Laut Bercerita: Jeritan Sunyi para Aktivis ‘98?

Sejarah Indonesia mencatat tahun 1998 bukan hanya sebagai momentum runtuhnya rezim Orde Baru, tetapi juga sebagai periode kelam penuh luka dan kehilangan. Di balik euforia reformasi, tersembunyi kisah-kisah sunyi tentang para aktivis mahasiswa yang diculik, disiksa, dan bahkan tak pernah kembali. Para aktivis itu, yaitu Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, dan 10 lainnya masih tercatat sebagai korban penghilangan paksa yang belum ditemukan hingga hari ini. Dalam gelapnya sejarah negara ini, Laut Bercerita karya Leila, S. Chudori hadir bukan sekadar sebagai karya fiksi, melainkan sebagai suara bagi mereka yang dibungkam. Melalui tokoh Biru Laut dan kawan-kawannya, novel ini merekonstruksi jeritan sunyi para aktivis ’98. Novel ini menjadi alarm pengingat bahwa perjuangan mereka belum selesai dan luka bangsa ini belum benar-benar sembuh.

Penokohan yang Nyata

Biru Laut yang akrab dipanggil Laut adalah representasi dari generasi muda yang idealis dan kritis. Ia adalah seorang aktivis jurusan Sastra Inggris di Yogyakarta. Bersama teman-temannya, Laut bergabung dalam organisasi Winatra yang bergerak untuk menyuarakan ketimpangan sosial, ketidakadilan pemerintah, serta kekerasan terhadap masyarakat kecil. Mereka berdiskusi di Seyegan–sebuah pojok terpencil di Yogyakarta–tentang buku-buku (yang dianggap) pemikiran kiri untuk melawan doktrin pemerintah.

Penulis membangun tokoh-tokoh dalam novel ini dengan cermat. Dalam karakter tokoh-tokohnya, kita bisa melihat mereka sebagai mahasiswa yang punya semangat, tetapi juga memiliki ketakutan dan keraguan. Hal inilah yang membuat kita bisa melihat gambaran nyata para mahasiswa yang turun ke jalan pada akhir tahun 90-an demi memperjuangkan reformasi dan demokrasi.

Namun, semangat itu dipadamkan oleh rezim orde baru. Laut dan kawan-kawannya menjadi buronan. Mereka ditangkap, disiksa, dan di interogasi dalam ruang tahanan bawah tanah (rahasia). Di sinilah novel ini menunjukkan sisi tergelap negara melalui aparatnya. Penulis menuliskan adegan-adegan penyiksaan dengan detail sehingga membuat kita seolah bisa melihat langsung hal-hal yang dialami para aktivis ’98 yang hilang.

Baca Juga: Bagaimana Sally Rooney Mengubah Kisah Hidupnya Menjadi Novel

Narasi Keluarga yang Kehilangan

Salah satu kelebihan Laut Bercerita adalah bagaimana novel ini menyuarakan jeritan sunyi para aktivis ’98. Sunyi, karena negara tidak pernah benar-benar memberi jawaban (hingga saat ini). Sunyi, karena keluarga korban terus menunggu, mencari dalam ketidakpastian, dan bertanya, “Jika masih hidup di mana mereka tinggal dan jika sudah meninggal di mana nisannya?” Asmara Jati, adik Laut seolah menjadi simbol Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).

Dikutip dari Detik.com IKOHI merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan oleh keluarga-keluarga yang kehilangan untuk mengetahui nasib 13 aktivis ‘98 yang masih dinyatakan hilang. Penulis menempatkan narasi Asmara untuk menunjukkan bahwa penderitaan tidak berhenti di ruang penyiksaan, tapi terus ada dalam kehidupan keluarga yang ditinggalkan.

Ini Hanyalah Rekaan

Novel ini memiliki narasi yang mampu menggugah kesadaran kita akan sejarah kelam negeri ini. Leila S. Chudori dengan cermat merangkai kisah imajiner yang begitu dekat dengan kenyataan. Kisah Laut mengingatkan kita bahwa di balik euforia reformasi, pernah ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Namun, tetap harus diingat, ini hanyalah cerita rekaan. Kita tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rupa sebenarnya dari sejarah kelam itu. 

Laut Bercerita merupakan arsip emosi, arsip sejarah, dan arsip perlawanan. Saat negara gagal mencatat dan mengakui kejahatan masa lalunya, sastra mengambil alih peran itu. fiksi menjadi cara untuk menghidupkan empati, menyuarakan yang bungkam, dan menolak lupa: Lawan!

Penulis: Azila Fitria Ramadhani
Editor: Auliya Nur Affifah

Baca Juga: Periodesasi Sastra 3: Transformasi dan Refleksi Pasca-Orde Baru