Filosofi Iwan Simatupang dalam Bulan Bujur Sangkar

Kamis (27/02), Unit Teater Mahasiswa FIP mementaskan teater dengan naskah Bulan Bujur Sangkar karya Iwan Simatupang. Unit teater tersebut digagas oleh beberapa jurusan dari FIP yaitu: Administrasi Pendidikan, Pendidikan Khusus, Psikologi dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar serta dibantu oleh beberapa kelompok teater seperti Trilogi, Atena dan Spasi.

Pada malam itu Auditorium Gegeut Winda (PKM) sudah dipenuhi oleh para apresiator. Mereka menunggu jalannya pertujunkan sesi 2 yang akan pentas pukul 19.30. Apresiator bukan hanya datang dari kalangan internal kampus, melainkan dari luar kampus pun turut datang untuk mengapresiasi  pementasan yang disutradarai oleh Heldy E.

Pementasasn dimulai dengan iringan musik etnik kontemporer dan lampu merah padam yang fokus ke arah salib. Suasana kelam terbangun oleh musik dan cahaya. Lalu, dikuatkan oleh latar hutan yang gelap, lengkap dengan pohon-pohon besar yang akar-akarnya menggantung.

Adegan diawali oleh seorang kakek bongkok yang datang tergopoh-gopoh sambil membawa setumpuk buku di lengannya. Ia berjalan ke arah salib, kemudian tumpukan buku tersebut dijadikan pijakan. Sambil meracau tentang kematian, ia kalungkan sebuah tali gantung. Setelahnya racauan itu terus berlanjut.

Pementasan Bulan Bujur Sangkar ini berfokus pada kakek. Ia didatangi oleh serdadu muda, perempuan cantik, dan seorang bergamis yang membawa serunai. Dalam pertemuannya dengan serdadu, si kakek berdebat tentang kematian, hukuman mati, dan tiang gantung. Adegan sempat diwarnai dengan saling tuduh menuduh: siapa hendak membunuh siapa.

Adegan selanjutnya dimulai dengan seorang perempuan bertemu dengan kakek dan dia tampak ragu. Bahkan ia tergagap-gagap ketika ditanya siapa oleh si kakek. Sebelum bertanya tentang pemuda yang sedang ia cari, mereka berdua dikagetkan oleh suara tembakan. Lantas setelah suara tembakan itu berhenti, ia bertanya tentang seorang pemuda yang bertahi lalat sebesar biji delima. Ketika menanyakan keadaan si pemuda kepada si kakek, perempuan itu malah disibukan oleh racauan si kakek. “Persetan sofisme!” sahut si kakek kepada perempuan. Lalu, suara serunai terdengar dan menganggu si kakek. Ia meronta-ronta sambil menutupi telinganya. Hal tersebut dimaanfaatkan perempuan untuk pergi secara diam-diam. Dalam perbincangan antara si perempuan dan si kakek, mereka membicarakan harmoni dari suara serunai, pandangan ideologis si kakek tentang kesarjanaan. Setelah itu, si kakek merasa kehilangan wanita cantik itu. Ia meracau tentang keperawanan, kutang dan sutra.

Ketika si kakek hendak mencapai akhir, ia menggunakan tumpukan buku tadi untuk naik ke atas salib. “Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada. Aku yang menyumbangkan bab terakhir pada ilmu filsafat. Hai! Sarjana-sarjana filsafat, catat ini. Aku membunuh oleh sebab itu aku ada.” Kutukan tersebutlah yang menjadi perjalanan dari si kakek yang berakhir gantung diri. (Ilham Abdul Malik/Literat)

Baca juga: Hari Ketiga Road To Bandung Writers Festival: Sepersekian Jaz dan Sastra Kritisisme