Menonton Novel dan Mendengarkan Dilan Berbicara di Film “Milea: Suara dari Dilan”

Saya pikir, saya cukup excited untuk menonton seri Dilan yang terakhir ini—yang sudah dibukukan tentunya. Sampai-sampai saat memesan tiket pada pukul 1 malam, saya salah memilih kursi yang nyaman untuk menonton. Saya kira, saya memilih kursi paling belakang, di sebelah tangga. Nyatanya saya berakhir dengan duduk di sebelah tangga, berhadapan langsung dengan layar tanpa terhalang satu pun kursi.

Menonton sendirian pada baris pertama dan paling bawah di bioskop akhirnya menjadi pengalaman baru. Sendirian, itu juga hal yang cukup baru setelah sekian lama.

Namun, hal di atas tidak menjadi penting. Tidak ada masalah menonton film ini dari sudut mana pun karena setelah saya menontonnya, bagi saya film ini hanya menjadi pengingat akan dua film sebelumnya, terutama sampai satu jam setelah dimulainya film. Perbedaan film ini dari film-film sebelumnya adalah sudut pandang. Pada film ini, Dilan (Iqbaal Ramadhan) yang menarasikan cerita.

Lebih dari 50% isi film berdasarkan cuplikan adegan dari Dilan 1990 dan Dilan 1991. Memang, film ini diangkat dari novel berjudul sama, Milea: Suara dari Dilan. Namun, saya kira akan ada cukup banyak hal baru atau adegan-adegan yang tidak ada di novelnya. Beruntung, saya datang ke bioskop bukan untuk mencari hal baru di dalam film ini. Hanya ingin menikmati dan menyelesaikan cerita yang sudah saya baca dan tonton.

Baca juga: Kurikulum yang Tidak Dapat Dimaklum

Bagaimana kebaruan yang disajikan dari Film Dilan yang satu ini?

Kebaruan pada film ini–dan hal yang akhirnya membuat saya lega—adalah cukup banyaknya dialog yang menggunakan bahasa Sunda. Banyak sekali pemakaian bahasa Sunda yang saya rasa memang harus dipakai dari film-film sebelumnya. Toh, latar ceritanya di tanah Sunda, Bandung. Mungkin, ini efek dari Dilan yang memang banyak sekali memiliki adegan percakapan antarlelaki dan geng motor. Wajar sekali banyak disisipkan omongan kasar–dan menarik bagi saya.

Logat Sunda yang dibawa oleh Iqbaal jauh membaik dibanding film-film sebelumnya di trilogi Dilan. Ya, walaupun ada beberapa kosa kata yang perlu dan tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam dialog. Butuh tiga film untuk membuat logat Sunda yang dibawakan oleh tokoh-tokoh dapat lebih terasa.

SPOILER SEDIKIT.

Air mata seperti diharuskan untuk tumpah saat adegan meninggalnya Letnan Ical (ayah Dilan). Di adegan yang hanya ada Dilan dan ayahnya yang sakit di sana–yang saya luput apakah adegan di sini, ada di dalam novelnya atau tidak—Letnan Ical meminta untuk tiduran di paha Dilan dan terus-terusan mengatakan, “Ajak Lia ke sini.” Seakan memahami bahwa anaknya dan gadis yang dicintai oleh anaknya itu akan cukup menyesal pada akhir cerita.

***

Rasa sedih dan kegagalan bukan berarti kekalahan. Itu mungkin bisa menjadi kata penutup yang cukup baik. Sebagai kenangan, pengingat, dan potret zaman dulu, film ini sudah cukup mengemasnya. Entah motif apa yang Pidi Baiq dan Fajar Bustomi pikirkan sehingga tak banyak mengambil adegan baru dan terkesan, “Ya udah lah, pakai aja cuplikan film sebelumnya,” pada film ini. Namun, saya tetap mengapresiasi film ini dan apa pun alasan mereka dengan menikmatinya.

Saya hampir lupa. Butuh tiga film untuk dapat membuat Dilan memakai helm saat mengendarai motor. Bravo! []

Baca juga: Kisah Kemelut di Balik Hari Ibu

Rama Aulia, lahir pada 1999. Masih ingin melanjutkan kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.