Cantik Itu Luka: Masihkah ‘Si Cantik’ Menjadi Impian?

Benarkah kecantikan itu membawa kebahagiaan atau berujung kutukan yang mematahkan harapan?

Semoga tulisan ini tidak menghalangimu untuk membaca Cantik Itu Luka, ya!

“… bukan anak sastra kalau belum baca novel Cantik Itu Luka,” begitulah sekiranya ungkap Tasya Rahma Putri, Mahasiswi Sastra Indonesia UPI, salah satu penggemar berat Eka Kurniawan. Jika ungkapan itu terkesan berlebihan, tetapi tidak bagi para penikmat novel Cantik Itu Luka. Hal ini justru menjadi pemantik untuk membuktikan bahwa saking sastranya, novel ini jadi punya daya pikat unik yang berbeda dari kebanyakan novel lainnya.

Perlombaan puisi tiga tahun yang lalu menjadi pengantar saya untuk berjumpa dengan novel ini. Awalnya syok dikit karena ini pengalaman pertama saya membaca novel dengan gaya bahasa yang berat. Selain itu, alur cerita yang disajikan juga begitu kompleks. Pada fase awal, saya mencoba untuk tetap membaca, tetapi hanya bertahan hingga halaman 31. Tepat sebulan setelahnya, saya justru terlarut seakan masuk ke dalam kisah Dewi Ayu yang mampu menggores setiap inci nurani pembacanya. 

Sastra serius yang ditulis oleh Eka Kurniawan ini merupakan karya pertamanya yang terbit pada 2002 melalui Akademi Kebudayaan Yogyakarta dan Penerbit Jendela. Novel yang saya miliki ini adalah cetakan kedua puluh tujuh edisi 20 tahun Cantik Itu Luka yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Meskipun sudah berumur 23 tahun, nyatanya Cantik Itu Luka tidak berhenti eksis digemari oleh pembaca setia Eka Kurniawan. 

Siapa Sih yang Enggak Kenal dengan Eka Kurniawan di Dunia Sastra? 

Selain karya ikoniknya berhasil menyabet penghargaan World Readers Awards di tahun 2016, Cantik Itu Luka juga turut berjejer dengan 100 buku terkemuka lainnya versi The New York Time tahun 2015. Meskipun novel ini mampu membawanya ke puncak karier, nyatanya karya-karya lainnya tidak kalah mengesankan bagi para penikmat sastra serius. Setelah sukses dengan Cantik Itu Luka, melalui karya keduanya yang berjudul Lelaki Harimau (2004), Eka Kurniawan semakin membuktikan kepiawaiannya dalam dunia sastra dengan menjejakkan kakinya ke panggung Internasional. 

baca juga: Merayakan Hari Pustakawan: Jelajahi Kembali Rak-Rak Buku

Serupa, tetapi tak sama dengan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang mengangkat kehidupan realis sejarah kolonial. Cantik Itu Luka mengangkat dinamika sosial politik Indonesia yang berlatar waktu pada zaman kolonialisme hingga akhir masa kolonial. Bedanya, Pramoedya mencoba untuk tetap konsisten menonjolkan nilai historis melalui kisah realistis tokoh Minke. Sementara itu, novel ini lebih eksperimental, terlihat dari bagaimana Eka cukup berani memainkan batas antara fiksi dan kenyataan. 

Terakhir saya reread novel ini sekitar tiga bulan yang lalu. Jadi, dalam ingatan pendek saya–beginilah kira-kira resensi singkatnya. 

Resensi Novel Cantik Itu Luka

Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan merangkai kisah absurd, getir, dan menyihir lewat tokoh utama bernama Dewi Ayu. Novel legendaris ini memvisualkan Dewi Ayu sebagai wanita blasteran Indo-Belanda yang populer karena kejelitaannya. Namun, kecantikan Dewi Ayu justru jadi gerbang penderitaan: ia dipaksa menjadi seorang pelacur di tengah situasi ekonomi yang pelik dan dijadikan tumbal keluarganya yang tak lagi punya harapan.

Pergundikan dan penindasan memang bukan kisah baru dalam keluarga Dewi Ayu. Sejarah keluarganya memperlihatkan rantai luka yang panjang. Tokoh Ma Iyang–nenek dari Dewi Ayu adalah seorang perempuan pribumi yang dipaksa menjadi gundik oleh seorang Tuan Belanda bernama Ted Stammler. Dari hubungan yang tak setara ini lahirlah Aneu Stammler–ibu Dewi Ayu yang kemudian terjerumus dalam kisah cinta terlarang dengan saudara kandung prianya sendiri, yakni Henri Stammler. Mereka mencintai dalam diam, tanpa restu, tanpa pernikahan yang sah. Tragis, memang. Buah dari cinta terlarang mereka adalah Dewi Ayu, anak yang terlahir dari relasi rumit dan melawan norma.

Eka Kurniawan berusaha menyampaikan pesan kepada pembacanya melalui kisah Dewi Ayu bahwa luka perempuan dalam novel ini bukan hanya bersifat personal, tetapi juga struktural yang diturunkan lintas generasi. Saat pendudukan Jepang, Dewi Ayu menjadi pelacur demi bertahan hidup. Bukan karena kemauannya, tetapi karena keadaan yang menjerat.

Dewi Ayu disebut “menyembuhkan” jiwa tentara Jepang yang haus akan tubuh perempuan. Narasi yang dibentuk oleh eufemisme pedih untuk menyebut eksploitasi seksual yang dilegalkan oleh perang. Namun, kali ini Eka Kurniawan tidak sedang mendramatisasi. Ia sedang memaksa kita melihat kebenaran yang menyakitkan.

baca juga: Halo, Maba! Yuk kenalan sama Istilah-Istilah di Perkuliahan!

Melalui perpaduan gaya bahasa realisme magis dan satir gelap, Eka mengajak pembaca menelusuri kehidupan Dewi Ayu dan anak-anak perempuannya. Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik. Ketiga putrinya terlahir cantik seperti ibunya, tetapi hanya Cantik—Si buruk rupa yang menjadi perlawanan mitos kecantikan. 

Eka seolah ingin menuntut kita untuk berpikir,

“Apakah wajah cantik benar-benar menyelamatkan perempuan? Atau justru mempercepat kehancuran hidupnya?”

Cantik Itu Luka, tidak hanya membahas tubuh perempuan. Namun, lebih dari itu. Beban-beban sosial yang terlekat dan menjeratnya, penderitaan tak bersalah yang berpayung takdir, ketidakberdayaan perempuan untuk melawan. Semua itu membuat masyarakat dengan mudah menstigma, menghukum, dan mengabaikan keistimewaan perempuan. Seolah-olah tubuh perempuan adalah alat pelampiasan dan setiap penderitaan yang menimpa mereka adalah harga yang harus dibayar atas kecantikannya.

Pembawaan Eka yang tajam, gamblang, dan keras tidak jarang membuat pembaca tercekik oleh realitas sosial yang sering kita sembunyikan di balik kebungkaman. Cantik Itu Luka menunjukkan bahwa luka perempuan bukan hanya milik mereka. Namun, luka itu milik kita semua—karena kita yang membiarkannya terus menganga.

Cantik Itu Luka bukan hanya layak untuk dibaca, tetapi juga layak direnungkan mendalam. Di balik kebangkitan Dewi Ayu, pelacuran, cinta terlarang, dan penindasan lintas generasi, Cantik Itu Luka meninggalkan sesuatu yang besar untuk kita: bahwa menjadi perempuan, terutama di dunia yang menggilai kecantikan, tetapi membenci tubuh perempuan adalah kutukan yang nyata.

Penulis: Jovita Dwi Swistika Murti

Editor: Nabilla Putri Nurafifah

baca juga: Jejak Tiga Luka: Dilema Seorang Sarjana Perempuan