“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Kalimat ini dibacakan Soekarno pada 17 Agustus 1945, dan saat itulah dunia menyaksikan lahirnya sebuah bangsa baru. Namun, ada yang sering luput dari perhatian, bahwa kemerdekaan tidak hanya tercatat dalam dokumen politik atau sejarah perjuangan. Ia juga terekam dalam bahasa, dalam teks Proklamasi yang ditulis dengan ejaan pada zamannya. Dari sana kita dapat melihat bahwa bahasa pun ikut merdeka dengan perlahan melepaskan diri dari bayang-bayang kolonial.
Bahasa dan Ejaan dalam Teks Proklamasi
Jika diperhatikan, teks Proklamasi yang asli masih memuat bentuk-bentuk ejaan lama, seperti kata menjatakan dan tjara. Ejaan tersebut merupakan warisan Ejaan Van Ophuijsen yang merupakan kaidah pertama yang digunakan dalam tata bahasa Indonesia. Mengutip dari Kompas,com, menurutnya pada 1901 Charles Adriaan van Ophuijsen, seorang ahli bahasa belanda menyusun ejaan bahasa Indonesia yang saat itu masih disebut bahasa Melayu. Ejaan ini diresmikan pada tahun yang sama oleh pemerintah kolonial belanda dan digunakan selama 46 tahun hingga 1947.
Terdapat ciri khas yang cukup mencolok dari ejaan van Ophuijsen, seperti penggunaan dj untuk j , j untuk y , oe untuk u , tj untuk c , dan ch untuk kh . Supaya lebih jelas, berikut contoh penggunaannya.
- Dj untuk bunyi j: Kata Djakarta (kini ditulis Jakarta)
- J untuk bunyi y: Kata jang (kini ditulis yang), sajang (kini ditulis sayang)
- Oe untuk bunyi u: Kata kekoeasaan (kini ditulis kekuasaan), tahoen (kini ditulis tahun)
- Tj untuk bunyi c: Kata tjara (kini ditulis cara)
- Ch untuk bunyi kh: Kata achir (kini ditulis akhir), chatulistiwa (kini ditulis khatulistiwa).
Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia
Mengutip dari an-nur.ac.id, sejak proklamasi kemerdekaan, ejaan bahasa Indonesia terus mengalami perubahan. Dari Ejaan van Ophuijsen (1901) yang rumit dan penuh pengaruh Belanda, beralih ke Ejaan Soewandi (1947) yang lebih sederhana seperti mengganti oe dengan u dan menambahkan diakritik aksen untuk membedakan bunyi vokal e. Setelah itu, berkembang lagi dengan munculnya Ejaan Pembaharuan (1956) yang mulai menghapus penggunaan diakritik aksen dan mengubah kh dengan ny menjadi h dan n saja. Kemudian, sempat ada Ejaan Melindo (1961) yang merupakan upaya penyatuan bahasa Indonesia dan Melayu.
Ejaan kelima yang digunakan untuk menulis bahasa Indonesia yakni Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) (1967). Hingga lahirlah Ejaan yang Disempurnakan (EYD) (1972). Perubahan-perubahan dalam ejaan ini merupakan hasil kesepakatan pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu-Indonesia. Keberadaan ejaan ini juga semakin memperkokoh identitas bangsa Indonesia. Ejaan ini digunakan hingga 2015 dan mulai digunakan kembali pada tahun 2022 setelah sempat diganti dengan PUEBI (2015).
Setiap perubahan tersebut menunjukkan bahwa bahasa Indonesia tidaklah statis, melainkan terus bertumbuh menyesuaikan diri dengan zaman.
Bahasa sebagai Wujud Kemerdekaan
Hakikat dari adanya perubahan ejaan dan bahasa tidak hanya berarti kemudahan dalam menulis, tetapi juga menandakan sebuah kedaulatan. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu menentukan caranya sendiri, dalam hal ini caranya berbahasa. Dengan menyederhanakan dan menyesuaikan ejaan, Indonesia tidak lagi terikat pada pola kolonial. Indonesia mampu menegaskan identitasnya sendiri. Inilah bentuk kemerdekaan yang absolut, bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga merdeka dalam bahasa, pikiran, dan cara menyampaikan gagasan.
Hari ini, ketika kita menulis dengan ejaan yang sederhana, kadang kita lupa bahwa di balik huruf-huruf itu ada sejarah panjang perjuangan. Teks proklamasi menjadi saksi bagaimana bahasa Indonesia tumbuh mencari jati diri bersama bangsa yang merdeka. Setiap huruf yang kita tulis adalah jejak kemerdekaan, tanda bahwa Indonesia berdiri tegak dengan bahasanya sendiri.
Penulis: Sri Fatma Hidayah
Editor: Ghaliah Syahiratunnisa