Citayam Fashion Week, Black Panther Party, dan Block Telethon Protest: Wujud Self Love dalam Sebuah Gerakan

Siapa dari pembaca yang tak kenal Bonge, Jeje, Roy, sampai Kurma? Semisal masih bingung dengan empat nama tersebut, rasanya pembaca bisa dibilang kudet karena empat orang tersebut sepekan ini mengambil alih seluruh algoritma mulai dari Twitter hingga Instagram. Lalu apa hubungannya, ya, sama Black Panther Party, terus Block Telethon Protest, sama wujud self-love? Daripada makin pusing, sudah saatnya, nih, lanjut ke paragraf selanjutnya!

Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok melawan!

Pengertian self-love sendiri dikutip dari salah satu badan riset dan yayasan yang mendanai penelitian kesehatan mental, Brain & Behavior Research Foundation, ialah “-state of appreciation for oneself that grows from actions that support our physical, psychological and spiritual growth. Self-love means having a high regard for your own well-being and happiness.” Penulis mengamini pengertian tersebut, terlebih lagi pengertian tersebut tepat apabila diselimuti dengan individu dan rasa percaya diri khas anak SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok) ketika menunggu senja di daerah Dukuh Atas. Menelisik lebih jauh, Bonge dan kawan-kawan di samping mencari kesenangan, teman, hingga ajang pacaran, mereka ternyata membawa api perlawanan di balik baju dengan warna yang tabrakan, lo! Dari banyaknya orang, Bonge, Kurma, Jeje, dan Roy paling tidak bisa menyampaikan secara tersirat bahwa mereka, sebagai kaum kecil nomor sekian secara ekonomi, bisa tetap tampil dan besar tanpa harus memiliki pakaian branded nan mahal mengalahkan kaum lainnya yang mungkin memiliki privilese dan ekonomi yang lebih mumpuni. Selain itu, tongkrongan SCBD ini juga membawa ‘pesan lain’ berupa kesetaraan yang mana terlihat semua orang, tanpa mengenal jenis kelamin ataupun gaya berpakaian, bisa tumpah-ruah bersamaan mengekspresikan diri masing-masing tanpa harus malu atau gengsi, yang jelas dalam gerakan tak kasat matanya mereka melakukannya dimulai dari mencintai diri sendiri.

Berdiri di Kiri dan Kanan, Semua Karena Cinta dan Kehormatan

Lanjut, semisal pembaca belum tau apa itu Black Panther Party, itu merupakan sebuah organisasi politik yang didirikan pada tahun 1996 dengan tujuan awalnya berpatroli di lingkungan Afrika-Amerika untuk melindung penduduk dari kebrutalan polisi yang berubah dan berkembang sampai terkenal dengan salah satu program sosialnya, yakni sarapan gratis untuk anak-anak dan klinik

medis. Lalu ada juga Block Telethon Protest pada tahun 1992, sebuah gerakan berujung aksi yang dilakukan disabilitas dan orang-orang yang mendukung disabilitas terhadap ITV, sebuah saluran televisi di Inggris yang mengadakan penggalangan dana untuk disabilitas dengan framing bahwa disabilitas merupakan objek yang harus dikasihani daripada sebagai anggota masyarakat seutuhnya. Dari Dukuh Atas, ke Black Panther Party, sampai Block Telethon Protest, ketiganya memiliki persamaan mendetail lainnya. Betul, cara mencintai diri sendiri atau self-love dengan cara uniknya masing-masing. Black Panther Party dengan gaung-gaungan slogan “Black Power” dan “Black is Beautiful” mewujudkan rasa cintanya dengan menggunakan baju berpakaian hitam, jaket kulit hitam, dan ciri khas individu Afrika-Amerika lainnya seperti memiliki rambut bergaya afro, kulit berkilau yang khas, sampai penggunaan anting-anting melingkar yang menyampaikan pesan bahwa mereka adalah mereka, tak ada yang bisa mengambilnya dan tak ada yang bisa menggantikannya. Dengan cara cintanya tersebut, individu di bawah payung Black Panther Party secara sengaja ataupun tidak sengaja memiliki kolektif yang luas sehingga dapat melayani dan melindungi masyarakat tanpa harus berurusan dengan negara (polisi tepatnya) karena diskriminasi yang sangat tinggi pada masanya.

Block Telethon Protest sendiri mungkin terlihat tak ada tandingannya dibandingkan gerakan besar lainnya, tetapi protes yang dilakukan disabilitas ini memiliki dampak besar. Diawali dari penggalangan dana yang membuat harga diri individu dengan disabilitas hancur karena mereka dianggap objek yang perlu dikasihani, mereka yang tidak setuju mengepung kantor ITV dengan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia seperti “Apakah ini zona bebas cacat?” dan “Tanyakan pada kita, bukan Aspel!” Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya mereka cinta terhadap dirinya, ingin mendefinisikan diri mereka berdasarkan definisi yang tak bisa didefinisikan orang lain, dan mereka juga berjuang demi mendapatkan cinta dan kehormatan yang sama di masyarakat, tentunya berdasarkan cinta yang dimulai dari diri sendiri. Sebagai salah satu protes tahun ‘90-an di Inggris, protes ini dapat dikatakan sebagai pemantik pembuatan Undang-Undang Diskriminasi Disabilitas pada tahun 1995 walaupun pembuatannya harus berangsur-angsur, tidak menyeluruh.

Teguran untuk Kita yang Mageran

Dengan beberapa referensi yang penulis cari, paling tidak kita tahu seberapa pentingnya mencintai setiap pola gerakan yang kita ikuti, baik di dalam maupun luar kampus, lebih personal lagi mungkin mencintai bukan hanya gerakan, ya, tetapi diri sendiri. Mencintai pola gerakan di sini penulis artikan sebagai mencerdaskan setiap orang yang mengikuti gerakannya, memahami setiap

aspek atau tuntutan di dalamnya, atau bahkan semudah memberikan kejelasan sebenarnya setelah beberapa aksi dan kegiatan apa saja kelanjutannya. Halah, masalah cinta penulis bukan ahlinya, yang jelas penulis juga masih harus banyak berusaha mencintai diri sendiri, setelahnya baru mungkin mencintai sebuah gerakan. Pada akhir paragraf ini juga penulis tujukan kata-kata terakhir untuk diri penulis yang mageran, juga akang teteh dengan pola gerakan mahasiswa yang itu-itu saja, apa kalian enggak bosan dengan strategi yang berujung audiensi terus ditinggalkan dengan sedikit harapan tanpa penyelesaian? Ayo, dong, kalau kalian benar-benar cinta, jangan membosankan gerakannya. Bonge aja outfitnya gonta-ganti, stylish lagi, kalian kapan?

Baca juga: Ragam Bahasa Anak Muda: Dari Bahasa Campur Aduk hingga Populernya TBL

Penulis: Hanif Fathoni
Editor: Nenden Nur Intan