Darurat Sampah: Kampus Bukan Tempat Sampah!

Bandung berada dalam kondisi darurat sampah ketika terjadi kebakaran selama berhari-hari, seperti kebakaran TPA Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) pada bulan Agustus tahun 2023. Tumpukan sampah membludak dan berserakan di sembarang tempat. Barang sisa aktivitas manusia yang sebelumnya diangkut secara rutin oleh petugas sampah, tidak dapat lagi diangkut akibat kejadian tersebut.

Tanah milik PLN dipenuhi sampah berserakan pada Jumat (3/11) di Cilimus, Sukasari, Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Darurat sampah di Bandung tentu berdampak pula bagi kampus Bumi Siliwangi yang dibayang-bayang oleh masalah serius dalam pengelolaan sampah. Kurangnya tempat sampah sebagai salah satu fasilitas mengakibatkan sampah berserakan di berbagai tempat dan menciptakan kondisi yang sangat tidak nyaman. Salah satu spot pembuangan sampah ditemukan pada tempat yang tidak seharusnya dengan dominasi sampah makanan.

Kumpulan sampah makanan pada Senin (23/10) di sekitar Gymasium UPI, Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Setelah ditelusuri lebih lanjut pada Senin (23/10) dengan mendatangi salah seorang petugas pengelolaan sampah yang bertempat di dekat lapangan golf, masalah tersebut disebabkan oleh adanya lebih dari 5 pintu masuk di kampus tersebut. Hal itu membuat siapapun selain civitas academica dapat berlalu lalang di kampus, termasuk warga sekitar. 

“Jadi bukan cuman mahasiswa aja. Terus terang jujur, saya bekerja disini bukan hanya mengurusi sampah dari fakultas saja, tapi sampah warga juga banyak yang masuk,” tutur Pak Asep ketika menjawab pertanyaan terkait minimnya tempat sampah di Kampus Bumi Siliwangi.

Baca Juga: Satu Hari Di Perpus UPI

Nakalnya warga sekitar turut andil dalam meningkatkan jumlah volume sampah yang harus ditangani merupakan masalah yang perlu disoroti oleh berbagai pihak, bukan hanya para petugas pengelola sampah. Selain itu, jumlah staf dan fasilitas pengelolaan yang minim pun patutnya ditinjau oleh birokrat agar menciptakan kondusifitas persampahan di kampus seperti apa yang mereka inginkan. 

Pak Asep, salah seorang petugas pengelolaan sampah UPI yang ditemui pada Senin (23/10) di Kantor Pengelolaan Sampah UPI, Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Lima orang petugas dan dua armada pengangkut sampah yang tersedia, ditambah satu armada milik pribadi memang sudah cukup menjadikan lahan seluas ± 48 hektar bersih tiap harinya. Akan tetapi mereka kewalahan untuk bisa mengelola sampah dengan volume 13-14 m3 per 3 hari. Hal tersebut dibuktikan dengan masih adanya sampah bukan residu yang berserakan di sekitar tempat pengelolaan sampah karena waktu petugas yang habis untuk mengangkut sampah di kampus tersebut.

“Kami dituntut bukan hanya untuk memilah (sampah) disini, tapi juga harus membersihkan area fakultas. Kalau semua harus dipilah waktunya gak cukup untuk mengolah itu karena kita SDM-nya kurang,” jelasnya dengan segala keresahan yang dirasakan dalam menangani sampah di kampus selama kurang lebih 10 tahun.

Tempat pengelolaan sampah UPI pada Senin (23/10) di UPI, Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Tempat pengelolaan sampah UPI pada Senin (23/10) di UPI, Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Menariknya, lima orang petugas pengelolaan sampah ini harusnya hanya mengelola sampah agar tidak langsung dibuang ke TPA. Namun, realita di lapangan tidak seperti itu. Mereka memiliki beban kerja lebih dari mengelola sampah. Waktu yang seharusnya digunakan hanya untuk mengelola sampah harus terbagi untuk mengangkut sampah dari tiap gedung, memotong rumput, bahkan merawat taman-taman yang sangat jauh dari nama unit kerja mereka.

Kegiatan lain di luar pengelolaan sampah harusnya tidak mereka lakukan jika pihak universitas mampu menyediakan tenaga kerja khusus. Seperti untuk pengangkutan sampah, seharusnya perusahaan kebersihan di tiap gedung memiliki tenaga kerja dan armada pengangkut sampah. 

“Kita itu sebenarnya bukan pengangkut sampah, tapi pengelola sampah. Di setiap tender PT yang bekerjasama dengan UPI diharuskan punya armada. Berhubung setiap PT gak ada armada sama sekali, akhirnya kita jemput bola,” tegas Pak Asep.

Sampah yang belum sempat dipilah oleh petugas pengelolaan sampah pada Senin (23/10) di UPI, Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Pak Asep telah paham betul tentang masalah persampahan di UPI karena telah merasakan kerja langsung selama kurang lebih 10 tahun. Ia pun mengusulkan sebuah solusi penting. Menurutnya, prioritas harus diberikan pada perbaikan sistem pintu masuk dan keluar kampus sebelum menangani masalah sampah lebih mendalam. Pintu masuk yang banyak menjadikan lalu lintas ke dalam kampus sangat ramai. Bukan hanya civitas academica, tetapi juga masyarakat luar memiliki kesempatan untuk membuang sampah dengan sengaja ke UPI.

Buktinya banyak sampah yang berserakan dalam kantong plastik yang diikat itu berisi sampah rumah tangga. Lebih parahnya, Pak Asep pernah memergoki seorang warga membawa dua kantong sampah dan dibuang di sudut kampus.

Papan larangan untuk tidak membuang sampah sembarangan pada Senin (23/10) di UPI, Bandung.             (Foto: Literat/Labibah)

Papan larangan untuk tidak membuang sampah sembarangan pada Senin (23/10) di UPI, Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Oleh karena itu, Pak Asep sangat berharap agar UPI dapat meninjau ulang sistem pintu masuk dan keluar kampus untuk mengurangi volume sampah. Selain itu, penambahan staf pengelolaan sampah, penambahan fasilitas yang lebih baik, dan perbaikan fasilitas yang rusak juga sangat dibutuhkan.

Kesadaran serta tanggung jawab tiap civitas academica untuk membuang sampah di tempat yang seharusnya tentu sangat berkontribusi untuk menanggulangi masalah ini. Apalagi jika kita semua mencoba untuk menerapkan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recylce). Semua langkah dari berbagai pihak musti dilakukan agar dapat menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan tertib. Hal ini akan menjadikan kampus Bumi Siliwangi nyaman sebagai tempat menuntut ilmu. 

Baca Juga: Seruan Petani Saat Kepung Istana Pada Peringatan Hari HAM 2023

Author: Siti Labibah Fitriana

Editor: Alma Fadila Rahmah