Online Bukanlah Dirimu yang Diinternetkan

Wabah 100 Tahun

Ya Tuhan! Eneg! Sudah dua bulan lebih kegiatan ini berhenti di depan pintu, masing-masing kita di rumah aja, walau tidak serta merta semuanya, tetapi intinya: orang-orang ngajedog  di rumahnya masing-masing, karena-bisibecause kena virus korona. Pandemi 100 tahun tak pernah seribet ini. Namun, tampaknya ini ribet, karena yang muncul adalah fenomena baru: manusia di ruang online.

Cik, kita lihat kembali pada tahun 1920: apa pengaruhnya penemuan flu kepada kesusastraan atau boleh kita sebut, apresiasi kesusastraan, atau luasnya lagi kepada kesenian? Pada tahun sekian, kita bisa melihat beberapa gejala sosial sekaligus. Kesatu, perang dunia satu; kedua, wabah spanish flu. Memang sekali lagi, eneg kita bahas wabah terus, sudah dua bulan. Namun, ada yang lebih eneg dari ini. Ah, nanti kita bahas.

Salah satu gejala apresiasi yang dialami pada 1920-an, salah satunya adalah industri buku yang mulai menggeliat. Bukan hanya Indonesia yang terbitkan Balai Pustaka, melainkan juga di Amerika dan Eropa. Penerbit sudah memilih untuk menjual buku secara utuh, tidak lagi secara seri (sebelum 1920 banyak novel atau roman terbitnya sepotong-sepotong). Apa asbabul-nya? Ya tentulah selain karena antusiasme pasar yang berubah (tidak lagi membeli secara rutin), juga berubah menjadi mending sekali beli.

Orang-orang yang suka membacakan puisinya di Balai Kota Madrid, Paris, Brussel, sampai Amsterdam dan Berlin beralih. Mereka tidak begitu menggebu lagi membacakan puisinya di depan orang-orang. Ya, apa sebabnya? Takut flu. Zaman itu belum ada Konidin. Nah, karena penyair-penyair itu tidak lagi berpidato seperti biasa dan berita sudah lebih banyak diproduksi sebagai koran, maka disediakanlah rubrik sastra, sebagai tanda penyair tetap menyuarakan apa yang dirasakan manusia di hadapan publik. Apakah perubahan budaya manusia itu berawal banyak dari perubahan interaksinya?

Wabah 100 Tahun Kemudian

Di hadapan abad 21 ini, semua manusia berhadapan dengan yang namanya ruang nyata dan ruang maya. Sebetulnya dalam pendekatan materi, ruang-ruang ini punya materi padat, jadi yang disebut maya itu walsabab tidak ada interaksi langsung seperti biasa saja. Nah, loh, apakah perubahan budaya berawal dari perubahan interaksinya? Meskipun internet sudah ada sejak 90-an, toh persebaran luasnya kan terjadi setelah 2010. Di masa ini pula banyak yang menandai bahwa beberapa hal siap-siap akan berubah.

Baik, kita persingkat saja, sastra kita sudah terbiasa dengan internet sebetulnya. Pada 2004 sudah mengudara Cybersastra, web.net yang memuat karya-karya yang katanya sih gaya baru. Walau sayang seribu sayang, sekarang sudah tak ada. Lalu di masa selanjutnya, masa-masa yang berlangsung sampai sekarang ialah masa laman web sastra (rata-rata akhirannya .co entah karena apa).

Apakah ada pola yang berubah dari masa sebelumnya? Semisal perubahan pola dari yang konvensional seperti koran, majalah, tabloid, atau lain-lainnya? Ya, tentu. Internet adalah ruang anonim pada hakikatnya. Ruang anonim ini menciptakan demokrasi, kenapa? Semua orang terbungkam dan terancam keselamatannya bila buka mulut atau membeberkan data, sedang di internet tidak demikian. Itulah kenapa di awal medio 2000-an, Wikileaks, DataTransparent, dan Friendster, banyak memuat hal-hal yang dalam tanda kutip khusus. Nah, hal itu pula membawa pola kepada sastranya. Ya, kalau mau dibilang sastra yang hidup di lingkungan itu.

Singkat cerita, di medio awal itu Cybersastra mati. Why? Salah satu sebabnya adalah peminatnya. Selain peminat terhadap website yang berkurang dan munculnya platform-platform media sosial di akhir 2000-an. Salah satu penyebabnya, Cybersastra membawa sikap media sebelumnya dan tidak begitu getol mengeksplor aspek-aspek medium internet. Istilah kasarnya, jika boleh dikatakan, dia membawa semangat karya. Karya yang biasanya dimuat di koran atau dicetak menjadi buku ke dalam website. Banyak yang bilang, ini juga cikal bakal teenlit, chicklit, dan kawan-kawannya itu.

Baca juga: Angan-angan Acara Berkualitas di Tengah Kondisi yang Serba Terbatas

Cuman tetap saja kan, Cybersastra mati. Selepasnya juga berkembang media-media sastra online, seperti Buruan, Basa-basi, dan lain-lain, dan lain-lain. Apakah mereka mengeksplor medium internet? Kalau soal keaktualan isu sih bisa jadi iya. Namun, aspek medium internet secara bentuk? Wah, jangan-jangan website sastra macam begini nanti bernasib sama kayak Cybersastra: bubar jalan. (Selain itu, kita tahu, beberapa website sastra kondisi keuangannya memang tidak sehat, TBC.)

Membaca Internet

Naon sih! Naon banget! Sastra teh siga nu penting kitu digigiwing ka mana-mana, menjadi patung perunggu Yunani yang tidak berguna banyak, tetapi sekadar indah. Apa yang bisa sastra lakukan selain menjadi puisi, cerpen, novel, dan lainnya yang biasa kita kenal ini? Pandangan saya sih bukan sekadar itu. Olahan bentuk sastra sudah begitu dar-der-dor di luar sana. Bahkan sudah jauh-jauh hari, semisal visualpoem atau yang lainnya. Di Indonesia jadi apa? Mbeling?

Merenungi Reboan Online #2 waktu itu, Heri Maja Kelana menyebutkan masalah wabah dan perubahan masyarakat kita hari ini, kembali menjadi revisi untuk fungsi sastra. Ya, secara hakikat. Apakah demikian pula dengan persoalan bentuknya? Apakah puisi sekarang bukan sekadar puisi, lalu cerpen bukan sekadar cerpen? Ya, saya rasa demikian.

Begini, apa bayangan kita tentang novel, cerpen, atau bahkan puisi dalam 2—5 tahun mendatang? Apakah bentuknya sama? A5 margin standar, cerita bagus, dan berbentuk buku yang dijual di Gramed serta toko online? Atau, ada sesuatu yang lain? Apakah PDF? Atau, apakah aplikasi? Aplikasi membaca dengan desain tertentu? Atau, apakah dengan website lagi? Semua orang menjadi penerbit sendiri? Ah, tampaknya semua bisa saja terjadi, tetapi kita mesti memperhatikan hal yang pentingnya dahulu.

Apa sih karakteristik dari konten internet hari ini?

  1. Visual. Ya, kan?
  2. Interaktif. Kalau pasif, ya sudah, tidak menarik saja.
  3. Customable (ya sarua-sarua keneh jeung interaktif).

Visual, ya berarti kontennya bukan sekadar teks atau font. Mudahnya begini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar font. Selanjutnya Interaktif, adanya komunikasi dua arah, lho kan biasanya sastra komunikasi satu arah? Ya, benar, betul, correctomundo. Namun, bayangkan karya sastra yang interaktif, semisal karya Alejandro Zambra, Multiple Choice. Lalu Customable, ya memang mirip-mirip dengan Interaktif sih, cuman bedanya, pembaca bisa bergerak lebih dari sekadar pendengar. Mereka juga built.

Kesannya agak partisipatoris kan, ya? Agak jijay sih, cuman ya apa boleh buat, kan masa depan kemungkinan kayak begini. Mungkin NKCTHI juga sudah menemboki batas keagungan seorang penulis. Ya, jadi penulis itu sekadar penyunting yang lucu dan agung. Kayak Marchella, dia kan ambil prinsip yang seperti itu.

Terlepas dari perdebatan sastra serius atau populer, aspek-aspek internet ini—mau tak mau—nanti juga masuk ke dalam kehidupan kita. Ya, sudah ada juga sih. Semisal poetweet, mesin yang meng-generate puisi dari ujaran yang kamu sering ucapkan di Twitter. Pilihan puisinya pun beragam. Ini baru Twitter, bayangkan kelak kemudian hari ada AI (Artificial Intellegence) yang bisa meng-generate puisi dari frekuensi diksi unikmu di WA. Kalau sudah kayak gitu kan, penyair jadi anyang-anyangan dong. Btw, poetweet sudah membawa ketiga prinsip dari internet, ya coba sajalah sendiri.

Baca jugas: Bersepeda Saat Pandemi Wabah: Rangsangan Panca Indera Pasar Ancol

Teteroret It’s Corona Time

Ih, ih, ih … norak ih semuanya mau pakai Zoom. Semuanya pengin live, semuanya pengin ini, itu, ini, itu. Kita di zaman ini sudah menoleransi narsis, sebagai gejala yang bukan penyakit kejiwaan. Sebetulnya, saya tidak begitu sentimental, karena miskin dan kuota terbatas sih. Namun, melihat ada yang bisa sukses juga dengan media ini, membuat saya berpikir lebih jauh: kelas isolasi kan tidak gagal-gagal amat tuh.

Namun, apa kabar orang-orang sastra hari ini yang ada di internet? Beberapa ada yang kelimpungan karena hilang mata pencaharian, yang lainnya sibuk buat kelas menulis, yang lainnya lagi bikin konten (ya minimal kita eksis, Men!), ya gitulah prinsipnya.

Ada diskursus bagus soal keadaan konten internet hari ini, sebutannya overloading content. Kita sebut saja sebagai muntah konten atau kababayan konten. Kondisi seperti ini membuat orang jadi jauh lebih selektif menikmati konten internet. Nah, berpikir soal konten sastra sejauh ini, orang eneg gak sih? Kayaknya kalau saya yang eneg mah itu lebih ke arah iri dan dengki, karena komunitas yang digawangi saya belum bisa sampai ke tahap itu. Namun, ya, bisalah, ya. Mudah-mudahan.

2020

Baca juga: Pergelaran Cicing Cẻngcẻlak Abur Amarwatusata

Penulis: Rafqi Sadikin
Editor: Cantika Hana