Sudah menjadi hal yang wajar bila memiliki masalah ataupun trauma masa lalu yang tidak bisa kita ungkapkan kepada orang lain. Maka tak jarang, manusia pada masa sekarang banyak mengalami gangguan kesehatan mental. Akan tetapi, in this economy pergi ke psikiater sepertinya ngga masuk budget, deh. Nah, oleh karena itu, sebagai alternatifnya kita bisa mencoba menyelesaikan masalah kesehatan mental dengan menulis.
Metode Terapi Menulis: Expressive Writing
“Emangnya menulis bisa bantu kita untuk atasi masalah kesehatan mental?”
Tentu saja bisa, dong. Nyatanya, metode ini sudah pernah digunakan oleh penulis buku I Know Why the Caged Bird Sings, yakni Maya Angelou. Maya Angelou membuktikan bahwa menulis dapat digunakan sebagai media terapi kesehatan mental. Dengan menulis, ia bisa menuangkan pengalamannya ke dalam kertas tanpa perlu takut untuk dihakimi, berkat proses inilah ia bisa menyelesaikan traumanya.
Maya dalam hal ini telah melakukan salah satu terapi menulis yang disebut expressive writing. Expressive writing merupakan proses menulis untuk mengungkap trauma yang sangat mendalam sampai inti dari trauma tersebut bisa ditemukan. Lalu, pada akhirnya kita bisa mendapatkan cara untuk menyelesaikan trauma tersebut.
Baca juga: Merayakan Hari Pustakawan: Jelajahi Kembali Rak-Rak Buku
Metode Terapi Menulis: Free Writing
Di Indonesia sendiri, menulis sebagai media terapi telah menjadi salah satu pengabdian yang dilakukan oleh Nenden Lilis Aisyah sebagai dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di UPI. Beliau yang juga merupakan seorang penulis, membenarkan bahwa menulis bisa menjadi salah satu metode untuk mengatasi masalah kesehatan mental. Ia mengungkapkan bahwa terdapat beragam metode dalam terapi menulis, selain expressive writing.
Adapun salah satu metode lain yang dimaksud, yakni free writing. Free writing digunakan untuk mengeluarkan emosi yang sering dipendam. Ini sedikit berbeda dengan expressive writing yang digunakan untuk mengungkap trauma. Nah, selama sesi free writing, penulis bebas mengungkapkan seluruh perasaan bahkan sampai mengumpat sekalipun. Contoh nyata free writing dapat kita temukan di dalam media sosial. Umumnya, orang-orang di sana mahir mengeluarkan emosi yang biasa dipendam di dunia nyata melalui postingan yang diunggah.
Baca juga: Bahasa pun Merdeka: Menilik Ejaan dalam Teks Proklamasi
Terapi Menulis sebagai Pertolongan Pertama, Belum Tentu Obatnya
Nenden Lilis Aisyah menegaskan bahwa terapi menulis dapat dilakukan secara mandiri. Beliau juga merekomendasikan untuk menulis dengan tangan. Dengan tulis tangan, kita dapat menyeimbangkan otak kiri dan kanan, melancarkan aliran darah ke otak dan jantung, serta meningkatkan konsentrasi. Tentu tidak langsung menyembuhkan, oleh karenanya terapi menulis lebih cocok dijadikan sebagai pertolongan pertama.
“Menulis ini bisa jadi diibaratkan seperti pertolongan pertama, jadi bukan serta-merta dapat menyembuhkan langsung. Pada tingkat-tingkat tertentu, misalnya depresi yang sudah terlalu parah, tetap memerlukan terapi khusus secara medis, tak hanya menulis.”
Memang bagus apabila masalah selesai hanya dengan terapi menulis. Namun, kembali lagi, dalam tingkatan masalah kesehatan mental yang berat, penanganan khusus pun perlu dilakukan. Terakhir, Nenden Lilis Aisyah menambahkan bahwa menulis sebagai terapi ditujukan supaya mengurangi beban pikiran yang sulit diungkapkan.
“Mungkin dengan menulis, hal-hal yang sebelumnya tidak bisa ia ungkapkan ke psikiater, ia bisa menuliskannya terlebih dahulu. Tujuannya, supaya mengurangi beban dalam pikiran, baru kemudian ditangani kembali.”
Baca juga: Tips Menulis Cerita Ala Haruki Murakami
Tidak Semua Bisa Instan, Terapi Menulis Bekerja secara Perlahan
Terapi menulis adalah proses bertahap, bukan instan. Sebisa mungkin lakukan secara rutin minimal 14 hari, masing-masing dengan setiap sesi selama 20 menit. Kiat ini berlaku untuk setiap metode terapi menulis yang sudah disebutkan.
Nenden Lilis Aisyah membagikan kisah Kolonel Sanders, pendiri KFC, sebagai contoh proses terapi menulis yang tidak instan. Sanders menemukan titik baliknya saat ia menulis surat terakhir sebelum bunuh diri. Ketika Sanders mulai menulis, ia menemukan sisi positif dan semangat hidupnya kembali, yang akhirnya membawanya pada kesuksesan. Kisah ini membuktikan bahwa menulis dapat menjadi media untuk menelanjangi kenyataan, menemukan kesadaran diri, dan membangkitkan optimisme.
Penulis: Rihan Athsari
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra




