(Informasi tak populer yang tersebar di tulisan ini didapat dari beberapa situs internet yang memaparkan hasil wawancara terhadap Eka Kurniawan)
Kalau mendengar nama Eka Kurniawan, pasti kita akan langsung teringat dengan sosok lelaki berkacamata yang karya-karyanya telah mendunia. Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, SDRHDT (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas), dan Corat-coret di Toilet merupakan beberapa karya beken penulis kelahiran Tasikmalaya ini.
Pada masa kanak-kanak, Eka kecil lebih sering menghabiskan waktu bersama buku-buku ketimbang bermain sepak bola atau berenang seperti kawan-kawan sebayanya di kota kecil Pangandaran.
Eka Kurniawan dikenal sebagai penulis prosa, ia pernah menggeluti dunia kepenulisan puisi saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, karya pertama Eka yang dimuat merupakan sebuah karya puisi di salah satu majalah anak-anak, Sahabat.
Namun, seiring berjalan waktu, Eka remaja enggan menjadi seorang penyair. Sebab munculnya rasa ketidaknyamanan ketika ia disuruh membacakan atau mendeklamasikan puisinya di depan banyak orang. Alasan lainnya adalah karena ia merasa tak akan bisa mengalahkan Chairil Anwar dari segi kualitas menulis karya puisi.
Sewaktu dirinya sekolah di SMAN 1 Tasikmalaya, ia sempat bolos selama tiga bulan lamanya. Dalam waktu yang cukup lama tersebut, Eka menjadi seorang backpacker muda yang mengelilingi beberapa kota di pulau Jawa. Ya, sudah dipastikan dirinya dikeluarkan dari sekolah tersebut.
Usut punya usut, Eka memang gemar berjalan-jalan atau menjelajahi daerah-daerah yang belum pernah ia jamah sedari kecil. Hal ini menjadi penguat referensi Eka terhadap berbagai lanskap dan detail lain di karyanya. Selain memang Eka yang suka membaca buku-buku berhubungan dengan geografis.
Sebetulnya, penulis yang karyanya telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa ini sempat memiliki cita-cita menjadi seorang anak band. Sebuah angan umum bagi remaja yang sedang mencari jati diri. Namun, Eka sadar betul bahwa dirinya tak memiliki bakat di bidang musik, sehingga cita-cita tersebut pupus dalam angannya.
Baca juga: Berbagai Cara Mendekati Si Sastra
Buku pertama dari penulis kelahiran 28 November 1975 ini adalah sebuah karya non-fiksi berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosial yang terbit pada tahun 1999. Buku pertama ini sebetulnya merupakan hasil skripsi dirinya ketika menyelesaikan studi akademis di jurusan Filsafat, Universitas Gadjah Mada.
Setahun berselang, Eka menerbitkan buku fiksi pertama berjudul Corat-coret di Toilet. Sebuah Kumpulan cerpen berisi dua belas judul cerita. Kemudian, novel pertamanya berjudul Cantik Itu Luka terbit pada tahun 2002. Novel perdananya berhasil membawa Eka dilirik pasar internasional setelah karya tersebut dialih-bahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh penerjemah berkebangsaan Amerika, Annie Tucker.
Setelahnya, beberapa karya Eka yang lain juga berhasil menyusul ke dalam pasar internasional seperti novel Lelaki Harimau, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan beberapa karya cerpen Eka lainnya. Terhitung, telah sebelas buku karya Eka Kurniawan yang telah diterbitkan.
Selepas kesuksesan tersebut, Eka Kurniawan mulai mendapatkan berbagai penghargaan, baik dalam skala nasional maupun internasional. Beberapa penghargaan yang pernah ia terima diantaranya ialah World Readers Award (2016), Emerging Voice (2016), Man Booker International Prize (2016), Prince Claus (2018), Annual Grand Prize of the 19th Dianchi Literature Prize (2023), dan berbagai penghargaan bergengsi lainnya.
Meski demikian, pada tahun 2019 Eka Kurniawan sempat menolak penghargaan Anugerah Kebudayaan yang diberikan oleh Kemendikbud. Ia merasa kinerja dari instansi tersebut masih abai terhadap permasalahan kinerja kebudayaan. Apalagi, setelah Kemendikbud mengeluarkan pernyataan tak pantas terkait gaji guru yang masih terbilang kecil dengan narasi berbunyi “gaji guru kecil, nikmati saja nanti masuk surga”.
Eka Kurniawan bisa menjadi role model baru bagi kesusastraan Indonesia. Dengan aliran realisme magis yang mencampur-adukkan unsur lokalitas dan sedikit kenakalan dalam penceritaan di karyanya. Penulis yang menggemari karya dari Gabriel Garcia Marquez, Salman Rushdie, Mo Yan, dsb. ini rasanya tidak berlebihan apabila menyandang gelar sebagai living legend penulis atau sastrawan masa sekarang dengan banyaknya penghargaan yang telah diraih olehnya. Sekian.
Penulis: Muhammad Rifan Prianto
Editor: Fitri Nurul
Baca juga: Abdulrazak Gurnah, Pemenang Nobel Sastra: Poskolonialisme dan Sejarah Zanzibar