Pada 19 Maret 2025, kantor grup media Tempo di Palmerah, Jakarta, digegerkan dengan pengiriman “kepala babi tanpa telinga” yang dibungkus kotak kardus serta dilapisi styrofoam dan lakban berwarna coklat. Paket tersebut ditujukan kepada salah satu wartawan desk politik Tempo, yaitu Francisca Rosana atau yang akrab disapa Cica.
Dilansir dari Tempo.CO, kardus dengan label nama “Francisca Rosana” itu diterima sekuriti pada tanggal 19 Maret 2025 pukul 16.15 dan diletakkan di dekat resepsionis. Keesokkan harinya, pada tanggal 20 Maret 2025, Cica bersama Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran yang merupakan wartawan desk politik juga mengambil paket tersebut dan dibawa ke ruang redaksi lantai IV. Hussein mengatakan bahwa memang sudah tercium bau busuk dari dalam kardus tersebut. Benar saja, setelah dibuka, terlihat satu kepala babi tanpa telinga dengan darah disekitarnya. “Baunya makin menyengat dan terlihat masih ada darahnya,” (Tempo, 21 Maret 2025) begitu kata Hussein. Ia mengaku sudah curiga bahwa paket tersebut merupakan teror sebab tidak tertera nama pengirimnya.
Baca Juga: Ojol Korban Brutalisme Aparat: Hukum Melindungi Siapa?
Pada tanggal 21 Maret 2025, Wakil Pimpinan Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, mengatakan bahwa kasus teror ini sudah dilaporkan ke Mabes Polri dan didampingi oleh Koalisi Keselamatan Jurnalis. Mereka membawa paket kepala babi tersebut serta rekaman cctv sebagai bukti. “Ini adalah teror terhadap kerja jurnalistik dan kebebasan pers secara keseluruhan,” Kata Bagja. Tak lupa, ia juga mengungkapkan bahwa kondisi Cica baik-baik saja dan tetap bekerja seperti biasa dengan mendapatkan perlindungan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Selang beberapa hari, tepatnya pada tanggal 22 Maret 2025, kantor redaksi Tempo kembali mendapat teror serupa. Kali ini ditemukan kardus yang dilapisi kertas kado bermotif bunga-bunga berisikan enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Dilihat dari cctv, paket tersebut dilemparkan orang tak dikenal ke dalam gedung Tempo pada pukul 02.11 dini hari. Tidak ada tulisan apapun, namun terdapat penyok di ujung kardus.
Pimpinan Redaksi Tempo, Setri Yarsa, mengatakan bahwa mereka belum bisa menduga siapa dalang dibalik dari pengiriman teror-teror yang sedang berlangsung. “Kami pun belum memiliki dugaan siapa pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut. Biar nanti aparat penegak hukum yang mencarinya,” ujarnya. Namun sebelum mendapatkan teror bangkai tikus, kantor redaksi Tempo sempat menerima pesan ancaman melalui akun Instagram tak dikenal dengan username @derrynoah pada hari jumat, 21 maret 2025. Isi pesan tersebut mengatakan bahwa pengirim akan terus meneror “sampai mampus ke kantor kalian”.
Meski sedang mendapat banyak teror, Setri menyatakan bahwa Tempo akan tetap memproduksi berita seperti biasa. “Meskipun begitu, produksi Tempo terus berjalan seperti biasa. Kami tetap memproduksi konten premium harian, mingguan, dan majalah Tempo,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Kantor Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan bahwa kasus teror ini bukan merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan pers. Menurut Hasan, pers di Indonesia sudah sangat bebas untuk memberikan pendapat dari berbagai sudut pandang. Hasan juga memberikan perspektifnya bahwa kejadian teror ini bisa jadi karena Tempo memiliki masalah dengan pihak lain. Maka dari itu, ia merasa persoalan ini tidak seharusnya ditanyakan kepada pemerintah. Lebih lanjut, Hasan pula menilai respon Tempo dan Cica yang santai terhadap teror ini membuatnya ragu apakah ini benar adanya atau hanya jokes saja. Alih-alih memberikan ketenangan, Hasan malah menganggap bahwa kasus ini merupakan hal biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Ia bahkan mengatakan kepala babi tersebut lebih baik dimasak saja. “Udah, dimasak aja,” Ujarnya.
Berbanding terbalik, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, Kholid Harras, berpendapat bahwa kasus teror ini tidak dapat dipandang sebagai hal yang biasa saja. Apalagi kasus ini diperkuat dengan pesan ancaman di media sosial, menunjukkan bahwa teror ini sudah direncanakan matang-matang. Ia juga menambahkan dalam konteks kebebasan pers, tindakan teror ini jelas merupakan bentuk pembungkaman yang harus segera diusut tuntas oleh aparat penegak hukum. Jika tidak, hal ini dapat berdampak buruk terhadap kebebasan pers di Indonesia. Dalam artikelnya yang berjudul Semiotika Teror “Kepala Babi” dan “Bangkai Tikus”, Kholid menjelaskan bahwa dalam semiotika, kepala babi mengandung pesan penghinaan dan peringatan, sementara bangkai tikus yang kepalanya terpenggal menyimbolkan kebusukan, pengkhianatan, dan ancaman.
Penulis: Fatiyyah Azzahrah
Editor: Ghaliah Syahiratunnisa
Baca Juga: Vandalisme Tidak Lahir dari Ruang Hampa, Tembok Menjadi Saksi Kecacatan Demokrasi