Rangga & Cinta (2025): The rebirth of Ada Apa dengan Cinta? (2002) disutradarai oleh Riri Riza, sineas yang sebelumnya berperan sebagai produser pada film tahun 2002 tersebut. Kali ini, ia menggandeng duo penulis naskah Mira Lesmana dan Titien Wattimena untuk melahirkan kembali kisah legendaris tersebut dalam format musikal romantis. Filmnya dibintangi oleh El Putra Sarira sebagai Rangga dan Leya Princy sebagai Cinta. Keduanya merupakan nama baru di industri film, tetapi justru menjadi sorotan besar berkat penampilan mereka. El berhasil membangun sosok Rangga yang pendiam tetapi mampu menyalurkan emosi lewat diksi dan tatapan yang presisi, sedangkan Leya memberi energi baru pada karakter Cinta. Chemistry mereka terasa hidup, terutama di adegan-adegan musikal yang menuntut keseimbangan antara vokal dan ekspresi.
Tak lagi sekadar kisah nostalgia dua remaja yang terpisah jarak dan waktu, Rangga & Cinta menjadi ruang baru bagi bahasa, musik, dan puisi untuk berbicara dengan cara yang lebih intim. Melalui dialog yang dirangkai seperti sajak dan adegan musikalisasi puisi yang menjadi sorotan, film ini menunjukkan bahwa bahasa masih bisa jadi cara paling halus untuk mengungkapkan cinta.
Rebirth: Cinta Lama dalam Bahasa yang Berbeda
Rangga & Cinta (2025) memiliki setidaknya 75 persen alur cerita dan dialog inti dari AADC (2002). Dengan latar yang sama, yakni 2001–2002, kisah Rangga dan Cinta ini masih bercerita mengenai dua anak SMA penyuka sastra dan buku-buku lama yang awalnya berselisih lalu jatuh cinta. Rangga, yang kali ini diperankan oleh El Putra, masih memiliki karakter dingin dan penyendiri, jauh dari kebiasaan bersosialisasi. Karakter Rangga masih mempertahankan bahasa Indonesia yang baku dan lumayan ketus. Sama halnya dengan Rangga, karakter Cinta yang diperankan Leya Princy tetap mempertahankan sifat cerianya seperti 23 tahun lalu. Ia adalah sosok yang ceria, setia kawan, dan labil saat sedang jatuh cinta.
Sebagai bentuk kebangkitan baru, film Rangga & Cinta membawa kembali jejak masa lalu AADC dengan cara yang berbeda. Untuk memahami film ini, kita bisa melihat dua sisi mengenai apa yang masih dipertahankan dari versi lamanya dan apa yang kini dihadirkan sebagai hal baru.
Mira Lesmana, dalam wawancaranya dengan Tempo.co, menjelaskan “Pasti terasa nanti ketika menyaksikannya bahwa sensitivitas atau emosinya itu pasti akan ada perbedaan dengan Ada Apa dengan Cinta?, walaupun ceritanya sama, plotnya sama, semuanya sama. Tapi ruang buat musik di sini sangat terbuka, itu menjadi bagian yang kemudian juga mempertebal emosi, yang membuat sensitivitas mereka mau tidak mau harus muncul.”
Riri Riza dan Mira Lesmana melihat Rangga & Cinta bukan sekadar kelanjutan dari AADC, melainkan cermin dari semangat generasi hari ini. Riri menekankan bahwa seni harus menjadi pantulan zaman, bagaimana puisi Chairil Anwar bisa hidup kembali lewat pandangan dan jiwa remaja masa kini. Sementara Mira menyoroti sisi multitalenta para pemain mudanya: mereka tak hanya berakting, tetapi juga menyanyi dan menari dengan leluasa, sesuatu yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Lewat hal itulah, Rangga & Cinta menegaskan “kelahiran kembali”-nya dengan napas yang lebih muda dan ekspresif.
Dialog Sederhana yang Penuh Makna
Film Rangga & Cinta menampilkan dialog-dialog sederhana yang kadang terasa kaku di telinga penonton muda masa kini. Uniknya, pilihan diksi yang lugas dan penggunaan bahasa sehari-hari itu memperkaya emosi serta makna yang tersirat di setiap percakapan. Bahasa baku yang digunakan Rangga juga masih bertahan hingga kini. Cara bicaranya menjadi ciri khas yang memperkuat jiwa karakter tersebut dalam versi baru yang diperankan oleh El Putra Sarira. Hal ini membuktikan kesederhanaan bahasa tetap memiliki kedalaman dan efektif menyampaikan perasaan dengan jujur.
“Sore ini saya mau ke sana. Kalau mau ikut, kita bisa janjian sore ini di sini. Berangkat bareng?” — Rangga
Dialog sederhana ini menjadi contoh paling jelas bagaimana Rangga tetap hadir dengan ciri khas kebakuan dan ketenangannya. Kalimat yang terdengar formal untuk percakapan remaja masa kini justru memperlihatkan kejujuran dan kontrol emosi yang menjadi identitas kuat Rangga sejak awal. Kesederhanaan inilah yang membuat karakter Rangga tetap hidup dan relevan, meski dibentuk ulang dalam generasi baru.
Ketika Puisi Menjadi Emosi
Dalam Rangga & Cinta (2025), puisi tetap hadir meski porsinya lebih sederhana. Film AADC (2002) menampilkan sekitar lima puisi sebagai medium ekspresi tokoh. Versi rebirth ini hanya memakai beberapa puisi, termasuk “Ada Apa dengan Cinta?” dan “Tentang Seseorang.” Puisi-puisi tersebut tidak lagi dibacakan secara konvensional.
Semua diolah lewat musikalisasi yang memberi nuansa baru: ritmis, emosional, dan dekat dengan generasi muda.
“Kulari ke hutan kemudian teriakku.
Kulari ke pantai kemudian menyanyiku.
Sepi. sepi. dan sendiri aku benci.
Aku mau bingar. aku mau di pasar.
Bosan aku dengan penat.
Dan enyah saja kau pekat.
Seperti berjelaga jika kusendiri.”
Kutipan tersebut merupakan bagian dari puisi “Tentang Seseorang” yang muncul di pertengahan film, dan menjadi salah satu momen paling puitis dalam Rangga & Cinta (2025). Dalam adegan ini, Rangga (El Putra Sarira) memainkan piano dan mulai menyanyikan lagu tersebut dengan nada lembut dan penuh perasaan. Tak lama, Cinta (Leya Princy) menyusul dengan membaca bait-bait puisi karya Rangga yang membuat suasana semakin sarat makna. Keduanya kemudian melanjutkan dengan bernyanyi bersama, menciptakan harmoni yang menyatukan puisi, musik, dan emosi dalam satu adegan yang sederhana tapi berkesan.
Musikalisasi Puisi: Warna Baru Untuk Rangga & Cinta
Dikutip dari detik.com, Japhens Wisnudjati (via Banua dan Santosa (Ed.), 2005:16) menjelaskan bahwa istilah mengenai musikalisasi puisi mengisyaratkan adanya proses mengubah puisi menjadi musik. Proses ini bertujuan mengekspresikan puisi melalui bunyi-bunyian yang ditata sehingga membentuk komposisi musikal. Dalam Rangga & Cinta, musikalisasi puisi berfungsi menegaskan suasana batin tokoh dan memberi ruang bagi pesan puitis agar tampil lebih hidup. Iringan musik membantu penonton merasakan intensitas emosi dalam bait-bait yang dibacakan sehingga puisi memperkuat makna visual.
Adegan yang sederhana namun sarat makna ini memberikan warna baru bagi Rangga & Cinta. Pesona yang dibawakan El Putra Sarira berhasil membentuk jiwa baru dalam karakter Rangga yang lebih hangat, ekspresif, dan terasa manusiawi. Momen tersebut menunjukkan bahwa puisi dapat dihadirkan dengan cara berbeda: bukan hanya dibacakan, tetapi dihidupkan melalui musik dan emosi. Musikalisasi ini membuat makna puisi terasa lebih manis dan lembut, namun tetap penuh perasaan. Pendekatan ini sekaligus menjadi bentuk baru dari romantisme yang dulu hanya tersirat lewat kata-kata.
Baca juga : Bincang Santai Musikalisasi Puisi dengan Fajar M. Fitrah
Sastra di Layar Lebar: Harapan dan Catatan untuk Rangga & Cinta
Lewat Rangga & Cinta, dunia perfilman Indonesia kembali membuka ruang bagi sastra untuk tampil di layar lebar. Film ini berhasil menunjukkan bahwa puisi masih punya tempat dalam medium visual, tidak hanya lewat pembacaan, tetapi juga melalui musik, ekspresi, dan akting.
Namun, keberanian itu tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa bagian di mana akting para pemain baru belum sepenuhnya mampu menyampaikan pesan emosional yang diharapkan. Meski begitu, para pemain tetap menunjukkan potensi besar untuk berkembang, terutama dalam membawakan dialog-dialog yang bernuansa puitis.
Upaya Riri Riza dan tim untuk menghidupkan bahasa puitis di tengah arus sinema modern patut diapresiasi. Film ini telah kembali membuka pintu bagi pertemuan antara sastra dan film di masa kini. Rangga & Cinta mungkin belum sempurna, tetapi keberaniannya untuk membawa kembali puisi ke layar lebar adalah langkah penting. Di tengah gempuran film komersial yang serba cepat, karya ini mengingatkan kita bahwa bahasa, dalam bentuk apa pun, masih bisa menjadi cara paling indah untuk bicara tentang cinta.
Baca juga : Melihat Film “Sore: Istri dari Masa Depan” melalui Pengalaman Penonton
Penulis : Suci Maharani
Editor : Aulia Fathiha Sitiazzahra




