Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa: Jejak Penghayatan dalam Sajak

Oleh: Erlina Handayani

Judul Buku : Orang Suci, Pohon Kelapa (Kumpulan Sajak)
Pengarang : Choi, Jun
Penerjemah : Kim Young Soo & Nenden Lilis A.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit : 2019
Tebal : 123 + vii halaman

“Pisang di Pulau Jawa” dan “Puncak” adalah sajak pembuka dan sajak penutup yang dituliskan Choi, Jun dalam kumpulan sajaknya yang berjudul Orang Suci, Pohon Kelapa. Kumpulan sajak ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Oktober 2019 dengan penerjemah Kim Young Soo dan Nenden Lilis A. Tercatat 61 sajak yang Choi, Jun tulis dan kumpulkan menjadi kumpulan sajak yang akhirnya diterbitkan.

Dalam sejarah kesusastraan Korea, Choi, Jun termasuk seorang penyair ternama di Korea masa kini. Ia telah menerima penghargaan untuk penyair baru dari “Sastra Bulanan Korea” tahun 1984. Periode kesusastraan Korea sendiri tergolong menjadi periode klasik dan modern. Sastra klasik berkembang dengan latar belakang kepercayaan-kepercayaan tradisional rakyat. Sastra klasik pada tahun 985 SM dst. ditulis memakai aksara Tionghoa. Jenis sastra pada sastra klasik di Korea adalah Hyangga, Goryeo Gayo, Sijo, dan Gasa. Kemudian, periode sastra modern disebut dengan istilah “Gaehwa Gyemong (Pencerahan)”. Sastra modern pada tahun 1894-an berkembang sebagai hasil persentuhan dengan budaya Barat. Sastra ini pesat perkembangannya semenjak meluasnya penggunaan aksara Hangeul. Genre novel baru ditulis dalam aksara Hangeul dan sangat populer pada masa itu. Karya pertama sastra Korea yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah antologi cerpen berjudul Kumpulan Cerpen Korea: Laut dan Kupu-Kupu karya Koh Young Hun terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2007.

Buku ini tersusun dari cover depan, halaman awal tentang identitas buku, daftar isi, halaman kata pengantar penyair, sajak-sajak, halaman kata penutup penerjemah, halaman tentang penyair, halaman tentang penerjemah, dan cover belakang yang berisi penggalan salah satu sajak Choi, Jun. Semua itu disusun secara rapi dan menarik.

Sebelumnya, kumpulan sajak “Orang Suci, Pohon Kelapa” ini telah diterbitkan atas dana bantuan bagi penciptaan karya sastra dari Arts Council Korea tahun 2007. Kumpulan sajak yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis A. ini terasa berbeda ketika dibaca oleh masyarakat Indonesia asli. Walaupun ide sajak ini terinspirasi ketika Choi, Jun tinggal di Indonesia dan memang menceritakan suasana dan pengalaman yang ia dapat di Indonesia, tetapi tetap terasa berbeda ketika masyarakat Indonesia asli yang membacanya. Penerjemah sendiri telah berusaha menerjemahkan sajak-sajak yang ditulis Choi, Jun ke dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan unsur-unsur puitik bahasa aslinya.

Baca juga: Pergelaran Sanggar Sastra 2019: Memanusiakan Hewan dan Menghewankan Manusia

Penerjemah Kim Young Soo adalah seorang asli Korea yang menempuh S-1 di Jurusan Bahasa Malay-Indonesia. Ia pernah memegang jabatan Kepala Siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun, dan baru-baru ini menerima hadiah sebagai penyair baru dari majalah sastra Korea Changjak 21.

Penerjemah lain adalah Nenden Lilis A., asli Indonesia yang aktif menulis sajak, cerpen, dan esai yang sering dimuat di media. Karya-karyanya juga mendapat penghargaan seperti Penghargaan Pusat Bahasa 2005 untuk kumpulan cerpennya Ruang Belakang (Penerbit Buku Kompas). Nenden Lilis A. juga telah berpengalaman menerjemahkan sebuah karya sastra bersama Prof. Shin Young Duk, Ph.D. yaitu Antologi Puisi dan Prosa Langit, Angin, Bintang, dan Puisi karya penyair Korea, Yun Dong Ju (Pustaka Obor, 2018). Dua orang penerjemah yang berasal dari Korea dan Indonesia ini saling bekerja sama untuk menerjemahkan sajak ke dalam bahasa Indonesia dengan mempertahankan sudut pandang orang Korea-nya.

Kumpulan sajak ini adalah sajak-sajak yang Choi, Jun tulis tentang Indonesia ketika ia tinggal di Indonesia selama 5 tahun dari 2000—2005. Pengalaman, penghayatan, perenungan, apa yang dilihat, dan segala emosi yang ia rasakan selama tinggal di Indonesia dituliskan dalam sajak-sajaknya yang syahdu. Wajar memang, seorang penyair tak akan ketinggalan untuk menuliskan pengalaman, segala ide yang terpikirkan, dan perenungan yang didapatkan untuk dibagikan kepada banyak orang. Terlebih, apa yang dituliskannya adalah sesuatu yang baru ia temui dalam suatu masa kehidupannya ketika tinggal di Indonesia. Perbedaan budaya dan bahasa yang ia alami ketika tinggal di Korea dan Indonesia juga membawa suasana yang baru bagi Choi, Jun dalam menuliskan ide-ide sajak yang dibuatnya. Sejatinya, sajak-sajak yang ia tuliskan adalah sudut pandang dari seorang penyair Korea yang merepresentasikan kehidupan masyarakat dan sosial di Indonesia.

Hal-hal kecil yang mungkin hanya ia temui di Indonesia menjadi sebuah temuan baru juga bagi Choi, Jun dalam memandang dunia. Sajak-sajak yang ada dalam buku Choi, Jun ini kebanyakan berupa sajak lirik, dengan setiap baris dalam setiap sajak yang beragam. Hal ini dilakukan karena Choi, Jun menyampaikan idenya lewat sebuah sajak dan ide itu sangat realistis sehingga tidak memungkinkan untuk Choi, Jun menyingkat ide tersebut menjadi beberapa kata.

Unsur-unsur sajak seperti struktur fisik dan batin dapat kita temukan dalam sajak-sajaknya. Gaya bahasa dominan yang ada dalam sajak-sajak ini adalah majas personifikasi yang bisa kita lihat dalam salah satu sajaknya “Hotel Gran Melia”, terdapat frasa “pohon yang berdansa”. Majas tersebut merupakan majas personifikasi, penyair menggunakannya untuk melukiskan “manusia yang terlalu larut dalam kesenangan hidup di zaman yang serba modern ini”. Namun, ada pula penggunaan majas repetisi yang terlihat pada sajak “Tiga Orang Pengembara ke Pulau Seribu” dengan kalimat, “Seribu pulau punya seribu nama, seribu balon reklame punya seribu legenda, seribu hotel punya seribu parasol,” yang menghasilkan irama.

Kemudian citraan penglihatan juga dominan pada sajak-sajak ini, terlihat pada sajak “Tanah Kosong di Depan Rumah Tua” yaitu pada penggalan, “… padahal, di sana ada pagi dengan rerumputan subur, bunga-bunga bermekaran ….” Nilai sosial, budaya, dan kemanusiaan terasa jelas dalam sajak “Ladang Garam Burung Cendrawasih” yang menggambarkan nasib para buruh pabrik garam yang tidak jelas, yang hanya bisa berharap pada pekerjaan satu-satunya saat itu. Kemudian, pada sajak “Bulan Purnama untuk Malam Ini” menggambarkan secara ironi kehidupan seorang anak yang berdiri di gang setiap malamnya memakan roti sendirian, tetapi ternyata roti yang dimakan anak itu hanyalah halusinasi anak ketika melihat bulan purnama. Sungguh penggambaran yang menyedihkan.

Membaca kembali sajak-sajak dalam Orang Suci, Pohon Kelapa mengingatkan kita pada pernyataan Andre Breton yang menyatakan bahwa kesenian harus berasal dari alam bawah sadar. Oleh karena itu, seniman harus mendapatkan ilham sebebas-bebasnya dari imaji-imaji impiannya dan berusaha mencapai “super-realisme” tempat antara batas-batas mimpi (dunia di alam bawah sadar) dan kenyataan (dunia di dalam kesadaran) melebur. Seniman pun dianggap sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk menembus sensor dari kesadaran dan membiarkan kata-kata dan imaji-imaji itu bermain dengan bebas.

Kumpulan sajak ini pergi berkelana jauh mengelilingi setiap sudut Indonesia. Pohon pisang, pohon pepaya, pohon kelapa, museum, dan ketimpangan sosial suatu lingkungan di Indonesia menjadi objek yang disoroti oleh Choi, Jun dalam sajaknya. Semua itu berkenaan dengan sudut pandangnya dalam melihat Indonesia. Hal itu yang membuat kumpulan sajak ini memiliki nilai literer yang tinggi. Seperti yang dikatakan penerjemah buku ini, Nenden Lilis A., buku ini memberikan kontribusi sebagai dokumen sosial. Membaca kumpulan sajak ini, membuat kita mendapatkan pandangan baru mengenai sebagian kehidupan sosial budaya Indonesia, membuat kita mengenal dunia sastra yang lebih luas khususnya yang berada dalam kesusastraan Korea.

Penyair mengungkapkan perasaan murni yang utuh dalam hatinya mengenai penghayatan dan perenungan yang telah penyair alami di Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi nilai yang universal ketika situasi yang dilihat di Indonesia dituliskan dalam sajak menurut sudut pandang penyair asli Korea, seperti yang diungkapkan Choi, Jun, “Jika kita, telah dijinakkan oleh jauhnya hidup, apakah eksistensi pun akan menjadi di luar kuasa kita?” Penggalan sajak itu membuat kita tahu bahwa hakikat manusia di kehidupan ini menjadi suatu penghayatan besar yang bisa dirasakan dan disadarkan oleh manusia itu sendiri.

Baca juga: Dari Korea untuk Indonesia: Buku Puisi Choi Jun

Penulis: Erlina Handayani