“Sebuah kejutan telah datang di wabah pandemi ini!”
“Apa itu?”
“Penyitaan buku sebagai barang bukti sebuah kasus!”
“Waduh, kok bisa?”
“Simak dulu pendapat dari aku ini yak!”
“Siap lur!”
Izinkan Aku memperkenalan diri, namaku Ihsan dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku sekarang duduk di kelas calon kating, alias mantan maba yang pernah disuruh rapat kiri oleh panitia ospek dengan tujuan lebih rapi dari pojokan paragraf yang menjorok ke dalam ini. Ini adalah curhatan pertamaku untuk dijadikan sebuah artikel.
Sebelum penyitaan buku itu terjadi, ada berita yang tak kalah menggemparkan daripada itu. Kabarnya akan ada penyerangan besar-besaran dari kelompok anarko sepulau Jawa. Tapi yang menjadi masalah, emang di pulau Jawa sebanyak apa sih para anggota yang berniat untuk menyerang ini? Apalagi, lokasi tempat kejadian penangkapannya itu berada di dekat Jakarta yang juga rawan virus Corona ini.
Dampak peristiwa itu diyakini oleh isilop (kalau gak ngerti, balikin ya) berasal dari sebuah informasi yang pastinya didapatkan lewat kegiatan yang mudah, seperti membaca koran, buku, dan sebagainya. Penyitaan pun dimulai dari buku. Buku? kok bisa dijadikan barang bukti sih? Katanya sih, dari sampulnya mengundang dugaan menjerumus ke arah pemikiran anarki. Salah satu yang aku soroti adalah disitanya buku Eka Kurniawan yang berjudul “Corat-Coret di Toilet”. Aku jadi teringat buku itu dibeli karena warnanya yang hijau merupakan favoritku, dan gambar Molotov yang kuyakini itu sebagai bentuk protes dari ketidakbecusan suatu urusan oleh para petinggi.
Baca juga: SPOT? Sedang Tidak Bersahabat dengan Mahasiswa
Waduh, padahal buku yang kebanyakan disita itu sudah banyak tersebar di toko buku atau perpustakaan. Aku yakin buku itu sudah banyak dibeli oleh para pembaca. Entah karena nama besar si penulis, kagum terhadap sampulnya, sinopsis yang menakjubkan, atau isinya sudah senikmat menyelami lautan kisah di buku.
Jadi, menurutku, sebagai pembaca buku, abaikan aja peribahasa dari “Janganlah menilai buku itu dari sampulnya, tapi dari isi bukunya”. Karena di zaman revolusi industri 4.0 (Oh ya?), kebutuhan industri penerbitan akan larisnya penjualan dan membuat konsumen puas semakin meningkat. Setelah sudah cukup tau bagaimana menilai buku dari nama penulisnya, dan isi buku atau sinopsisnya, menurutku sampul dari buku bisa juga dijadikan penilaian konsumen sebelum membeli buku itu. Sampul buku itu akan mudah mengingat untuk penghargaan karya dari penulis yang sudah diterbitkan, memberikan impresi agar mau membeli buku, dan tentang sebuah isi buku nantinya dan menarik disimpan secara indah sebagai koleksi bacaan. Bayangkan, berapa banyak bukumu yang tersusun rapih dengan segala keindahan warnanya di matamu? Jadi, sudah sewajarnya banyak orang yang juga menghargai buku itu dari bentuk sampulnya.
Selayaknya lebih mana dulu telur atau ayam, tak perlulah untuk diperdebatkan. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan yang sudah memberi takdirnya untuk keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini. Sampul buku dari hasil imajinasi para pekerja yang terlibat di penerbitan, sedangkan isi buku dari hasil imajinasi para pekerja di kepenulisan. Merekalah sama-sama yang terhebat dalam memberi banyak jendela ilmu untuk keterbukaan hamparan pemikiran kita. Ciptaan Tuhan itu sudah jelas ada skenarionya, tetapi maukah kita yang memerankannya?
Andaikan dampak dari peristiwa pengambilan barang bukti berupa buku menjadi kesesatan untuk orang awam yang belum memulai baca dari mencari buku kesukaannya itu terlebih dahulu, bagaimana? Maka, jangan heran bila Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara dunia dalam masalah literasi menurut UNESCO.
Sejenak aku jadi teringat perkataan Mbak Nana alias Najwa Shihab yang pernah mengajak masyarakat Indonesia untuk memulai membaca buku seperti ini:
“Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu. Mari jatuh cinta.”
Untuk yang sudah menjadikan membaca buku sebagai aktivitas meluangkan waktu atau hobi:
“Tak peduli darimana kamu menilai buku itu saat membeli dan membacanya, yang terpenting kalau ada isi buku yang dapat mengingat baik di pikiranmu, mari berkumpul.”
Imbauan untuk para isilop yang mau menjadikan buku sebagai barang bukti:
“Buku itu kan sudah dibaca. Jadi sudah jelas sampulnya itu buat impresi dasar isi buku untuk memancing agar segera dibeli dan dibaca, segelnya jelas sudah terbuka dan nilailah buku itu dari pengantar dan sinopsis terlebih dahulu. Itu saja. Semoga dapat berpikir dua kali, sebelum benar-benar buku itu dijadikan barang bukti”.
Akhirnya sudah sampai di penghujung curhatan aku. Izin pamit. Semoga bisa bertemu kembali. Wassalamu’alaikum.
Rujukan Isi Artikel:
https://mojok.co/terminal/kasihan-nasib-buku-yang-disita-polisi-karena-dikira-buku-anarkis/
Baca juga: Ikut Bergulat dalam Arena Semantik
Penulis: Muhammad Rabithul Ihsan