Kondisi Pendidikan Indonesia Sekarang Beneran Seperti di Film?

Kebiasaan dalam hidup seakan-akan jadi bahan untuk membuat film. Makanya, film terkadang disebut sebagai cerminan kehidupan atau kenyataan. Joko Anwar yang merilis film terbarunya kemarin dengan judul “Pengepungan di Bukit Duri” dianggap demikian. Isu sosial seperti rasisme, pendidikan, kerusuhan, dan lain-lain dimasukkan dalam film. Namun, apakah representasi pendidikan di film sudah mencerminkan kenyataan atau belum?

Apa Itu Film Pengepungan Bukit Duri?

Film ini mengambil latar yang mirip seperti tahun 1998 atau Orde Baru saat masa krisis moneter di Indonesia. Adanya penjarahan yang menjadi bukti kerusuhan di film ini juga. Kita sebagai penonton melihat hal-hal yang terjadi lewat pandangan Edwin. Seorang tokoh laki-laki yang menjadi guru untuk mencari keponakannya yang hilang. Hal ini sependapat dengan Raskal sebagai mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia mengenai film tersebut.

“Untuk ringkasnya, film ini lebih nyeritain kondisi di tahun 98 atau Orde Baru pas masa krisis moneter. Adanya penjarahan ke orang tionghoa, asusila ke orang tionghoa, dan lain-lain juga. Intinya, ada seorang cowok ngeliat kejadian asusila ke kakaknya. Terus, cowok ini mau nyari anak kakaknya yang jadi ponakan dia dan nyari keadilan kakaknya,” jelasnya.

Evril sebagai mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia, menyebutkan cerita film yang masih akurat di zaman sekarang.

“Filmnya gitu, nyeritain zaman dulu, tapi masih akurat soalnya masih aja terjadi. Karena kan kasarnya rasis sama orang-orang tionghoa. Masih membedakan kalau mereka ga baik buat negara kita,” katanya.

Secara garis besar, film ini menyoroti soal rasisme terhadap tionghoa. Alasannya karena dari awal film, kita dibawa dalam pandangan Edwin yang menjadi tokoh laki-laki tionghoa. Adanya perlakuan buruk terhadap mereka menjadi kenyataan sebenarnya di saat itu pula. Tapi, apakah kondisi pendidikannya menjadi cerminan kehidupan juga?

Baca Juga: Hari Buku Nasional: Menengok Peran Buku di Era Media Sosial

Kondisi Pendidikan di Film Pengepungan Bukit Duri

Kondisi pendidikan dalam film memang tidak dilihat secara luas. Pendidikan dalam film hanya bisa dilihat lewat sekolah SMA Bukit Duri sebagai latarnya. Nabilah Novel Thalib sebagai mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia menjelaskan soal sekolah sebagai keadaan pendidikan di film.

“Mungkin gak jauh beda sama sistem di Indonesia sekarang. Kalau itu dilihat tuh, SMA Bukit Duri jadi sekolah khusus anak-anak buangan. Kan seharusnya dalam sistem pendidikan itu sama rata, ya. Jadi, harusnya sih gak ada pembedaan sekolah itu buangan atau bagus. Di Indonesia sendiri juga ada yang akreditasi bagus dan rendah. Jadi, sistem pendidikan itu harus lebih diperhatikan,” jelasnya.

Adanya ketimpangan setiap sekolah menjadi faktor ketidaksetaraan dalam pendidikan di Indonesia. Film ini mencontohkan SMA Bukit Duri sebagai sekolah yang kualitasnya “rendah”.  Ketimpangan setiap sekolah juga bisa mempengaruhi kualitas tenaga pendidiknya seperti guru.  

Evril juga menambahkan penjelasan soal cara kerja tenaga pendidik di film.

“Untuk kepala sekolah menurutku bisa lebih tegas. Kan dia udah tau gitu ya situasi yang terjadi di sekolahnya, terus guru yang sebelum Edwin pun diwanti-wanti karena banyak siswa yang bandel. Kenapa sih dari sebelumnya itu sekolah gak ngambil tindakan lanjut? Entah itu kepala sekolah atau tenaga pendidik lainnya. Terus buat Edwin juga udah tegas. Bagus gitu ya sebagai guru bisa ngasih pendidikan moral secara argumen. Bisa ngasih pemahaman walau gak diterima siswanya. Mungkin gak diterima tuh karena dia etnis tionghoa gitu,” jelasnya.

Tenaga pendidik seperti guru dalam film terlihat tegas dalam mengajar siswanya. Film ini yang memunculkan banyak siswa nakal menjadi salah satu faktor adanya ketegasan dari guru. Edwin sebagai guru juga menunjukkan sikapnya terhadap siswa-siswa yang nakal tersebut. Hal ini disebutkan Raskal soal fungsi guru dalam menyikapi tindakan siswa-siswanya.

“Ada fungsi gurunya. Dia bijaksana, terus berpikir sebelum bertindak, terus ada negosiasi dengan siswa juga, terus berani juga dengan adanya siswa yang nakal. Dia tegas untuk berargumen pada siswanya yang menentang atau melawan gitu. Bentuk negosiasi di zaman sekarang kan siswa itu sedikit yang berani menentang. Pada zaman itu, adanya negosiasi bisa jadi sikap tegas guru dalam berargumen. Itu tuh dilakukan biar siswa bisa paham dan gak melawan,” jelasnya.

Kondisi pendidikan dalam film yang tergambarkan di SMA Bukit Duri itu dipenuhi siswa nakal. Hal ini termasuk ketimpangan pendidikan karena adanya sekolah yang khusus untuk siswa dengan label “nakal”. Tindak lanjut dari tenaga pendidik harus lebih tegas walaupun tidak didengar siswanya sendiri. Guru sudah memberikan negosiasi pada siswanya di film, tapi adanya stigma rasisme pada etnis tionghoa saat itu mengubah perlakukannya. Karena gurunya tionghoa, siswa malah seenaknya dan tidak menghargai guru tersebut.

Baca Juga: Bahasa yang Hampir Punah, Akankah Berakhir Musnah?

Kondisi Pendidikan di Indonesia Dibanding Film

Pendidikan jelas mempunyai sistem sendiri di Indonesia. Sistem tersebut mengatur pula tenaga pendidik yang berperan di dalamnya. Tenaga pendidik mengacu pada guru sebagai sosok yang mengajar dan mendidik siswa di sekolah. Sekolah menjadi tempat guru dan siswa saling bertemu. Siswa sebagai sosok yang menerima pendidikan atau pembelajaran dari guru. Siswa juga berbeda-beda secara perilakunya. Perbedaan ini jelas adanya karena tiap siswa memiliki dasar lingkungan yang berbeda. Namun, ada satu hal yang biasa muncul pada perilaku siswa, yaitu label siswa yang berperilaku “nakal”. Pak Rendy sebagai guru di SMK Telkom Bandung menyebutkan pendapatnya soal label “nakal” pada siswa.

“Kenakalan itu relatif ya, karena diakibatkan pengaruh dari luar atau dari sekolah itu sendiri. Berarti treatment yang jadi tugas guru. Lebih berat mengajar siswa yang malas daripada yang nakal. Kalau yang nakal masih ada motivasi, tinggal cara untuk mengubah mindsetnya. Kenyataan sekarang ternyata teknologi yang menjadi titik balik anak-anak generasi sekarang untuk memahami pengetahuan. Jadi, bagaimana belum bijaknya anak-anak dalam pemakaian teknologi itu?” jelasnya.

Teknologi di zaman sekarang bisa membantu siswa dalam dunia pendidikan. Tapi, ketidakbijakan penggunaannya bisa mempengaruhi pengetahuan siswa pula. Siswa bisa menyerap berbagai informasi dari teknologi yang belum tentu baik untuk mereka. Salah satu teknologi yang digunakan siswa adalah media sosial. Media sosial sangat luas dalam penggunaannya, utamanya oleh siswa. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pak Teguh sebagai guru di SMK Telkom Bandung mengenai siswa zaman sekarang dengan media sosial.

“Secara kondisi zaman sekarang, sebenernya sama sih, brutal gitu. Tapi, bukan brutal dalam segi fisik. Tapi dari penggunaan media sosial mereka. Karena terpengaruh juga mungkin ya dengan akses-akses web yang mungkin ga bisa dibuka, tapi mereka bisa akses gitu,” katanya.

Kondisi siswa secara nyata juga tidak luput kaitannya dengan kondisi guru di sekolah. Pak Naufal sebagai guru di SMK Telkom Bandung menyebutkan soal label “nakal” siswa sekarang.

“Tapi, ya sekarang sih siswa yang nakal bukan kriminal gitu. Untuk kriminal ya, pelajar ngga terlihat tindakan kriminalnya di lingkungan sekolah,” ujarnya.

Siswa di zaman sekarang tidak anarkis seperti zaman dulu yang bisa melakukan tindak kriminal. Dulu pun siswa menjadi anarkis lewat omongan secara langsung. Hadap-hadapan antar siswa yang memantik anarkisme mereka. Kalau sekarang, siswa lebih banyak bersosial secara online atau tanpa tatapan langsung. Mereka bertemu sebagai sosok di dunia itu dan sifatnya yang nakal terbawa ke lingkungan sekolah. Hal ini sejalan dengan Pak Rendy mengenai siswa yang bergaul secara online.

“Nah, pergaulan sekarang itu saat mereka tidak bertemu dengan temannya secara langsung. Jadi, secara tidak langsung mereka bertemu, contohnya seperti di platform game. Tapi, mereka tidak sadar dengan ucapan-ucapan nakalnya. Lalu, hal itu terbawa ketika mereka berada di lingkungan sekolahnya. Sebenarnya, harus ada treatment bagi siswa karena memberi pengaruh negatif di zaman sekarang,” jelasnya.

Kondisi pendidikan di Indonesia sekarang bisa dibilang berbeda dengan di film. Guru dalam film menunjukkan ketegasan karena siswa yang terdidik memiliki label “nakal” yang anarkis. Lagipula, film yang ada dibuat secara dramatis, pasti berbeda dengan aslinya. Jika di zaman sekarang, siswa yang memiliki label “nakal” dalam pendidikan muncul di media sosial. Perkembangan zaman dari segi teknologi merubah bentuk kenakalan siswa dari dunia nyata ke dunia maya. Guru juga masih dalam sistem pendidikan untuk mendidik siswanya ketika di film ataupun kenyataan. Dalam film, guru harus mengikuti sistem di sekolah khusus anak nakal tersebut. Sementara, guru di kenyataan negara Indonesia juga mengikuti sistem pendidikan asli yang mengatur cara mendidik siswa.

Sistem Pendidikan di Indonesia Sekarang

Secara sistem, guru diberi fasilitas untuk membimbing, mendidik, dan mengajar. Waktu untuk melakukan tiga hal itu pun sudah disediakan secara sistemnya. Namun, kondisi kurikulum di Indonesia yang kadang tidak mendukung menjadi tantangan para guru. Pak Naufal pun menyebutkan kekurangan dari adanya kurikulum ini.

“Tugas-tugas guru sudah ada dan difasilitasi. Cuman mungkin yang jadi kekurangan adalah kurikulum. Kadang kala kan tiap guru punya visi yang berbeda, punya pandangan berbeda terhadap pendidikan, dan punya tujuan berbeda terhadap muridnya. Itu yang seringkali jadi perbedaan dan perdebatan saat sistemnya dijalani. Yang mana ya, sistem itu kan harus kita ikutin dan kadang kala tidak sesuai dengan keadaan di lapangan,” ujarnya.

Guru berada di kondisi harus mengikuti sistem atau mengikuti keadaan sebenarnya. Pak Teguh pun menambahkan soal sistem di Indonesia yang sering berubah-ubah.

“Di Indonesia itu, kalau misalkan ganti pemimpin pasti ganti sistemnya. Jadi, sebenarnya yang kasian itu bukan pemerintahnya, tapi gurunya repot, muridnya repot, semuanya repot, sekolahnya pun repot. Sebenernya kan kalau sistemnya udah bagus, kita gabisa kan nge judge sistem itu 5 tahun udah jelek. Sebenernya kan masih bisa dikembangin, terus ada kayak uji coba produk lah. Kan ada beta nya dulu, kalau pendidikan kan bisa dibilang bagus udah 6 tahun misalkan. Kita ambil paling lama SD kan 6 tahun, kita liat lagi selama itu ada gak yang kurang dan perlu dipangkas gitu. Jadinya ya di evaluasi, bukan diganti,” jelasnya.

Azka Shidqi Jamhari sebagai siswa di SMK Telkom Bandung juga menjelaskan dampaknya dari sistem yang berubah-ubah tersebut.

“Kita jadi kayak bahan percobaan, sih. Jadi, tiap ganti menteri ya ganti kurikulum. Nah, kita kan negara berkembang, kalau negara lain kan naruh kurikulum tuh satu dan terus dikembangkan ya. Kalau di Indonesia kan tiap 5 tahun ya ganti-ganti. Menurut aku ya mereka pengen yang baik dari kurikulum baru, cuman tetep aja harus ada evaluasi buat dikembangin. Pastinya ya dari itu aku juga kena dampaknya,” ujarnya.

Kurikulum yang berubah-ubah jadi tantangan pendidikan di Indonesia. Perubahan yang terus terjadi memaksa guru juga beradaptasi setiap waktu. Apalagi, siswa yang terdidik pun harus mengikuti sistem kurikulum yang berubah ini. Sistem yang hadir bukan dikembangkan terus-menerus, tapi diubah sepenuhnya. Pemerintah harusnya bisa melakukan evaluasi sistem sebelum pergantian sepenuhnya ke ranah yang belum tentu bagus juga. Hal ini juga bersangkutan dengan visi guru yang berbeda-beda. Visi yang akan dilakukan guru sesuai sistem sebelumnya, tapi malah diganti sistemnya dan harus mengubah visinya kembali.

Ada juga soal guru yang memiliki tingkatan sesuai kualifikasinya. Ketimpangan pun ada dari profesi guru. Adanya bermacam kualifikasi guru juga menjadi keresahan Pak Rendy juga.

“Di sini tuh, lucunya ya di negeri ini tuh guru dilabeli. Jadi, tidak seperti guru-guru di luar negeri yang punya satu rujukan profesinya ya guru. Tapi, di sini belum tentu. Misalkan, guru yang ini sejahtera dan yang ini tidak sejahtera. Karena yang satu statusnya P3K misalkan, sementara yang satunya honorer gitu dan belum sertifikasi. Jadi memang harus dibuat satu arah dulu. Keterampilan guru memang harus ditingkatkan, tapi kualifikasinya pun harus jelas,” jelasnya.

Sistem untuk profesi guru sekarang nyatanya dibeda-bedakan. Benar adanya soal guru yang harus punya kualifikasi untuk mengajar. Tapi, indikator dan sistemnya harus jelas dan satu arah. Tidak bisa dibuat berbeda-beda. Seharusnya, sistem bisa menghadirkan guru dengan kualitas sama rata untuk mengajar sehingga ketimpangan bisa terhindari. Kalau sekarang guru dibeda-bedakan, lantas bagaimana kualitas siswa yang terdidik?

Orang Tua Kedua

Dari label guru yang berbeda-beda sesuai sistemnya tadi, ada juga label guru dalam pendidikan. Penamaan “orang tua kedua” bagi siswa di sekolah sering dilontarkan pada profesi guru. Guru menjadi profesi dengan tugas yang berat karena harus menuntun siswa. Tidak hanya ceramah soal materi, guru harus membimbing siswa di sekolah. Memang tantangan sebagai guru harus melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, sistem yang dibuat harus jelas dan memiliki indikator yang sesuai untuk guru.

Jennifer Wijaya sebagai siswi di SMK Telkom Bandung berpendapat soal guru menjadi orang tua kedua di pendidikan sekarang.

“Kalau sekarang sih ada baik dan buruknya juga sih. Baiknya tuh ya, guru bisa mengerti siswa gitu. Walaupun, ada aja gitu guru yang belum bisa membuat muridnya ngerti. Hal ini tuh berpengaruh juga karena bisa aja murid males dan mikir buat bolos aja gitu. Sekarang juga ya guru-guru prodi udah jadi orang tua kedua buat aku. Aku lebih nyaman untuk terbuka ke guru, walau ya tadi lagi ada beberapa guru yang masih belum stimulus,” ujarnya.

Guru yang penuh tantangan dari sistem pendidikan yang ada tetap memberikan fasilitas baik terhadap siswanya. Siswa bisa menjadikan guru orang tua kedua yang membuat mereka merasa dimengerti. Ide-ide yang ingin dikemukakan siswa bisa dirangkul oleh guru.

Harapan dan Saran Untuk Guru Indonesia

Demi pendidikan yang lebih baik, tentu saja harus ada perubahan. Perubahan yang signifikan dilakukan agar tenaga pendidik pun bisa lebih jelas arahnya. Guru menjadi penopang pendidikan di Indonesia untuk membimbing tiap siswanya. Sebagai siswa, Azka memberikan harapan untuk guru-guru di Indonesia.

“Semoga ya guru bisa memberi pemahaman yang mengikuti perkembangan zaman. Ya, contohnya pelajaran umum itu bisa disesuaikan dengan jurusan di SMK juga. Bisa menerima juga saran dan kritik dari siswanya juga sebagai guru,” jelasnya.

Pak Rendy juga mengharapkan soal sistem guru di Indonesia agar lebih efektif arahnya.

“Di negeri ini, cara untuk menghargai suatu profesi itu terkadang butuh proses. Contohnya, menghargai seseorang untuk mendapatkan profesi guru dalam bekerja. Sudah benar arahnya untuk menjadi guru itu ada PPG dan kualifikasinya juga ada yang sarjana S1. Namun, sistem yang dijalani untuk mendapatkan profesi guru ini panjang dan tidak efektif. Memang harus ada perbaikan sistem dan butuh waktu. Ditambah lagi pergantian kurikulum yang sering tiba-tiba. Dari fenomena tersebut, sebenarnya ada hal yang harus dipahami terlebih dahulu dari segi pedagogik oleh guru di era sekarang, yaitu memahami kondisi peserta didik generasi sekarang,” ujarnya

Begitu pun, Raskal menambahkan saran untuk para guru di Indonesia agar pendidikannya tetap berjalan baik.

“Untuk para guru, lebih awareness aja terhadap muridnya, lebih hati-hati juga. Guru juga ya mengikuti perkembangan zaman dan mengerti situasi murid-muridnya,” tambahnya.

Guru diharapkan menjadi sosok pembimbing yang bisa mengerti siswanya. Sistem pendidikan pun harus mendukung guru untuk memfasilitasi tiap siswanya pula. Semua pihak harus bekerja sama. Mulai dari sistemnya yang efektif, guru yang terarah, dan siswa yang terdidik.

Penulis: Nabil Atiqi Putra Amory
Editor: Ghaliah Syahiratunnisa

Baca Juga: 3 Rekomendasi Karya Sastra Keagamaan Versi Dosen Sastra