Untuk cinta dan amarah yang tak tercurahkan, zine adalah sebuah tempat yang tepat untuk diselami. Zine merupakan salah satu media publikasi yang diterbitkan oleh pembuatnya secara mandiri. Tidak ada batasan dalam sebuah zine, kecuali batasan yang dibuat oleh pembuatnya. Para pembuat zine sendirilah yang menentukan zine seperti apa yang akan mereka buat.
Zine sendiri berasal dari kata ‘fanzine’ yang merupakan singkatan dari fan magazine untuk membedakannya dari majalah/magazine komersial. Singkatnya, zine adalah majalah yang dipublikasikan mungkin seadanya tapi memiliki isi yang sama sekali TIDAK seadanya.
Tema-tema fiksi ilmiah merupakan tema-tema yang dibahas di awal kelahiran zine karena zine sendiri lahir dari para penggiat maupun penggemar fiksi ilmiah. Para penggiat dan penggemar fiksi ilmiah tersebut adalah orang-orang yang katanya memiliki kepandaian di atas rata-rata, tapi kemampuan bersosialisasinya rendah. Oleh karena itu, mungkin bagi mereka menemukan dunia fiksi ilmiah merupakan pelarian dari realita yang menolak mereka.
Seiring berjalannya waktu, di pertengahan 1960-an, banyak penggemar fiksi ilmiah dan komik ternyata memiliki minat yang sama terhadap musik rock. Kemudian melahirkan zine musik rock seperti Crawdaddy pada tahun 1966 yang dieditori oleh Paul William dari California yang kemudian menjadi sebuah majalah musik profesional.
Baca juga: Emansipatoris Citra Penulis Perempuan dalam Kesusastraan Indonesia
Pada tahun 1970an, zine mengalami perubahan dari kemajuan teknologi yang melahirkan mesin fotokopi serta perubahan dari munculnya kultur punk. Kultur punk tersebut menyumbangkan banyak hal kepada dunia fanzine/zine, bagaikan sebuah makhluk dengan estetika yang baru.
Ciri khasnya adalah D.I.Y (Do It Yourself) dengan seni potong-tempel yang tidak mengindahkan hak cipta dan orisinalitas dengan mengambil berbagai gambar dan tulisan dari berbagai sumber, kemudian menggabungkan atau bahkan mengubah dan merusak makna aslinya. Etos D.I.Y juga menekankan semangat kemandirian dan kerja sama serta menolak untuk mengikuti struktur yang ada. Oleh karena itu, profesionalitas pun makin terpinggirkan oleh etos D.I.Y tadi.
Akibat meledaknya kultur punk dan munculnya mesin fotokopi pada saat itu, maka zine pun semakin menjamur dimana-mana. Zine punk pertama lahir bersamaan dengan munculnya band Ramones ke permukaan pada 4 Juli tahun 1976, di London, yang bernama Sniffin’ Glue dan di editori oleh Mark Perry. Tahun berikutnya muncul juga zine bernama Slash dan Flipside di L.A. Kemudian ada Maximum RocknRoll yang memulai eksistensinya dari sebuah acara underground di radio yang kemudian menjadi sebuah zine.
Di Indonesia sendiri, pada awalnya zine merupakan media komunikasi dalam komunitas penggemar musik underground. Zine-nya sendiri berisi profil-profil band, rilisan-rilisan album, informasi acara musik, dan lainnya yang berbau musik underground.
Fanzine musik pertama di Indonesia terbit pada tahun 1995 bernama Revograms Zine dari Bandung dan di editori oleh Dinan, vokalis dari band Sonic Torment. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan semua materinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional. Di tahun yang sama hadir juga zine bernama Mindblast Zine di Malang yang di editori oleh Afril dan Samack. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kemudian eksis di band crust-grind, Extreme Decay.
Dari sejarah kemunculan zine tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa zine dan musik merupakan dua entitas yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Zine membantu musik-musik underground terdengar ke permukaan dan begitu juga penggemar musik yang membuat zine menjadi semakin menarik untuk dibaca maupun dibuat sendiri.
Catatan: semua informasi yang ditulis di atas bersumber dari zine bernama Ayo Bikin Zine (Vol. 1) yang dipublikasikan oleh Sangkakalam Publishing. Oleh karena itu, terima kasih!
Baca juga: International Women’s Day: Bagaimana Kabar Perempuan Saat Ini?
Penulis: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah
Editor: Laksita Gati Widadi