PENDIDIKAN PRO-IMPERIALISME: MATINYA NALAR PIKIR MAHASISWA

Beberapa hari yang lalu ketika saya mengikuti tarhib Ramadan yang diadakan oleh salah satu UKM Keislaman di UPI, saya melewati gedung PKM. Tak sedikit mahasiswa beralmamater yang menyuarakan opsi, interupsi, hingga sederetan perdebatan. Rupanya, bulan Maret ini banyak Himpunan Mahasiswa yang sedang melakukan Muma (baca: musyawarah mahasiswa). Sesuai anggaran dasar tiap himpunan, Muma menandakan bahwa organisasi tersebut telah menyelesaikan satu periode kepengurusan dengan berbagai program kerja yang telah dilaksanakan. Wah keren euy, satu periode udah kelar aja. Lantas, saya jadi teringat dengan Himpunan Mahasiswa di prodi saya yang juga baru saja menyelesaikan satu periode kepengurusannya. Tetiba, saya jadi bertanya-tanya. Apakah mengikuti himpunan adalah bentuk pengabdian mahasiswa kepada rakyat? Seperti apa pula mahasiswa menggunakan pendidikan sebagai media untuk mencerdaskan sekitarnya? 

PENDIDIKAN INDONESIA HARI INI: PENDIDIKAN PRO-IMPERIALISME 

Di bawah pemerintahan Rezim Soeharto, Indonesia tergabung menjadi anggota World Trade Organization (WTO), tepatnya pada tahun 1994. Satu tahun kemudian, Indonesia menyetujui perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Service) pada tahun 1995 yang bertujuan untuk memperjualbelikan dua belas sektor jasa di perdagangan bebas. Salah satu sektor jasa tersebut adalah pendidikan. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa Indonesia adalah negara boneka Amerika Serikat. Lewat perjanjian ini, pendidikan akhirnya menjadi sebatas barang dagangan yang digunakan untuk meraup untung sebanyak-banyaknya. Selain itu, terdapat pula pemberlakuan kebijakan NKK/BKK atau Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus yang memaksa mahasiswa untuk sibuk dengan dunia perkuliahannya dan semakin menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik dan massa. 

Pada masa Habibie, pemerintahannya tetap mempertahankan sistem yang sudah ada sebelumnya. Sementara itu, pada masa Gusdur, terdapat program pemerataan pendidikan di tiap daerah namun tidak berjalan semestinya. Pada masa Megawati, sektor-sektor publik yang mulai dialihkan kepada borjuis besar, swasta, dan imperialis rupanya berimbas pula pada pendidikan. Pada masa ini terjadi pencabutan subsidi sosial dan alokasi biaya pendidikan. 

Lebih dari itu, Indonesia mengalami kondisi yang lebih terpuruk pada masa pemerintahan SBY karena diluncurkannya UU Perguruan Tinggi tahun 2012 yang isinya adalah memberikan keleluasaan pada kampus untuk mengatur keuangannya sendiri. Peraturan ini sejatinya adalah bentuk yang lebih nyata soal komersialisasi pendidikan di Indonesia. Hingga akhirnya pada masa pemerintahan Jokowi, pendidikan masihlah sebatas komoditas yang diperjualbelikan. UU Perguruan Tinggi masih hadir sehingga biaya pendidikan semakin mahal. Hal itu juga tampak pada UKT yang tak sesuai dengan kemampuan mahasiswanya. Lalu, apakah pendidikan yang sejati itu? 

BAGAIMANA HAKIKAT PENDIDIKAN YANG SEBENARNYA? 

Pendidikan seharusnya mencerminkan tiga prinsip, yakni ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat. Pendidikan yang ilmiah artinya mampu mengubah pola pikir, tidak menindas, rasional, dan menyelesaikan permasalahan rakyat. Pendidikan yang demokratis berarti pendidikan harus mengutamakan kesetaraan, partisipatif, dan keadilan. Lebih dari itu, pendidikan sejatinya bertujuan untuk memajukan dan mengubah pola pikir yang stagnan menjadi sadar dan mampu melakukan perubahan untuk kehidupan rakyat yang lebih baik. 

Dalam amanat UUD 1945, Bab XIII, Pasal 31 Ayat (1) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.” Berdasarkan pasal tersebut, Negara meyakini bahwa setiap warga berhak atas pendidikan dan menikmati pendidikan yang difasilitasi oleh negara. Sistem pendidikan nasional harus dapat memberi pendidikan dasar bagi setiap warga negara Indonesia agar masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar, yang meliputi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, serta berbahasa Indonesia untuk dapat berperan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

PENDIDIKAN YANG PRAGMATIS DAN DAMPAKNYA TERHADAP MAHASISWA 

Pendidikan pragmatis adalah bentuk pelatihan pola pikir yang cenderung praktis, sempit, dan instan dalam proses belajar. Pendidikan pragmatis juga merupakan dampak atas pemberlakuan pendidikan yang pro-imperialis, seperti kebijakan Kampus Merdeka yang digagas oleh Nadiem Makarim dengan tujuan agar para mahasiswa “mampu” menjadi pekerja. Dewasa ini, sistem pendidikan di “Negara Konoha” menerapkan sistem pro-imperialisme sehingga banyak rakyat miskin yang termarjinalkan dalam mendapatkan haknya untuk berpendidikan. Ironisnya, banyak rakyat terbebani biaya pendidikan yang mahal, tetapi justru kualitas pendidikan yang didapatkan masih biasa-biasa saja. 

Pendidikan Indonesia ibarat dua mata pisau yang bisa memberi hal positif dan negatif bagi rakyat. Dihadirkannya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada masa Megawati justru berorientasi dengan melegalkan liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi di dunia pendidikan. Adanya dana yang harus dikeluarkan oleh rakyat untuk bisa mengakses pendidikan merupakan penyimpangan dari pembukaan UUD 1945 pada Alinea ke-4, bahwa sejatinya pemerintahlah yang seharusnya menjamin hak rakyat dalam memperoleh pendidikan.  

Baca Juga: Aksi Mahasiswa dan Buruh Tolak UU Cipta Kerja di Gedung DPRD Jawa Barat

Pada awal tahun 2020 Nadiem Makarim meluncurkan Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Program ini menunjukkan bahwa negara ingin mahasiswanya menjadi pekerja terlepas apakah mereka mendapatkan pendidikan yang sejati dan dekat dengan persoalan rakyat. Mahasiswa hari ini hanya dimanfaatkan sebagai budak di perusahaan dengan iming-iming pengalaman dan upah magang sebagai penutup biaya kuliah yang mahal. Padahal, sebenarnya kita semua sedang dilatih menjadi buruh yang bekerja terus-menerus dengan upah murah. Dari sini bisa disimpulkan bahwa sistem pendidikan dari masa ke masa memang sudah melenceng jauh dari tujuannya dan saat ini sistem tersebut tetap diterapkan untuk segelintir orang dan kepentingan imperialisme.

Upah dari perusahaan memang menggiurkan, kawan-kawan. Apalah artinya uang lima juta jika dibandingkan puluhan warga yang menderita dan buta huruf karena tidak mampu mengenyam pendidikan hingga mati kelaparan tak punya pekerjaan. Mahasiswa harus bisa sadar atas politik negeri yang kian menyambar, seperti batu bara yang dilempar dan membuat kulit kita terbakar, bahkan membuat lingkungan mengalami banyak kerusakan.

Kita harus bisa membuat “batu bara” tersebut menjadi sumber daya yang bisa diambil manfaatnya untuk seluruh rakyat, alat untuk memasak, menghangatkan badan saat dinginnya malam, atau sebagai alat untuk bisa menghidupi keluarga. Kita merupakan bagian dari massa, perhatikan lingkungan sekitar, jangan takut untuk benar, dan jadilah pembela hak-hak rakyat. Kita semua adalah rakyat. 

Sorry, saya kelewatan. Salam demokrasi!!!

Penulis: Diah Wulandari
Editor: Aulia Aziz Salsabila

Baca Juga: Aksi Mahasiswa dan Buruh Tolak UU Cipta Kerja di Gedung DPRD Jawa Barat