“Kita akan selalu bersama, Sayang …”
Serba-serbi kisah percintaan memang tak ada habisnya. Sejumput hingga sebongkah cerita romansa di pasaran nyatanya berhasil membuat hati kita kunjung baper. Mulai dari cerita roman picisan, asmara dewasa, hingga romansa rumah tangga. Namun, ramuan kisah romansa yang sering kali membuat kita kesengsem itu berhasil dipatahkan oleh Aveus Har, penulis cerpen “Sepasang yang Berjanji Sehidup Semati” pada laman Basabasi.co. Sang penulis, Aveus, menuangkan luapan imajinasinya ke dalam cerita pendek yang nyatanya sangat dekat dan melekat dengan kehidupan kita.
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, cerita ini bukan sekadar bumbu-bumbu romansa biasa. Jatuh cinta pandangan pertama? Klasik. Ditolak kekasih? Jelas bukan. Nafsu birahi? Itu pasti. Tetapi agaknya tidak seru jika saya beri bocoran dan spoiler pada tulisan kecil ini. Akhir cerita ini dapat dinilai terlalu ekstrem, tetapi beginilah adanya. Sungguh menarik mengangkat isu yang relatif sensitif hingga mampu membuat pembaca–saya–terhipnotis dengan ramuan diksi dan jalan ceritanya.
Secara tematik, Aveus menyajikan fenomena dan realita hubungan suami istri yang bersikukuh hidup semati. Aveus berhasil mengejawantahkan problem masa kini dalam dunia perselingkuhan dan kegiatan seksual. Maya adalah representasi perempuan yang “dibodohi” atau secara halus: dibutakan oleh permainan cinta. Daya pikir dan tangkapnya pendek. Maya tak mampu berkorelasi secara jelas tentang kemauannya untuk hidup semati dengan Jose. Di lain sisi, Jose, suami Maya, merepresentasikan birahi lelaki yang tak ada habisnya. “Bermain” merupakan naluriah Jose yang tidak bisa disangkal begitu saja. Begitulah adanya.
Melalui dua tokoh ini, Maya dan Jose memainkan peran yang membawa realita kehidupan mengalir begitu deras. “Orang-orang menganggap kita kakak-beradik, dan alangkah anehnya seorang pemuda semacamku tidak mempunyai pacar.” Jose mampu bersabda dengan penuh percaya karena ia bercermin pada lingkungan sekitar, sebuah realita yang sungguh ia hadapi. Titel “pemuda” dianggap sah apabila ia mempunyai pasangan kekasih, sandaran, tempat berlabuh, pacar, atau semacamnya. Namun, apakah benar demikian? Sebagian mengakui, tetapi sebagian lainnya bisa saja memungkiri. Saya termasuk golongan yang kedua. Pacaran adalah sebuah tradisi turun-temurun yang apabila sebagian kaum tidak mematuhi, dicaplah sebagai orang yang terbelakang. Tidak laku, katanya.
Baca juga : Sepeda Gugun – LITERAT
Dalam cerpen ini, Aveus, sang penulis begitu lihai memainkan kata-kata, metafora, dan idiom terhadap penggambaran suasana yang dibangun guna memperkuat karakterisasi Maya dan Jose. “Mereka saling memeluk dan gairah mereka membakar seperti percik api menemukan genangan bensin dan mereka seolah hendak merayakannya dengan percintaan tak bertepi …” Penghadiran permainan kata-kata itu mampu membangkitkan sisi emosional Maya dan Jose, begitu pula dalam proses visualisasi ceritanya.
Kelihaian Aveus dalam menyulap hingga meramu pilihan diksi-diksinya tersebut membuat ruh pembaca menjadi kian hidup, serangkaian tata kalimat yang diracik sedemikian elastis menjadikan begitu banyak permainan idiom dalam ceritanya. Pada perumusan subjek cerita, Aveus cenderung lebih sering menggunakan diksi “kalian” yang merujuk kepada pembaca. “Kalian membiarkannya bermain bersama anak-anak kalian –anak-anak perempuan kalian– dan tidak tahu apa yang Jose lakukan pada mereka.” Diksi “kalian” terasa lebih segar dan mendekatkan benak pembaca terhadap pesan-pesan realistis yang dibawakan oleh penulis.
Secara keutuhan makna cerita, kunci pembuka suksesnya cerpen ini diawali dengan keinginan Maya yang bersikukuh ingin hidup selamanya bersama Jose. Rasa cinta dan kesetiaan Maya terhadap Jose membuatnya tak mampu lagi berpikir rasional. Dalam keadaan dan kondisi apa pun, Maya hanya ingin sehidup semati bersama Jose, tidak peduli rintangan dan badai yang menerpa. Tetapi, kegilaan cinta Maya inilah yang membawa malapetaka dalam hidupnya. Aveus, menggambarkan kondisi ini dengan menghidupkan kembali ruh Jose yang telah mati dan menyulap usia Jose sehingga tidak akan bisa bertambah, melainkan berkurang seiring waktu. Dalam kesempatan ini, Aveus memanfaatkan peran Jose dengan tugas utama “bermain” dan memuaskan nafsu birahinya.
Cerpen ini menghadirkan rasa getar kepada pembaca terhadap kandungan makna yang dibawakan sedemikian apik oleh sang penulis. Aveus pada akhirnya mampu membawa angin segar terhadap kesusastraan cerpen Indonesia yang mengedepankan isu cinta-tragedi. Cinta bereuforia, berlebihan, dan irasional yang justru akan memperoleh malapetaka. Sebagaimana kutipan populer yang kita kenal, segala sesuatu yang berlebihan tidaklah baik adanya. Akhir penceritaan ini dibuat jelas dengan konsep close-ending. Pembaca—saya—tidak sempat berpikir bagaimana akhir kisah yang pantas kiranya akan dihadapi Maya dan Jose. Namun, lagi-lagi, Aveus mematahkan semua pikiran pembaca dengan menutup cerita secara getir, berbelok, dan menohok.
Pada akhirnya, karya yang bagus adalah karya yang mengundang jalan lebar untuk dikritisi. Rasanya Aveus terlalu klise dalam mendeklarasikan romantisasi dua pasangan yang hendak sehidup semati, memperindah karakter sedemikian mulus dan rapi, meski nyatanya cerita ini seperti sedang mengupas realita yang sungguh terjadi di masyarakat. Aveus mengikat kunci ceritanya melalui penggambaran karakter pada jiwa yang haus eksplorasi, baik itu eksplorasi keinginan, perasaan, maupun sekadar kepuasan.
“Aku akan selalu bersamamu, apa pun asal bisa bersamamu.”
Penulis: Aulia Aziz Salsabilla
Editor: Afifah Dwi Mufidah
Baca juga : Sepeda Gugun