MBKM: Memperpanjang Umur Kapitalisme di Ranah Pendidikan

Sudah bukan menjadi barang baru lagi jika program Merdeka Belajar-Kampus Mengajar (MBKM) menuai banyak kritikan. Program unggulan yang dicanangkan oleh Mas Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tampaknya tidak disambut baik oleh beberapa kalangan masyarakat. Pasalnya, maksud tujuan dan pelaksanaannya di dalam program tersebut tidak mencerminkan hakikat dari sebuah pendidikan itu sendiri.

Beberapa kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa menganggap bahwa program tersebut hanya mendukung pasar bebas untuk bisa menciptakan tenaga-tenaga kerja yang baru dan segar yang bisa bekerja di bawah kaki tangan perusahaan. Belum lagi hakikat pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjawab permasalahan sosial justru tidak terlihat di dalam program tersebut.

MBKM memiliki banyak program lagi di dalamnya, salah satunya adalah Magang Merdeka atau yang kini dikenal dengan nama MSIB. Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) memberikan banyak kesempatan kepada mahasiswa untuk mengasah dan mendapatkan kemampuan, khususnya dalam dunia industri dengan cara terjun langsung dalam sebuah proyek atau permasalahan riil. 

Titik perbedaannya, saat ini kampus atau universitas bukan lagi ditujukan untuk pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang tercantum dalam undang-undang. Peran tersebut hilang manakala pendidikan sudah dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan.

Hal tersebut didukung dengan adanya capaian indikator kinerja utama (IKU). Setiap perguruan tinggi diminta menunjukkan bukti keterlibatan mahasiswanya dalam program MBKM atau sejenis sebagai capaian pembebasan mata kuliah atau konversi nilai sebanyak 20 satuan kredit semester (SKS). 

Adanya indikator tersebut membuat beberapa perguruan tinggi mulai mencari cara agar MBKM dapat dibuat secara mandiri, tatkala MBKM nasional sudah full kuota. Selain KKN,  hanya MBKM mandiri yang mudah dilakukan oleh perguruan tinggi untuk mencapai IKU bidang konversi senilai 20 SKS. Karena itulah, para pengelola perguruan tinggi mulai berlomba-lomba melaksanakan MBKM hingga lupa substansi pendidikan bagi mahasiswa.

Permasalahan lainnya adalah kemudahan mengubah PTN Badan Layanan Umum (BLU) menjadi PTN Berbadan Hukum (BH) yang merupakan hasil dari kebijakan MBKM. Jika hal tersebut tetap dijalankan, komersialisasi pendidikan menjadi hal lumrah karena terus dilanggengkan. Kondisi tersebut sudah terjadi di PTN-BH yang juga mengusung konsep otonomi sehingga memungkinkan para birokrat kampus untuk bertindak sewenang-wenang. Berubahlah kampus yang seharusnya lebih dominan melakukan aktivitas untuk menunjang kualitas intelektual, menjadi tempat diterapkannya serangkaian kebijakan privatisasi dan komersialisasi ruang-ruang pendidikan.

Jika dibiarkan demikian, status kampus sebagai PTN-BH hanya akan membuat pendidikan nasional akan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar dan menghilangkan tanggung jawab pemerintah. Buruknya lagi, jangan sampai negara lepas kewajiban dan tanggung jawab  terhadap apa yang terjadi di dunia pendidikan sehingga justru mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada rakyat. 

Padahal, sudah cukup jelas bahwa pemerintah berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dan Ayat 2 bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”

Landasan lainnya yang mengatur terkait pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan tercantum pada UUD 1945 Pasal 28 C Ayat 1, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 Ayat 1, Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 11 Ayat 1. 

Secara yuridis, warga negara Indonesia memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagai hak mereka, pendidikan menjadi hal yang sangat penting untuk mereka dapatkan. Hal ini termaktub dalam UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 C Ayat 1, bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” 

Maka dari itu, pendidikan sejatinya merupakan hak asasi manusia dan menjadi sebuah kewajiban negara untuk memenuhi hak mereka sebagai manusia.

Logika industri yang digunakan oleh Mas Nadiem Makarim akan mematikan hakikat pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah media untuk mencerdaskan kehidupan rakyat dan bangsa, sekaligus sebagai instrumen yang akan melahirkan tenaga-tenaga (intelektual dan praktisi) yang akan menjadi penopang bagi perkembangan hidup masyarakat. Lebih dari itu, pendidikan  harus menjadi faktor pendorong bagi kemajuan peradaban atas kemajuan tenaga produktif, sekaligus mengukuhkan identitas kebangsaan, yakni identitas masyarakat yang mandiri dan bersatu secara teritorial, ekonomi, bahasa, serta karakter nasional.

Baca juga : PENDIDIKAN PRO-IMPERIALISME: MATINYA NALAR PIKIR MAHASISWA

Pada tataran teknis pelaksanaan, masih banyak kekurangan yang dirasakan oleh setiap mahasiswa. Sistem konversi SKS bagi sebagian mahasiswa membuat hal tersebut merasa tidak diuntungkan. Dapat dibayangkan, konversi nilai yang diperoleh mahasiswa hingga 20 SKS, mereka tidak perlu mengikuti kegiatan 8–10 mata kuliah. Semua nilai dapat dikonversi dengan satu kegiatan, seperti magang pada lembaga tertentu atau praktik di sekolah untuk mahasiswa keguruan.

Alhasil, pembebasan mata kuliah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pemahaman teori yang didapatkan. Konversi mata kuliah 20 SKS dianggap sudah memenuhi kebutuhan hanya dengan praktik lapangan atau magang di suatu instansi. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika mahasiswa terlewat mata kuliah yang penting. Jika di jurusan Kebahasaan terdapat mata kuliah penting seperti halnya sintaksis, semantik, dan pragmatik, di jurusan Kimia terdapat mata kuliah termodinamika, mekanika kuantum, dan elusidasi struktur senyawa yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Ada banyak mata kuliah penting pada setiap jurusan yang harus diikuti oleh setiap mahasiswa. Hal ini seolah menjadi tidak penting tatkala semuanya terampung dalam satu program, yaitu magang merdeka. Kondisi ini memunculkan perspektif bahwa praktik adalah tujuan utama pendidikan nasional. Keilmuan dan pengetahuan lainnya hanya cukup dianggap angin lalu.

Hari ini, beberapa mahasiswa lainnya disenangkan dengan MBKM. Mereka tidak perlu mengikuti mata kuliah tersulit di program studi atau jurusannya. Semua mata kuliah penting itu dapat dikonversi dalam 20 SKS, hasil pembebasan MBKM. 

Lantas, bagaimana saat mereka menjadi guru di masa akan datang? Bagaimana kelak mereka mengajar saat mata kuliah berbasis ontologi yang seharusnya mereka dalami sesuai dengan bidang keilmuan tidak mereka pelajari di masa sekarang?

Sebagian mahasiswa yang menjadikan MBKM sebagai bantuan karena mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi pun kerap dipersulit. Pada program Magang Merdeka, mahasiswa berhak mendapatkan bantuan biaya hidup (BBH) dalam pelaksanaan programnya. Namun realitanya, biaya tersebut harus mangkrak entah di mana sehingga membuat mahasiswa yang mengikuti program tersebut harus dihentikan ekspektasinya untuk bisa —setidaknya— memenuhi kebutuhan mereka di bidang akademik.

Sebenarnya masih banyak permasalahan pada tataran pelaksanaan program MBKM. Bukan hanya dari segi konsep yang sudah keliru, tetapi pelaksanaannya pun tidak sama sekali berpihak kepada mahasiswa. Mulai dari tunggakan biaya, jam kerja lebih dari yang disepakati, atau bahkan outsourcing. Itu semua terjadi karena konsep awal yang dihadirkan dalam program tersebut tidak berpihak kepada masyarakat sehingga terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan.

Sudah saatnya pendidikan di Indonesia diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dengan memadukan antara teori dan praktik yang maju. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah sistem pendidikan di Indonesia mempunyai orientasi untuk membebaskan, atau justru membelenggu dengan mempertahankan sistem sosial yang merugikan rakyat? 

Orientasi pendidikan di Indonesia sejak masa kolonial Belanda sampai sekarang masih dijadikan alat untuk memperkuat legitimasi keberadaan kapitalisme. Oleh karena itu, pendidikan harus memerlukan sebuah arah (orientasi) sebagai alat kebudayaan yang memerdekaan masyarakat Indonesia.

Referensi:

Putra, I.A. (2023). Implementasi Kurikulum Merdeka Dikhawatirkan Terganggu. (https://www.google.com/amp/s/www.medcom.id/amp/PNgwMQLN-implementasi-kurikulum-merdeka-dikhawatirkan-terganggu, diakses 2 Mei 2023)

Prabowo, H. (2020). Pro dan Kontra atas Kebijakan ‘Kampus Merdeka’ Nadiem. (https://tirto.id/pro-dan-kontra-atas-kebijakan-kampus-merdeka-nadiem-evs2, diakses 2 Mei 2023)

Salsabila, U. (2022). Dirjen Dikti Soroti Kampus yang Tak Konversi 20 SKS Program Kampus Merdeka.(https://kumparan.com/kumparannews/dirjen-dikti-soroti-kampus-yang-tak-konversi-20-sks-program-kampus-merdeka-1xY9R3EUhxi, diakses 2 Mei 2023)

Fernanda, MD. (2022). Kampus Merdeka: Peningkatan atau Penurunan Kualitas Mahasiswa? (https://www.kompasiana.com/mdfernanda/621588debb448638b06a5912/kampus-merdeka-peningkatan-atau-penurunan-kualitas-mahasiswa, diakses 2 Mei 2023)

Mahatmanti, A. (2023). Mahasiswa Bersuara: Konsepsi Merdeka pada Program Magang Merdeka Hanya Ilusi? (https://bandungbergerak.id/article/detail/15157/mahasiswa-bersuara-konsepsi-merdeka-pada-program-magang-merdeka-hanya-ilusi, diakses 2 Mei 2023)

RN, Herman. (2023). Membenahi Kampus Merdeka. (https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/22/membenahi-kampus-merdeka, diakses 2 Mei 2023)

Tujuan Pendidikan Nasional Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. (https://www.kai.or.id/berita/18532/tujuan-pendidikan-nasional-menurut-undang-undang-no-20-tahun-2003.html, diakses 2 Mei 2023)

Penulis: Hasbi Ramadhan
Editor: Afifah Dwi Mufidah

Baca juga : PENDIDIKAN PRO-IMPERIALISME: MATINYA NALAR PIKIR MAHASISWA