baca di tirto.id.
Mengenai intimidasi, saya rasa Soekarno pun melakukan hal yang sama seperti yang ia pernah rasakan. Buktinya yaitu ia menyebutkan bahwa ia adalah presiden seumur hidup. Entah apa yang ia pikirkan mengenai hal itu. Secara pragmatik, ia mengintimidasi negara Indonesia agar menyepakati keinginannya untuk menjadi presiden seumur hidupnya. Namun, itu hanya khayalan belaka, sebab bertahun-tahun setelahnya ia ditumbangkan oleh bangsanya sendiri.
Belum lagi, ia sempat menjalankan “Demokrasi Terpimpin” saat ia menjabat dahulu. Pertama, terbatasnya partai yang akan mengikuti pemilihan umum. Kedua, presiden akan dominan dalam berbagai hal di dalam pemerintahannya. Bukan hanya itu, jikalau ada proses peradilan, presiden bisa ikut campur di dalamnya. Pembungkaman pers akan menjadi sangat mudah. Tentunya, presiden tidak perlu lagi berkonsultasi ke legislatif saat membuat kebijakan. Ah, sial! Apa itu yang dijadikan contoh sebagai pemimpin, padahal ia juga secara tidak langsung mengintimidasi negaranya sendiri.
Baca juga: Curhatan Ketika Melihat yang Ramai-Ramai di UPI
Kedua, penjahat terbesar sepanjang sejarah menurut orang-orang barat, ia adalah pemimpin Social-Nationalitzche Partije. Saya kutip dari bbc.com ada lebih dari 250.000 orang Yahudi diyakini telah dibunuh di Sobibor antara 1942 dan 1943. Itu baru kejadian genosida di Sobibor, belum yang lain, atau belum jumlah korban akibat agresi Nazi di masa perang dunia pertama dan kedua.
Bukankah itu mengerikan? Banyaknya yang terbunuh akibat kepemimpinan Adolf Hitler. Bukankah ia juga mengintimidasi dan seorang yang sangat intoleran terhadap umat Yahudi? Atau memang penulis Saya Terbakar Intimidasi Sendirian! tidak mengindahkan fakta tersebut? Belum lagi Jerman pada saat setelah kalah perang kondisi ekonomi dan geografisnya hancur. Ya, semua itu berkat Hitler. Mungkin bisa jadi, saat ini Amerika Serikat jadi negara adidaya itu berkat gagalnya kepemimpinan Hitler.
Mahatma Gandhi. Sial, mengapa juga orang baik ini dibawa ke dalam contoh pemimpin. Padahal saya tidak ingin membuka kehidupan pemimpin ini. Mungkin banyak yang belum mengenal Gandhi dan saya pun tidak ingin mengenalkan lebih jauh. Sejauh ini, ia adalah orang yang dalam hidupnya mengajarkan kebaikan dan mempropagandakan agar India menjadi rumah bagi semua agama. Ia adalah orang yang baik untuk dijadikan contoh sebagai semangat toleransi.
Namun, siapa sangka atau mungkin siapa yang peduli bahwa ia adalah seorang yang sangat mencintai perempuan. Sial, bukan maksud saya untuk menggosipkan seorang dalam tulisan ini. Saya mengutipnya dari quora.com, Gandhi memiliki banyak teman perempuan muda. Tapi yang paling mencengangkan adalah ia meminta kepada perempuan untuk terus saja ditemani. Dari menuntunnya berjalan seperti tongkat bagi Gandhi berjalan, sampai ia mengajak para perempuan untuk mandi bersama secara personal. Bukan hanya itu, bahkan perempuan-perempuan itu diajak untuk tidur di sampingnya saat ia ingin tidur. Entah seperti apa intimidasi yang dilakukan Gandhi agar perempuan-perempuan itu mau melakukan hal tersebut.
Tanggapan Saya untuk Tulisan Saya Terbakar Intimidasi Sendirian!
Sebenarnya, saya bingung untuk menyambungkan tulisan Tofan Aditya yang dikritisi oleh tulisan Ilham Abdul Malik. Sebab, tulisan Tofan hanya sebuah curahan hati seorang mahasiswa yang aktif berkegiatan di organisasi kemahasiswaan. Ia merasakan bagaimana suasana organisasi yang berada di kampus UPI ini. Jika dilihat dari sejarah pun, apa yang harus disangkutpautkan? Saya melihat tulisan Ilham ingin membuat mahasiswa melihat bagaimana sejarah yang ada, lebih kepada kepemimpinan seorang pemimpin. Lalu pertayaan saya selanjutnya adalah, mengapa penting seorang pemimpin mahasiswa membaca tulisan tersebut?
Mengenai BEM kampus, saya lebih sepakat jika masalah intimidasi yang dibicarakan Ilham mengarah kepada intimidasi Partai Politik di dalam kampus. Iya, begitulah. Rahasia umum kepemimpinan organisasi kampus ada sangkutpautnya dengan Parpol di luar sana yang sedang mencari kekuasaan di parlemen. Ah, mengapa saya harus membicarakan hal seperti ini lagi? Padahal saya tidak ingin mengulik Parpol kembali.
Bisa jadi juga intimidasi yang dibicarakan Ilham lebih mengarah kepada perempuan yang belum mengenakan hijab. Teman saya yang non-Muslim pernah bercerita, ia diperhatikan dengan sinis atau secara tidak langsung diintimidasi mata oleh beberapa perempuan yang mengenakan hijab di dalam kampus UPI. Aneh, bukan? Kampus religius ini hanya mengacu pada kereligiusan salah satu agama di Indonesia.
Bagi saya itu lucu. Mahasiswa malah tidak bertoleransi dengan agama yang berbeda. Terlebih, tidak adanya tempat ibadah agama lain di kampus ini. Ada beberapa orang yang mengatakan kepada saya bahwa itu dikarenakan umat agama lain hanya beribadah beberapa kali, sedangkan agama mereka beribadah lima kali dalam sehari. Lucu, bukan? Perihal tempat ibadah itu disesuaikan dengan kuantitas ibadahnya.
Pada akhirnya, saya tidak mengerti apa yang Ilham katakan dalam tulisannya mengenai intimidasi dan intoleransi. Apalagi tulisannya itu lebih membahas tentang Pramoedya Ananta Toer, bagi saya. Lalu bagaimana tentang kepemimpinan yang ia bangun dalam tulisannya di paragraf-paragraf sebelumnya? Seperti sia-sia saja. Lalu, di mana poin penting untuk pemimpin mahasiswa? Saya tidak melihat hal itu. Mengenai sejarah, saya katakan bahwa tulisan tersebut sudah baik. Namun, untuk menanggapi tulisan sebelumnya, saya tidak mengerti apa itu intimidasi dan intoleransi.
Baca juga: Saya Terbakar Intimidasi Sendirian!
Penulis: Rio Tirtayasa