Pada Senin (27/4), Subbidang Parsospolmawa Bidang Kajian dan Penalaran Hima Satrasia UPI menghadirkan Diskusi Mahasiswa Departemen (Dismadep) daring dengan topik “Meninjau Sistem Perkuliahan Digital” bersama Dr. Rudi Nugroho, M.Pd. Diskusi dilangsungkan melalui WAG dan dimulai pukul 13.00.
Diskusi dimoderatori oleh Lia Sylvia. Pertama-tama, pemantik memberi pemaparan mengenai bagaimana pandemik Covid-19 berdampak secara signifikan terhadap aspek pendidikan. Dengan diterapkannya sistem pembelajaran jarak jauh, teknologi berperan penting dalam kegiatan pembelajaran. Baik tenaga pendidik maupun peserta didik dituntut untuk beradaptasi dengan situasi ini dalam waktu cepat.
Pihak kelembagaan UPI sendiri telah menyediakan wadah untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran daring ini, yaitu SPOT. Sayangnya, SPOT belum bisa mendukung kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara serentak dalam waktu bersamaan. Karena itu, para dosen pun pada akhirnya bereksplorasi mencari alternatif lain, dengan tetap mempertimbangkan kondisi mahasiswa serta memegang prinsip keamanan dan kesehatan.
Untuk konten/materi pembelajaran hingga pengindikatoran nilai pun sudah merupakan ranah dosen sepenuhnya. Beberapa dosen menuntut mahasiswanya untuk belajar mandiri dengan pemberian tugas. Terkait adanya keluhan mahasiswa tentang diberikannya tugas dalam jumlah ‘overdosis’ tidak bisa langsung dijustifikasi sebab diperlukan adanya penelusuran lebih dalam mengenai hal tersebut.
Baca juga: DISKUSI BERKELAS
Pemantik menyebutkan terdapat tiga tipe orang dalam hal ini: 1. Siap, 2. Terpaksa siap, dan 3. Tidak siap. Kesiapan dalam hal ini diukur dari berbagai aspek, mulai dari sarana sampai kemampuan digital serta dilihat dari keaktifan atau tidaknya pada saat kegiatan belajar. Ketika seseorang ada pada tipe pertama, ia mampu mengeksplorasi serta memanfaatkan peluang pada teknologi. Tipe kedua, pengeksplorasiannya terbatas sehingga akan berkutat pada satu yang dirasanya sudah nyaman. Sedangkan pada tipe ketiga, seseorang cenderung mencari pembenaran atas situasi hal negatif yang didapatnya. Adapun yang tidak siap karena mengalami kesulitan akses internet, dapat dikomunikasikan agar dicari solusinya bersama.
Keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran daring ini tidak luput dari peranan manusianya. Di sini, teknologi hanyalah sekadar alat, sedangkan subjeknya tetap manusia. Oleh karena itu, penguasaan teknologi yang dibarengi kemampuan adaptasi menjadi penting.
“Ini menjadi persoalan bersama. Bagaimana kita membuat sebuah formulasi perkuliahan daring yang dapat diterima semua. Masalah pasti ada, tapi masalah itu baiknya kita framing sebagai sesuatu yang positif dengan memanfaatkan celah di mana kita bisa mengasah kreativitas dan kemampuan.”
Pihak departemen dikatakan telah mendorong pihak universitas untuk memberikan kompensasi akan fasilitas kampus yang tidak terpakai. Sebelumnya, pihak kampus telah memberikan bantuan berupa dana untuk kuota internet sebanyak Rp.100.000 perbulan. “Lebih jauh, mungkin pihak kampus memiliki pertimbangan lain untuk tidak memberi bantuan lebih banyak,” ujar Rudi.
Baca juga: BAHASA DALAM MEDIA DIGITAL SAAT INI
Penulis: Maretta Dwi Anjani
Editor: Rani