Sepeda Gugun

“Cik, lung! Kadieukeun, Lip! 

“Awas! Awas!”

“Euh!”

“Yeay, menang, eung!”

“Eh, naha?”

Aku bisa mendengar suara samar anak-anak bermain bola voli dari kejauhan yang memenuhi sepetak tanah kemerah-merahan dengan net bergelayut setengah badan. Pekikan mereka berlomba dengan asap yang mengepul di hadapanku saat ini. Api masih malu-malu untuk menyala, sementara beras yang sedari tadi siap untuk dipanaskan sudah mulai tak berbentuk. Justru aku yang kepanasan sekarang. Ya, Tuhan. Aku benar-benar mengapresiasi mereka yang bisa menanak nasi di tumpukan kayu seperti ini.

“Kumaha, Bu?”

Ibad, anak pemilik rumah ikut berjongkok denganku. Anak itu tak letih bolak-balik di dapur sedari tadi, siap sedia untuk membantu, dan bukan ikut bermain bersama yang lain. Kegiatan ngaliwet ini betul-betul diidamkan oleh anak-anak kelas 4 dari jauh hari. Namun, sungguh disayangkan beras di dalam tungku ini belum berubah menjadi nasi. 

“Eh, Ibad. Tadi minyakna atos aya?”

“Aya, Bu,” ucapnya seraya menyodorkan satu botol minyak tanah. Here we go. Aku merapal doa penuh harap agar api itu menyala, bukan hanya mengepulkan asap. Namun, semuanya tidak berfungsi dengan baik. Nyaris menyerah, kulirik teman-teman yang baru saja tuntas menggoreng sebagian lauk-pauk. Duh, aku merasa perlu melakukan sesuatu ketika orang lain sedang melakukan sesuatu juga.

Loh, belum nyala?” 

“Belum,” aku menggeleng lemas.

Kali ini Asep yang menghampiriku, menggulung lengan bajunya ke atas, dan tampak berpikir sebentar. Kemudian menumpuk beberapa kayu dan membuang sebagian. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Asep untuk menyalakan api. 

Loh, kok, bisa?”

Asep menunjukkan beberapa kayu yang tadi ia pisahkan. “Kayunya tadi basah.” 

Sontak aku melongo melihatnya, bertanya-tanya ke mana saja pikiranku sedari tadi. Asep hanya tertawa kecil melihatku. Terdorong rasa tidak enak karena belum melakukan sesuatu yang menghasilkan. Kontribusi gantinya, aku memutuskan untuk membantu belanja bahan masakan ke Bi Iyem karena pasar sangat jauh dari sini.

“Tapi, lumayan, jauh, Na,”  Asep tampak tidak setuju.

“Bi, Iyem, ‘kan?” tanyaku memastikan, tetapi sahutan dari dapur terdengar.

“Tambah kangkung juga, ya, Teh!

Seraya memakai sendal ala kadarnya, aku mengacungkan jempol ke arah Ivi. Sementara Asep masih terlihat keberatan. “Beneran gapapa, kok, Sep,” setelah meyakinkan Asep berkali-kali, akhirnya kami bersepakat dengan catatan akan berhati-hati. Ya, beginilah. Kurang lebih sudah empat bulan aku bersama rekan-rekanku melakukan pengabdian di sini, daerah Jatinunggal, Sumedang. Keterbatasan akses menjadi salah satu tantangan terbesar yang aku rasakan, seperti saat ini.

Sebelum berangkat, mataku tertuju pada jajaran sepeda yang tersampir zig-zag di samping halaman belakang rumah. Tiba-tiba aku sangat tertarik untuk mencoba mengendarainya, mengingat warung Bi Iyem yang lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.  Di sisi lain, terakhir kali aku mengendarainya itu sekitar 6 tahun yang lalu. 

Ketika sedang larut mempertimbangkan resiko yang akan aku ambil,  tiba-tiba saja seorang anak dengan poni berbentuk segitiga terbalik menghampiriku dengan tergesa-gesa. Anak itu mengambil bola voli yang tadi menggelinding. “Anu Gugun wae, Bu,” ujarnya seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengamati sepeda berwarna biru yang terlihat tidak begitu besar. Hm, ukurannya proporsional. “Osok dianggo ameng da, Bu, ku Gugun. Henteu kunanaon.” Oke, bagus. Aku tersenyum tulus ke arahnya yang diikuti oleh suara sapi di kandang sebelah. 

Sepeninggalan Alip, aku menaiki sepeda Gugun seraya merapal doa. Perasaan takut menyelimuti sesaat dan secepat kilat kutepis. Ini untuk keberlangsungan hidup, Na. Mantapkan niat, aku baru hendak mengayuh sepeda sebelum Ivi berteriak dari kejauhan, “Teh, Teh!” Perempuan itu membawa satu gulung kertas tak beraturan. Daftar tambahan belanjaan. “Ini kalo uangnya cukup saja, Teh, tambah tahu. Kata Teh Jeje di dalam gak ada.”

Aku mengangguk singkat, laporan diterima.  

“Ada lagi, Vi?” tanyaku yang sudah siap mengendarai sepeda dan mencoba membaca singkat keadaan jalan setapak di depanku. “Itu aja, Teh.”

Selayaknya akan pergi berperang, aku pamitan kepada Silvi. Lalu, sepersekian detik kemudian, aku meluncur bersama sepeda Gugun. Belum jauh dari tempat pemberangkatan, samar-samar aku bisa mendengar Silvi berteriak dari kejauhan, “Teh, standarnya jangan lupa.” Oh, ya ampun! Hampir saja lupa. Aku menaikkan alat bantu yang ternyata masih tersampir manis itu dengan cekatan dan sedikit oleng.

Baca juga : Hidangan Spesial

Sebetulnya, perjalanan ke tempat Bi Iyem tidak terlalu jauh. Lagipula bukan jauh atau dekat yang menjadi tantangan perjalanannya, melainkan jalan itu sendiri. Yap! Jalannya sangat naik dan turun dengan struktur yang ‘tidak baik-baik saja’, jangan lupakan juga belokan curam yang membuatku menghela napas berkali-kali dan gemetar. Masih merapal doa, sebisa mungkin aku menjaga utuh keseimbangan sambil sesekali bertukar sapa dengan ibu-ibu, sebagian dari mereka sedang menyuapi anaknya. Jalan terus-terusan menaik sampai akhirnya aku tiba di warung Bu Iyem dan memakirkan sepeda yang nyaris terjatuh.

“Eh, Eneng. Kamana wae?”

“Engga ke mana-mana, Bu.” Aku tersenyum kecil. 

Selain bapak penjual baso keriwil yang sedang duduk santai di kursi kayu, terlihat juga ibu-ibu yang sibuk memilih sayur-mayur di bagian depan bilik kayu. “Baso, Neng … Baso …” Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum, lalu bergabung bersama ibu-ibu di barisan depan. Daftar pesanan dibuka. Aku menghimpun beberapa bahan masakan dengan bantuan Bi Iyem hingga nyaris memenuhi satu kantong keresek. Rekor yang paling banyak dipenuhi oleh kangkung. Aku tidak habis pikir kenapa harus membeli sebanyak ini.

“Tiasa, Neng?”

“Tiasa, Ibu. Hatur nuhun.”

Selepas mengucapkan penuh terima kasih kepada Bi Iyem dan bapak penjual baso yang membantuku memakirkan sepeda, aku bergegas pulang dengan satu keresek belanjaan. Awalnya tidak ada kendala khusus yang aku rasakan sebelum roda sepeda ini menyentuh jalan menurun. Beberapa kali tangan kiriku mencoba menekan alat bantu untuk mengurangi kecepatan, sungguh menakjubkan karena ternyata benda tersebut hanya menjadi hiasan. 

“Ibu! Ibu bade kamana, Bu?”

Srttt!

Sebuah sepeda motor meluncur melewatiku, terlihat Rinto menduduki jok di belakang sambil membawa satu keresek penuh sayuran. Aku tidak bisa menjawab karena sepeda motor itu sudah hilang di depanku secepat kilat. Oh, ayolah. Tidak mungkin aku berhenti mengendarai di tengah jalan, ‘kan?

Fokus. Fokus. Fokus. 

Semua ini di luar perkiraanku, betapa mudahnya awal perjalanan yang kutempuh. Barangkali karena medan yang kutempuh pun berbeda, sekalipun jalannya sama. Bagaimana tidak, jalanan pulang begitu menurun dengan belokan yang curam, sementara yang aku kendarai adalah sepeda tanpa rem. Aku berserah diri seraya mengeratkan pegangan, namun satu yang aku ingat setengah mati, sepeda ini harus terus melaju. Apa pun yang terjadi.

Jika berhenti pasti terjatuh! Alhasil, secepat apa pun sepeda melaju, aku bersikeras untuk tidak menurunkan kaki. Aku benar-benar kalap. Bisa kurasakan berbagai pandangan kebingungan di sekitar tertuju ke arahku. Aku mencoba tetap tersenyum ramah, meyakinkan bahwa baik aku maupun sepeda tanpa rem ini akan baik-baik saja.

Setelah merapal doa dan menenangkan diri sedemikian rupa, tembok berwarna kuning cerah itu akhirnya ada di depan mata. Tidak ada pilihan lain untuk memberhentikan sepeda ini, kecuali jika aku ingin melanjutkan perjalanan sampai kampung sebelah. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menurunkan kedua kaki, menahan laju sepeda yang sudah tidak secepat sebelumnya. Lebih sedikit, tapi aku bersyukur bisa sampai pada tujuan. 

Anak-anak masih bermain bola voli. 

Nasi sudah nyaris matang.

Sore itu, anak-anak yang mengidam-ngidamkan ngaliwet, akhirnya bisa terealisasikan atas dukungan dari semua pihak. Beberapa dari mereka yang kabarnya sengaja mengosongkan perut sedari pagi, terlihat lahap sekali menghabiskan bagian terakhir tumisan kangkung. Di tengah rasa syukur yang menyelinap, aku menyempatkan diri melihat sendal yang dikenakan Gugun. 

Anak itu. 

Pemilik sepeda yang sudah sangat terlatih menghentikan laju sepedanya.

Penulis: Rohima Auliya S.
Editor: Laksita Gati Widadi