Selasa (9/8) sore, Unit Kajian Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI bersama dengan Hima Satrasia FPBS UPI menggelar diskusi publik yang bertajuk “Rakyat Melawan, KUHAP Menangkap”. Kegiatan ini menjadi bagian dari program rutin Selasaan UKSK UPIyang konsisten mengangkat isu-isu sosial, perlawanan rakyat, dan pengkajian problematika Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kegiatan diskusi menghadirkan M. Rafi Saiful Islam, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandung, sebagai pemantik bersama M. Suyadi Badar dari perwakilan Satrasia sebagai moderatornya.
Ketika Rakyat Berhadapan dengan Hukum
Pembahasan awal diskusi ini difokuskan pada posisi rakyat ketika berhadapan dengan aparat hukum. Seringkali wakil rakyat membuat kebijakan serta peraturan yang jauh dari keinginan rakyatnya, salah satunya adalah KUHAP. Rafi menegaskan bahwa, KUHAP memang sering berubah-ubah yang pada akhirnya menjadi sinyal represi negara kepada rakyatnya. Padahal jikalau melihat pada tujuan akhir, KUHAP seharusnya disusun untuk penegakkan hukum pidana. Tujuan ini untuk menjaga dan menegakkan hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara yang digadang-gadangkan adil dan demokratiks.
“KUHAP yang lama itu sudah sering dijadikan alat pukul oleh kekuasaan. Lalu di KUHAP yang baru ini, justru memperluas penanganan aparat hukum untuk melakukan kriminalisasi terhadap kawan-kawan rakyat,” tuturnya.
Ia menekankan bahwa KUHAP memberi kewenangan besar sejak tahap penyelidikan hingga penyidikan. Aparat dapat menahan seseorang yang dicurigainya hingga 20-40 hari, mulai dari menggeledah rumah atau menyita barang-barang pribadi. Semua itu sah bila dipandang secara hukum acara pidana. Namun pada kenyataannya, legalitas tidak selalu beriringan dengan keadilan terkhusus untuk rakyat yang tidak mempunyai power atau kekuasaan.
“Dari adanya hal-hal itu, aparat penegak hukum bisa merampas hak asasi manusia secara legal,” tambahnya.
Kondisi tersebut menunjukkan regulasi yang seharusnya melindungi, justru bisa berubah menjadi alat legitimasi pelanggaran. Aturan yang dibuat atas nama kepastian hukum pada akhirnya akan memberi ruang bagi aparat untuk bertindak tanpa batas, seolah semua tindakan yang diambil bisa disahkan secara legal. Dalam situasi seperti ini, peran mekanisme pengawasan menjadi sangat penting, sebab tanpa kontrol yang jelas penyalahgunaan kekuasaan akan semakin lebar.
Baca juga: Potret Sosial Kemasyarakatan Petani Pangalengan dalam Mewujudkan Reforma Agraria Sejati
“Dengan kewenangan sebesar itu, mana check and balancenya? Kalau orang sudah dikasih kekuasaan, apalagi sistem hukum atau lingkungan yang tidak melakukan pengawasan, dia akan mengambil keputusannya sendiri itu.”
Situasi ini, membuat kekuasaan aparat sering berjalan tanpa kendali. Ketika prinsip check and balance diabaikan dan mekanisme pengawasan tidak berjalan, keputusan hukum kerap ditentukan secara sepihak oleh aparat di lapangan. Alih-alih menjalankan aturan sesuai ketentuan, kewenangan yang besar itu justru dipakai untuk menekan rakyat. Kondisi ini semakin nyata terlihat dalam berbagai peristiwa, terutama saat terjadi aksi-aksi unjuk rasa, dalih penggunaan hukum dilakukan secara serampangan dan jauh dari makna sebenarnya yang telah diatur dalam perundang-undangan.
“Misal ada orang yang lagi jogging, ada yang lagi ngantar makanan alias ojol, ada yang lagi pulang kerja, itu bisa saja secara serampangan ditangkap dengan penggunaan istilah tertangkap tangan, walaupun orang tersebut tidak sedang mengikuti aksi unjuk rasa.” tegasnya.
Beberapa contoh penangkapan serampangan itu menunjukkan istilah hukum bisa digunakan secara keliru untuk membenarkan tindakan aparat yang salah. Pola serupa bukan hanya terjadi sekali, tetapi juga berulang dalam berbagai kasus lain, contohnya penolakan proyek geothermal di Cianjur. Pada salah satu peserta aksi, mendapatkan surat panggilan dari Polsek setempat atas dugaan tindak pidana penghasutan. Dari sinilah muncul sebuah ironi, yaitu sesuatu yang secara prosedural digunakan agar tampak sah, tetapi pada kenyataannya justru semakin menjauh dari rasa keadilan.
“Legal sih, tapi yang legal ini belum tentu adil dan legal yang ini belum tentu benar,” tambah Rafi, menekankan perbedaan posisi rakyat dan aparat ketika berhadapan dengan hukum.
Membaca Perlawanan di Tengah Represi
Dimensi lain yang penting untuk dilihat adalah perlawanan rakyat yang justru terus tumbuh di tengah represi. Di mana KUHAP dengan perangkat kewenangannya, kerap dijadikan alat untuk membungkam suara-suara rakyat. Oleh karena itu, Rafi mengingatkan bahwa sejarah panjang Indonesia sarat dengan praktik kriminalisasi. Sejak masa Orde Baru hingga era reformasi, aparat hukum berulang kali menggunakan pasal-pasal KUHAP untuk menekan kebebasan berekspresi, menempatkan masyarakat dalam posisi rentan berhadapan dengan hukum negara.
“Pada faktanya KUHAP yang sedang dibahas di DPR RI bersama pemerintah itu belum, memuat hak-hak asasi manusia secara proporsional. Penyusunan KUHAP itu dilakukan tidak transparan, tidak melibatkan partisipasi publik, kemudian tidak ada check and balance,” ungkapnya.
Menurut Rafi, persoalan ini bukan sekadar teknis perumusan hukum, melainkan menyangkut legitimasi dan masa depan demokrasi itu sendiri. Tanpa keterbukaan dan partisipasi publik, produk hukum akan terus berpihak pada kekuasaan dan bukan pada rakyat. Menanggapi hal ini, seorang peserta diskusi mempertanyakan bagaimana perlawanan rakyat bisa bertahan di tengah represi yang terus berulang. Rafi menjawab dengan menekankan pentingnya solidaritas sebagai energi kolektif yang menjaga keberlanjutan perlawanan.
“Kita melihat, setiap kali ada represi, selalu muncul perlawanan. Dari situ kita belajar bahwa hukum tidak boleh menjadi penjara, melainkan harus membuka ruang demokrasi,” jawabnya.
Ia menambahkan bahwa solidaritas itu tidak lahir begitu saja, melainkan harus ditopang oleh wadah dan kerja kolektif. Di sinilah peran lembaga bantuan hukum menjadi kunci, bukan hanya untuk memberi pendampingan, tetapi juga sebagai benteng yang melindungi hak-hak warga. “Kalau ada individu yang diserang sistem hukum, harus ada penyangga,” tambahnya, sambil menekankan penjelasan bahwa kekuatan rakyat selalu menemukan jalannya selama ada kebersamaan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan.
Baca juga: Sulit Bicara, Padahal Banyak yang Ingin disampaikan? Mungkin Masalahnya Ada pada Inner Child Kita
Kampus sebagai Ruang Dialektika
Selanjutnya, diskusi beralih pada pembahasan mengenai peran kampus sebagai ruang dan arena untuk berdialektika atas realitas sosial yang sedang dihadapi. Kampus dipandang bukan hanya tempat mahasiswa menuntut ilmu secara formal, tetapi juga ruang untuk menguji, mempertanyakan, dan merumuskan jawaban atas persoalan rakyat. Berdasarkan hal ini, kampus seharusnya tidak boleh dipersempit hanya menjadi ruang belajar semata, melainkan harus berfungsi sebagai wadah bagi lahirnya kritik, keberanian berpikir, serta keberpihakan terhadap nilai-nilai keadilan dan demokrasi.

Suasana pembukaan diskusi “Rakyat Melawan, KUHAP Menangkap” oleh moderator, Selasa (09/09/2025). (Foto: Nabilah Novel Thalib/Literat)
Badar, selaku moderator juga mengingatkan bahwa kampus memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga nalar kritis mahasiswa. Di tengah perubahan regulasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, suara mahasiswa menjadi sangat penting. Ia menegaskan bahwa keterlibatan mahasiswa tidak boleh berhenti pada lingkup akademik belaka, melainkan harus menyentuh ranah pengawasan terhadap kebijakan negara, khususnya revisi KUHAP yang tengah dibahas.
“Maka dari itu suara-suara kita, khususnya dari mahasiswa, harus terus mengkritik proses penyusunan KUHAP. Karena KUHAP itu enggak cuma ngomongin teman-teman doang, tapi ngomongin seluruh masyarakat yang ada di Indonesia,” katanya.
Beberapa peserta lain, kemudian mengaitkan isu ini dengan persoalan kebebasan akademik yang belakangan kerap terancam. Menurut mereka, diskusi publik seperti ini perlu diperbanyak agar wacana hukum tidak hanya dimonopoli oleh praktisi dan pakar yang kemudian dieksekusi oleh aparat, tetapi juga menjadi ruang dialektis mahasiswa untuk menyampaikan pandangan. Dengan begitu, kampus tetap relevan sebagai ruang berdialektika sekaligus pengawasan akan demokrasi.
“Diskusi seperti ini penting, karena hukum adalah ruang yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Jangan sampai kita hanya jadi penonton ketika aturan yang tidak adil lahir dan berlaku,” ujar Rafi menambahkan.
Merawat Kolektifitas untuk Hukum yang Berkeadilan

Suasana diskusi “Rakyat Melawan, KUHAP Menangkap”, Selasa (09/09/2025). (Foto: Nabilah Novel Thalib/Literat)
Hasil penghujung diskusi, merangkai benang merah dari berbagai perspektif yang muncul sehingga terlihat bahwa perjuangan melawan represi hukum tidak bisa dilepaskan dari kolektifitas lintas ruang. Kampus dipandang sebagai wadah untuk merawat nalar kritis dan melahirkan keberanian berpikir, sementara suara rakyat dalam aksi-aksi unjuk rasa hadir sebagai wadah pengalaman langsung yang tidak boleh diabaikan.
Rafi menekankan bahwa, lembaga bantuan hukum seperti LBH setiap hari bersentuhan langsung dengan kasus-kasus warga yang berhadapan dengan jeratan hukum. Adanya aduan suara mereka bukan sekadar formalitas, melainkan hasil representasi nyata dari realitas hukum kepada rakyatnya. Oleh karena itu, dalam setiap revisi dan pembuatan kebijakan, seharusnya rakyat didengar dan diimplementasikan pada isi kebijakannya, bukan justru direpresifitas.
Kolekifitas antara rakyat, LBH, akademisi, dan mahasiswa menjadi kunci agar revisi KUHAP tidak berjalan timpang. Tanpa partisipasi publik, hasil revisi hanya akan memperkuat kekuasaan aparat dan semakin melemahkan rakyat. Dari diskusi ini pula menghadirkan satu kesadaran bersama, yaitu hukum tidak boleh berdiri sebagai teks prosedural, melainkan harus selalu berhubungan dengan kehidupan rakyat selaku manusia yang ingin dilindungi.
Melalui diskusi “Rakyat Melawan, KUHAP Menangkap” UKSK dan Satrasia berharap ruang diskusi ini tidak berhenti sebagai agenda sesaat, melainkan tumbuh menjadi kebiasaan berdialektika hukum yang hidup di kampus. Ruang seperti ini dipandang penting bukan hanya untuk memperkaya pengetahuan, tetapi juga untuk memperkuat keterlibatan mahasiswa dalam mengawal isu-isu hukum yang langsung bersentuhan dengan rakyat.
“Hukum hanya akan bermakna bila ia berpihak pada manusia. Revisi KUHAP adalah momentum untuk menegaskan arah itu,” ujar Rafi dalam penutupan diskusi.
Pernyataan ini seakan menjadi pengingat bahwa perjuangan membela keadilan tidak boleh terhenti pada ruang diskusi wacana, melainkan harus terus dijaga melalui kolektifitas, keberanian berpikir, dan kesediaan untuk bertindak. Dengan hal ini, ditegaskan kembali peran kampus sebagai ruang penghubung, antara teori dan praktik, antara mahasiswa dan rakyat, antara hukum dan keadilan. Dari ruang inilah nalar kritis tumbuh membersamai rakyat agar suara keadilan kembali digemakan dan harapannya akan lahir hukum yang lebih manusiawi untuk rakyat.
Baca juga: Kamera Dimatikan Saat Penampilan Mokafak Hima Satrasia: Pembungkaman atau Masalah Teknis?
Penulis: Nabilah Novel Thalib
Editor: Muhammad Fadlan Afif Radana