Ketika Teman Mengalami Kekerasan Seksual: Panduan Sikap yang Aman dan Berpihak pada Korban

PERHATIAN! TULISAN INI MEMBAHAS PELECEHAN DAN KEKERASAN SEKSUAL YANG MUNGKIN MEMICU (TRIGGERING) BAGI PENYINTAS. JIKA MERASA TIDAK NYAMAN, BERI JEDA DAN HUBUNGI KONSELOR: SATUAN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN ISU KRISIS (SPPIK).

Masalah kekerasan seksual tidak berhenti pada apa yang dialami korban, tetapi berlanjut pada sikap lingkungan yang meresponsnya.  Sayangnya, banyak dari kita yang tanpa sadar turut memperparah trauma korban, dengan menyebarkan identitas pribadi, mengajukan pertanyaan yang menyalahkan, atau mengambil alih keputusan mereka. Oleh karena itu, ketika teman kita mengalami kekerasan seksual, sikap kita tidak boleh sembarangan. Dukungan yang benar harus berpijak pada prinsip perlindungan korban, bukan dorongan untuk memviralkan kasus.

Memahami Kekerasan Seksual dan Dampaknya

Kekerasan seksual merupakan segala bentuk tindakan bernuansa seksual yang dilakukan tanpa persetujuan korban, sering kali terjadi dalam kondisi ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, dan berdampak pada hilangnya rasa aman serta kendali atas tubuh dan diri seseorang. Kekerasan seksual bisa dilakukan siapa saja dan korbannya juga bisa menimpa siapa saja, baik pria maupun wanita. Keduanya merupakan pelanggaran hukum hak asasi manusia dan tidak dapat diterima dalam masyarakat. 

Dampak kekerasan seksual tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis dan sosial. Korban dapat mengalami trauma, kecemasan, rasa takut, gangguan konsentrasi, hingga menarik diri dari lingkungan. Ketika identitas korban disebarluaskan tanpa persetujuan, dampak tersebut dapat semakin berat karena korban menghadapi stigma, tekanan publik, dan risiko kekerasan lanjutan. Oleh karena itu, perlindungan privasi dan keberpihakan terhadap korban menjadi prinsip utama dalam penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual.

Masalah yang Sering Terjadi 
  1. Identitas korban tersebar tanpa izin: foto, nama, detail kasus dibagikan di medsos. Meskipun dengan niat “solidaritas” tetap berbahaya karena dapat menyebabkan reviktimisasi (trauma tambahan).
  2. Victim blaming (menyalahkan korban): “Kenapa diam aja?”, “Pakai baju apa?”. Membuat korban merasa malu dan bersalah sehingga tanggung jawab jadi teralihkan dari pelaku ke korban. 
  3. Meminimalisasi pengalaman korban: “Ah cuma di catcalling aja”, “Cuma dicolek”. Semua pengalaman itu valid tidak dilihat dari “seberapa ringan” karena dampak ditentukan oleh korban bukan orang lain.
  4. Mengambil alih keputusan korban: dengan memaksa melapor tanpa persetujuan, konfrontasi dengan pelaku tanpa izin korban, dan menghilangkan kewenangan keputusan dari korban.
Baca juga: PAB Proker atau Alam: Mana yang Lebih Relevan dengan Mahasiswa Satrasia?
Prinsip Dasar dalam Mendampingi Korban Kekerasan Seksual

Dalam situasi apapun, pendampingan terhadap korban harus berlandaskan prinsip-prinsip berikut.

  1. Percaya pada korban. Pengalaman korban, baik pelecehan maupun kekerasan seksual, adalah nyata dan tidak perlu diragukan.
  2. Non diskriminasi. Penanganan kekerasan seksual harus adil dan setara tanpa membedakan latar belakang identitas, sosial, atau status korban.
  3. Tidak menyalahkan korban. Pelecehan dan kekerasan seksual tidak pernah disebabkan oleh cara berpakaian, sikap, atau pilihan korban.
  4. Menjaga kerahasiaan dan privasi. Identitas korban, detail kejadian, dan bukti tidak boleh disebarkan tanpa persetujuan korban.
  5. Menghormati persetujuan korban. Setiap langkah penanganan, termasuk pelaporan dan publikasi, harus dilakukan atas kehendak korban.
  6. Mengutamakan kepentingan terbaik korban, yaitu keselamatan, rasa aman, dan pemulihan.

Prinsip-prinsip ini merupakan landasan utama SOP Anti Pelecehan dan Kekerasan Seksual dan wajib dijadikan acuan dalam bersikap.

Langkah Awal Saat Teman Mengalami Kekerasan Seksual

Ketika seorang teman mengaku mengalami kekerasan seksual, hal terpenting yang dapat kita lakukan adalah mendengarkannya. Tanyakan apa yang dibutuhkan, apakah ingin ditemani, membutuhkan bantuan profesional, atau hanya ingin didengar. Dalam lingkungan kampus, pendamping juga dapat membantu korban dengan memberikan informasi mengenai akses layanan penanganan kekerasan seksual, seperti SPPIK/SPPKS. Informasi ini disampaikan tanpa paksaan, dengan tetap menghormati hak korban. Penting juga sadar bahwa kita hanya sebagai pendamping dan semua keputusan ada pada kendali korban sepenuhnya. Pendampingan yang baik adalah pendampingan yang memberi ruang aman, bukan tekanan.

Baca juga: Bandung Jadi Kota Penutup Generasi Campus Roadshow 2025: Unpacked the Sparks di Sabuga
Penutup: Budaya Aman Dimulai dari Kita

Pencegahan kekerasan seksual adalah tanggung jawab kolektif.  Lingkungan pertemanan dan komunitas perlu membangun budaya yang tidak menormalisasi candaan seksual, pelecehan verbal, serta tidak menyebarkan gosip terkait kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Ruang aman dapat tercipta jika komunitas berani berpihak pada korban dan secara sadar menghentikan praktik-praktik yang melanggengkan kekerasan. Perlu disadari juga kekerasan seksual ini sudah menjadi masalah struktural yang harus kita cegah bersama-sama.

Setiap dari kita punya peran dalam menciptakan lingkungan yang aman dari kekerasan seksual. Dimulai dari hal sederhana: percaya pada korban, lindungi privasi mereka, jangan salahkan mereka, karena …

cara kita merespons juga menentukan apakah korban lain merasa aman untuk bersuara. 

Sumber: Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta. Panduan Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Anti Kekerasan Seksual untuk Organisasi dan Komunitas. Jakarta, 2024.

Penulis: Alya Khairina Hartono

Penyunting: Nabilla Putri Nurafifah

Baca juga: Merespons Pembubaran Hima Satrasia