Satrasia! Hidup!
Hidup! Satrasia!
Sejak dilantiknya Presiden RI Prabowo Subianto pada (20/10/24), banyak isu dan kontroversi yang terjadi walau belum genap setahun menjabat. Hal ini menciptakan banyak gelombang-gelombang demonstrasi baru muncul. Melihat hal tersebut, tidak sejalan dengan optimismenya yang besar sebelum dilantik, padahal tugasnya adalah memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Namun, sekarang hanya menjadi ironi. Ironi yang terus terjadi kini bukan lagi menjadi komedi, dan per agustus kemarin telah menjadi tragedi.
Vox populi, vox deiDemonstrasi 25 Agustus: Kenaikan tunjangan DPR
Pada (25/8) telah terjadi aksi unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menuntut pembatalan tunjangan perumahan untuk anggota DPR. Isu tersebut menjadi keresahan bagi masyarakat luas karena dinilai tidak etis dan nir-empati untuk menaikkan gaji dan tunjangan anggota DPR di tengah kesulitan ekonomi masyarakat. Selain isu kenaikan tunjangan Anggota DPR yang masih tidak transparan, masyarakat juga menuntut kenaikan upah buruh, pengesahan RUU Perampasan Aset, dan tuntutan tuntutan lain untuk mensejahterakan taraf hidup masyarakat.
Aksi pada (25/8) tidak semerta-merta hanya soal gaji beserta tunjangan DPR dan kontroversi anggota DPR dengan ujaran-ujaran dan sikapnya. Akan tetapi aksi tersebut adalah akumulasi dari kejenuhan dan amarah masyarakat terhadap pemerintah dalam menanggapi permasalahan dalam negeri seperti kemiskinan yang masih menghantui tidur malam masyarakat.

Jika kita melihat realita di jalanan, ketimpangan sangat nyata didepan mata. Besaran Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) sangat jauh dengan gaji dan tunjangan anggota DPR. Tahun 2025, UMR terendah berada di Provinsi Jawa Tengah sekitar Rp2,1 juta, sedangkan UMR tertinggi tercatat di Kota Bekasi mencapai lebih dari Rp5,3 juta. Bandingkan dengan tunjangan perumahan anggota DPR yang baru saja disorot publik, nilainya bisa mencapai 50 juta per bulan bahkan bisa lebih dari 100 juta per bulan, di luar gaji pokok dan fasilitas lainnya seperti kendaraan dinas, tunjangan aspirasi, dan tunjangan reses.
Badan Pusat Statistik (BPS) menilai posisi jumlah penduduk miskin yang 8,47 persen pada Maret 2025 merupakan terendah sepanjang sejarah. Namun jika dilihat dari garis kemiskinan internasional, garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini hanya sekitar USD 3,35 Purchasing Power Parity, hanya sedikit diatas garis kemiskinan ekstrem garis kemiskinan internasional yang ditetapkan World Bank 2021 yakni USD 3,00 Purchasing Power Parity. Hal ini menunjukkan berapa rendahnya pemerintah untuk menentukan standar kemiskinan. Alih-alih menaikkan upah untuk kesejahteraan rakyat, mereka menetapkan garis yang begitu rendah untuk melihat kemiskinan.
Di saat buruh dan petani masih berjuang untuk menutup biaya hidup harian dengan upah minimum yang sering tidak sebanding dengan harga kebutuhan pokok, anggota DPR justru menerima fasilitas berlimpah yang sulit dibenarkan secara moral maupun politik. Kontras ini menegaskan jurang kesejahteraan antara rakyat pekerja dengan wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan mereka, itu sama saja mengkhianati pancasila sila ke-lima. Tidak ada keadilan ketika pemerintah makan tuna sementara rakyat beradu jotos di pasar untuk mendapatkan ikan asin. Tuntutan-tuntutan tersebut merupakan aspirasi yang sah dan perlu direalisasikan demi kesejahteraan bersama.
Baca juga: Mahasiswa UPI Tetap Beraksi di Tengah Banyak Intimidasi
Salus populi suprema lex estoPanggil siapa ketika polisi membunuh?
Aksi (25/8) awalnya berlangsung damai dengan orasi menuntut pembatalan pembatalan tunjangan perumahan, transparansi gaji DPR, dan sejumlah reformasi kebijakan lainnya yang dianggap merugikan rakyat. Namun, semangat aksi tersebut dibalas dengan tindakan represif ketika massa mulai mendekati Gedung DPR dan mencoba untuk melewati barikade yang dibuat oleh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Aksi menjadi ricuh setelah aparat bertindak represif terhadap massa aksi. Gas air mata pu digunakan untuk menghalau para demonstran. Kerusuhan meluas ke beberapa titik di Jakarta. Fasilitas publik dirusak oleh oknum tidak bertanggung jawab, penembakan gas air mata, penangkapan massal hingga tindak represif kepada jurnalis yang dipukul dan dibungkam ketika berusaha memberikan informasi kepada masyarakat melalui fitur Live di kanal YouTube pribadi. para demonstran pun ditahan oleh pihak berwajib.

“Ada sekitar 370-an orang yang ditangkap di Polda, dua ratusan di antaranya adalah anak di bawah umur. Pendamping hukum melihat peserta yang ditangkap mengalami bonyok dan luka-luka ” kata perwakilan LBH Jakarta, Daniel Winarta, dalam keterangan tertulis kepada Tempo.co, Selasa (26/8).
Represifitas aparat mencapai puncaknya dengan insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online. Ia tewas setelah ditabrak oleh kendaraan taktis Brimob saat unjuk rasa berlangsung. Insiden tersebut terekam dan viral di media sosial, memicu kemarahan dan memperluas demonstrasi ke kota-kota lain seperti Bandung, Bali, Medan, Makassar, Surabaya, Solo, dan masih banyak kolektif lainnya. Kematiannya menjadi martir demokrasi, memperbesar skala protes dan berubahnya arah dan fokus demonstrasi dari tuntutan politik menjadi seruan mendesak untuk keadilan dan reformasi kepolisian.
Kematian Alm. Affan memicu aksi lanjutan pada (29/8) dengan fokus bertambah penyuaraan aspirasi tidak hanya kepada DPR, tetapi juga kepada POLRI. Massa berkumpul di Polda Metro Jaya dan Mako Brimob Kwitang, menuntut keadilan atas kematian Affan dan reformasi kepolisian. Jenderal Listyo Sigit selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia, meminta maaf dan menahan tujuh anggota Brimob untuk pemeriksaan etik, namun hal ini tidak dapat meredam kemarahan publik.
Media sosial mencuat dengan tagar-tagar #PolisiPembunuh, #ACAB, #1312 untuk mengekspresikan kekecewaan dan kemarahan masyarakat kepada Polri. Kemudian titik demonstrasi tidak lagi hanya berfokus pada DPR maupun DPRD, massa aksi juga ikut menghantam kantor-kantor kepolisian di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Makassar, dan Solo.
Hingga hari ini, korban jiwa akibat represifitas aparat tidak berhenti di Affan Kurniawan, tetapi ada Rheza Sendy Pratama (Mahasiswa Ilkom 2023 Universitas Amikom) yang tewas dalam kerusuhan di kawasan Ringroad Utara, depan Markas Polda DIY, Ahad pagi, 31 Agustus 2025. bahkan warga sipil seperti Sumari (tukang becak) yang sehari-hari mangkal di kawasan Pasar Gede. Dikutip dari Radar Solo, pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu ditemukan dalam kondisi lemas di dekat gedung parkir Ketandan ketika bentrokan massa dan polisi memanas di Bundaran Gladak.
Baca juga: Sekuel The Platform: Ketika Distopia Hanya Selangkah dari Realitas
Beberapa korban lainnya sejak 25 Agustus 2025 sampai sekarang
- Septinus Sesa
Aktivis Manokwari yang tewas saat aksi blokade di kawasan Wirsi dan Jalan Yos Sudarso, Manokwari, Kamis malam, 28 Agustus 2025. - Iko Juliant Junior
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, Iko Juliant Junior, tewas di Rumah Sakit Kariadi pada Ahad siang, 31 Agustus 2025. Iko mengalami luka dalam hingga kritis. - Andika Luthfi Falah
Siswa kelas 11 SMK asal Desa Pematang, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, meninggal saat ikut demonstrasi menuntut pembubaran DPR di kawasan gedung DPR pada 28 Agustus 2025. - Syaiful Akbar
Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Kecamatan Ujung Tanah. Ia meninggal di Rumah Sakit Grestelina. Syaiful adalah satu dari tiga korban yang terjebak dalam kebakaran di gedung DPRD Kota Makassar. - Muhammad Akbar Basri
Fotografer Humas DPRD Kota Makassar. Jenazah Muhammad Akbar Basri alias Abay, 26 tahun, ditemukan tim SAR di lantai tiga gedung DPRD dalam kondisi hangus terbakar. Diduga ia bersembunyi bersama rekannya untuk menghindari amuk massa, namun terperangkap saat api membesar. - Sarinawati
Staf DPRD Kota Makassar yang juga ditemukan tewas di lantai tiga gedung. Sama seperti Abay, wanita berusia 25 tahun ini diduga mencoba menyelamatkan diri dengan bersembunyi, tetapi tak berhasil keluar ketika api melalap bangunan. - Rusmadiansyah
Pengemudi ojol 26 tahun itu dituduh oleh massa sebagai intel aparat. Ia Sempat dibawa ke RSUP OJK Kemenkes RI di kawasan CPI, tapi nyawanya tak tertolong.
Banyak korban jiwa dalam gelombang aksi ini dari berbagai kota, seperti di Jakarta, Makassar dan Manokwari. Bukan hanya korban jiwa tapi korban medis yang terkena gas air mata, korban penangkapan dan korban luka-luka sudah lebih dari ratusan.
Tindakan represif aparat tidak berhenti hanya di titik aksi, mereka juga turut melakukan sweeping di beberapa titik di kota-kota tertentu. Kendaraan-kendaraan aparat terpantau sedang berlalu lalang dalam jumlah kelompok melalui sosial media. Hal tersebut menjadi ketakutan dan keresahan masyarakat, apalagi ketika aparat sudah menyisir daerah kampus. Bahkan pada (1/10) di tengah malam Kampus Unisba dan Unpas diserang oleh aparat dengan gas air mata. Aparat sudah terang-terangan untuk merepresi bukan cuma aksi massa, tetapi masyarakat secara umum. Padahal sudah jelas bahwa Unisba dan Unpas adalah titik posko medis bagi para korban aksi. Jika merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 yang mengatur penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, aparat yang menembakkan gas air mata di kampus Unisba dan Unpas telah melanggar Perkap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) karena langsung menggunakan gas air mata tanpa melihat tingkatan bahaya ancaman.

Situasi ini menarik perhatian internasional, salah satunya dari Kantor Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR). Ravina Shamdasani, juru bicara OHCHR pada (2/9), menyampaikan pernyataan resmi yang mencerminkan keprihatinan mendalam atas penanganan demonstrasi oleh aparat keamanan di Indonesia. Shamdasani menyerukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat kepolisian. Ia menekankan pentingnya dialog antara pemerintah dan masyarakat untuk merespons keresahan publik, serta menjunjung hak kebebasan berekspresi sesuai dengan norma dan standar internasional.
“Kami menyerukan investigasi yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap semua dugaan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional, termasuk yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan. Pihak berwenang harus menjunjung hak atas kebebasan berkumpul sambil tetap menjaga ketertiban sesuai norma dan standar internasional dalam pengelolaan aksi publik,” ucap Ravina Shamdasani dikutip dari laman OHCHR PBB, Selasa (2/9/2025).
Penutup
Sampai hari ini, negara belum ada respon dan tindakan yang tegas terhadap kejadian ini, seolah-olah tangan mereka bersih. Permintaan maaf presiden Prabowo dan jajarannya bukan tertuju pada masyarakat, tapi hanya kepada korban-korban. Kemudian Presiden Prabowo menstigmatisasi aksi kemarin dengan label “Anarkis”, sebuah narasi lama yang kerap dipakai negara untuk mendelegitimasi perjuangan rakyat. Alih-alih membuka ruang dialog dan menjawab keresahan publik dengan kebijakan nyata, pemerintah justru memilih jalan pintas berupa lip service dan framing negatif terhadap demonstran. Sikap ini bukan hanya memperlebar jurang antara penguasa dan rakyat, melainkan juga menegaskan watak fasis yang masih melekat dalam tubuh negara.
Baca juga: Memahami Gaya Kritik Generasi Muda pada Perayaan Kemerdekaan
Tuntutan rakyat terhadap pemerintah dan DPR RI telah mengeras menjadi agenda reformasi serius, tidak sekadar protes terhadap tunjangan anggota DPR. Meluasnya tuntutan ini menjadi sorotan publik melalui gerakan dikenal sebagai 17+8 Tuntutan Rakyat—17 tuntutan jangka pendek yang harus dipenuhi paling lambat 5 September, serta 8 tuntutan jangka panjang hingga Agustus 2026. Di antaranya terdapat seruan meminta pembekuan kenaikan gaji dan fasilitas anggota DPR termasuk pensiun, transparansi penuh anggaran parlemen, pembebasan demonstran yang ditahan, penghentian brutalitas aparat, hingga pencabutan dualisme fungsi TNI dan reformasi kepolisian. Massa juga menuntut upah layak untuk guru, buruh, mitra ojol, hingga perlindungan terhadap PHK massal dan revisi sistem outsourcing. Sementara di ranah jangka panjang, tuntutannya meliputi reformasi struktural DPR dan partai politik, revisi kebijakan fiskal, pengesahan RUU Perampasan Aset, hingga penguatan Komisi HAM dan lembaga anti-korupsi. Tuntutan-tuntutan ini mencerminkan keresahan luas sebagai respons terhadap kegagalan negara dalam menjawab kebutuhan dasar rakyat dan kecenderungan menutup diri dari dialog publik, menjadikannya momentum kolektif yang tidak bisa lagi diabaikan sebagai sekadar kericuhan aksi politik.
Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi setiap warganya, dengan menjamin perlindungan serta pencegahan terhadap segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara. Realita justru menunjukkan sebaliknya. Aparat negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru bertindak represif, melakukan penangkapan sewenang-wenang, hingga melanggar hak-hak dasar warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Pelanggaran HAM juga masih terjadi hanya untuk kepentingan kapitalis birokrat.
Aksi demonstrasi sejak 25 Agustus 2025 menjadi bukti nyata bagaimana negara gagal menjalankan mandatnya. Tindakan represif aparat dengan penggunaan gas air mata, penangkapan massal, kekerasan fisik, hingga pembunuhan adalah bentuk pelanggaran HAM yang serius.
Penulis: Bidang Kajian dan Penalaran Hima Satrasia FPBS UPI