Perkembangan sastra modern ditandai dengan kemunculan berbagai teknik kepenulisan, salah satunya adalah teknik “stream of consciousness” yang muncul di sekitaran tahun 1920-1930 di Barat. Stream of Consciousness atau aliran kesadaran merupakan teknik naratif yang digunakan untuk menunjukkan pendekatan penyajian aspek psikologis karakter dalam fiksi, dapat digunakan dengan presisi (Humprey, 1954).
Stream of consciousness sendiri sebenarnya merupakan istilah psikologi yang diperkenalkan William James dalam bukunya The Principles of Psycgology pada tahun 1894. Baru kemudian pada tahun 1914 istilah stream of consciousness mulai dipergunakan dalam sastra untuk pertama kalinya oleh May Sinclair dalam esai kritik sastranya di majalah sastra The Egoist.
Di dalam esainya tersebut, May Sinclair menggunakan istilah tersebut untuk menuliskan pendapatnya tentang tokoh Miriam Henderson dari seri ketiga novel Pilgrimage karya Dorothy Richardson. Dalam majalah tersebut May Sinclair menulis seperti ini:
In this series there is no drama, no situation, no set scene. Nothing happens. It is just life going on and on. It is Miriam Henderson’s stream of consciousness going on and on […] In identifying herself with this life, which is Miriam’s stream of consciousness, Miss Richardson produces her effect of being the first, of getting closer to reality than any of our novelists who are trying so desperately to get close.
(Dalam seri ini tidak ada drama, tidak ada situasi yang sudah dirancang, tidak ada adegan, tidak ada yang terjadi. Ini hanya hidup yang berjalan terus menerus. Ini adalah aliran kesadaran Miriam Henderson berjalan terus menerus […]. dalam mengidentifikasi dirinya dalam hidup ini, yang merupakan aliran kesadaran Miriam, sebagai efeknya Nona Ricardson menjadi novelis pertama yang lebih dekat ke realitas dari novelis kita yang lain yang berusaha mati-matian mencapainya).
Stream of conciousness dapat ditemukan di karya penulis modern dan kontemporer. Di Barat dapat ditemukan di karya pernulis modern seperti James Joyce, Virginia Woolf, dan William Faulkner. Stream of Conciousness tidak terikat dengan sebuah masa atau sebuah pergerakan sastra tertentu. Meskipun Stream of Conciousness banyak ditemukan di penulis Barat di sekitar tahun 1920-1930, Stream of Conciousness terus berkembang pada masa-masa selanjutnya.
Sylvia Plath pada sekitar tahun 1950 masih menggunakan teknik ini, demikian juga dengan Tony Morrison pada sekitar tahun 1980 masih menggunakan teknik ini, sekarang Stream of Conciousness masih dapat ditemukan pada penulis kontemporer seperti Sally Rooney dan Jesemyn Ward. Di Indonesia sendiri Budi Darma merupakan salah satu penulis yang menggunakan teknik stream of conciousness dalam karyanya.
Penggunaan Stream of Conciousness melibatkan beberapa elemen di dalamnya seperti interior monologue, free asociation, dan typographical and punctuation. Robert Dujardin (dalam Humprey 1954) mengatakan Interior Monolog merupakan perkataan seorang karakter dalam sebuah adegan, yang bertujuan untuk langsung memperkenalkan kita ke dalam kehidupan batin karakter tersebut, tanpa intervensi penulis melalui penjelasan atau komentar.
Seluruh pemikiran, perasaan, serta pengalaman batin secara langsung disajikan kepada pembaca sehingga pembaca mendapatkan pengalaman seperti sedang mendengarkan suara dari dalam kepala karakter. Penggunaan interior monolog memungkinkan pembaca untuk memahami kondisi psikologis karakter secara lebih mendalam dan autentik karena narasi tidak disaring atau dijelaskan oleh narator eksternal.
Interior Monologue dalam cerpen “Gadis Sekolah” karya Osamu Dazai:
Aku duduk di muka cermin meja rias masih mengenakan piyama, memandangi diriku sendiri di cermin tanpa pakai kacamata, wajahku terlihat kabur dan berembun. Kacamataku adalah hal yang paling kubenci yang ada di wajahku, tapi ada manfaat kacamata yang tidak dipahami orang. Aku suka menanggalkan kacamata dan menatap kejauhan.
Segalanya menjadi berkabut, bagai dalam mimpi atau seperti sebuah zoetrope—mengagumkan. Aku tak bisa melihat apa pun yang kotor. Hanya hal-hal besarlah—hanya warna-warna dan cahaya yang teranglah yang memasuki pandanganku. Aku juga suka menanggalkan kacamata dan menatap orang-orang. Wajah-wajah di sekitarku, mereka semua tampak baik hati dan manis dan tersenyum.
Apalagi, ketika kacamataku lepas, aku sama sekali tak pernah berdebat dengan orang lain, dan tidak pula aku merasa perlu mengucapkan kata-kata benci. Yang kulakukan hanyalah menatap hampa dalam keheningan. Selama momen-momen itu, sambil berpikir bahwa aku pastilah mirip seorang nona manis di mata semua orang aku tak khawatir adanya tatapan kagum wajah bodoh, aku hanya ingin berada dalam limpahan perhatian mereka, dan aku merasa sungguh dan sepenuhnya murung. (“Gadis Sekolah” hal. 2-3).
Psikologis yang terus menerus aktif tidak bisa berkonsentrasi begitu lama dalam prosesnya, bahkan ketika terdapat keinginan yang sangat kuat sekalipun; ketika hanya sedikit usaha yang dikeluarkan untuk berkonsentrasi maka kefokusan yang dihasilkan hanya akan bertahan untuk satu hal selama sementara. Pada karya yang menggunakan teknik ini kita akan banyak menemukan narasi yang menunjukkan pikiran karakter tidak bisa bertahan begitu lama terhadap satu hal, karakter seringkali teralih terhadap hal-hal lain di dalam proses berpikirnya.
“Free Asociation” dalam cerpen Yorick:
Sampai di rumah ada dua hal yang mengherankan saya. Pertama Ny. Ellison, dan kedua Yorrick. Tidak seperti biasanya pada jam-jam sekian, Ny. Ellison baru saja pulang. Pada waktu masuk dari Jalan Sepuluh Selatan hampir saja moncong mobilnya menghajar pohon, dan pada waktu akan berhenti hampir saja moncong mobilnya menabrak ekor mobil orang lain yang diparkir tidak jauh dari rumahnya. Sebelumnya saya tidak pernah menyaksikan tingkah Ny. Ellison seperti ini. Caranya keluar dari mobil juga menimbulkan kecurigaan.
Memang dia biasa berjalan sempoyongan. Memang semenjak saya mengenal dia, rupanya lebih menyerupai mayat daripada manusia. Tapi, kali ini jalannya lebih sempoyongan daripada biasanya. Andaikata dia tidak berjalan, tapi telentang, saya yakin orang akan mengira dia sudah tidak mempunyai napas. Bukan hanya itu, tampaknya dia sudah tidak peduli apa pun yang terjadi.
Apakah dunia akan kiamat pada detik ini atau masih mau hidup seribu tahun lagi, rupanya dia tidak peduli. Apakah rumahnya akan dibakar atau dibiarkan demikian saja, rupanya dia juga tidak peduli. Apakah dia akan ditembak atau dipancung, rupanya dia juga tidak peduli. Dia sudah menyerah. Dia berjalan memasuki rumah hanya karena kebetulan dia sudah telanjur akan masuk rumah. Dan, dia tidak berhenti dan merebahkan diri di pekarangan hanya karena dia masih kuat berjalan ke ranjang.
Inilah kesan saya. Andaikata beberapa jam lagi dokter secara resmi memaklumatkan kematian Ny. Ellison, saya tidak akan heran. Sebaliknya, saya heran andaikata dia masih dapat melihat matahari terbit besok pagi. Dan, saya menjadi sakit hati ketika beberapa menit kemudian dia menelepon, untuk mencari Yorrick yang kebetulan tidak ada, dan tidak mencari saya yang kebetulan ada.
Lampiran: Penjabaran pikiran tokoh “Aku” larik dengan model analisis Robert Humprey
Sampai di Rumah
1) keheranan dengan kepulangan Ny. Ellison
Melihat Mobil Ny Ellison Masuk dari Jalan Sepuluh Selatan
Melihat Ny. Ellison Keluar dari Mobil
2) mendapatkan kecurigaan dari cara berjalan Ny. Ellison
3) mengingat rupa Ny. Ellison yang menyerupai mayat
4) membayangkan Ny. Ellison terlentang
5) membayangkan orang mengira Ny Ellison tidak bernafas
6) membayangkan Ny. Ellison tidak peduli dengan hari kiamat entah terjadi sekarang atau seribu tahun lagi
7) membayangkan Ny. Ellison tidak peduli rumahnya dibakar
8) membayangkan Ny. Ellison tidak peduli dirinya dipancung dan ditembak
9) menganggap Ny. Ellison sudah menyerah
10) menganggap Ny. Ellison masuk rumah karena sudah terlanjur masuk rumah
11) menganggap Ny. Ellison tidak merebahkan diri di pekarangan karena kuat berjalan ke ranjang
12) menagnggap bila dokter memaklumatkan kematian Ny. Ellison dalam beberapa jam tidak mengherankan
Mendapat Telepon dari Ny. Ellison
13) merasa sakit hati terhadap Ny. Ellison karena mencari Yorick
Penggunaan tipografi dan tanda baca berfungsi untuk memberikan efek kejelasan pada monolog interior, dan pada saat yang sama, memungkinkan penulis untuk mengendalikan monolog secara langsung. William Faulkner misalnya, selalu menggunakan italic untuk menandai interior monolog.
“You snagged on that nail again. Cant you never crawl through here without snagging on that nail.”
Caddy uncaught me and we crawled through. Uncle Maury said to not let anybody see us, so we better stoop over, Caddy said. Stoop over, Benjy. Like this, see. We stooped over and crossed the garden, where the flowers rasped and rattled against us. The ground was hard.
Keep your hands in your pockets, Caddy said. Or they’ll get froze. You dont want your hands froze on Christmas, do you.
“It’s too cold out there.” Versh said. “You dont want to go out of doors.”
“What is it now.” Mother said (The Sound and The Furry)
Penggunaan Stream of Conciousness dapat membuat pembaca merasa lebih dekat dan lebih relevan dengan karakter dalam karya. Selain itu, melalui riset yang mendalam, tingkat kerelevanan dari tokoh yang dibangun menggunakan teknik stream of conciousness tidak hanya akan mencapai “tokoh ini relevan dengan saya”, tapi “tokoh ini memiliki cara berpikir yang sama denganku, beginilah aku memandang dunia”.
Baca juga: 3 Rekomendasi Karya Sastra Keagamaan Versi Dosen Sastra