Kamu pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya budaya patriarki, kan? Sejatinya, patriarki selalu ada di sekitar kita, tanpa kita sadari. Patriarki sebagai sistem sosial yang telah melekat erat di masyarakat senantiasa menempatkan laki-laki di atas perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Sederhananya, sih, seperti itu. Patriarki juga dapat diartikan sebagai keadaan sosial di mana perempuan tidak memperoleh hak yang sama seperti laki-laki.
Di Indonesia sendiri, budaya patriarki masih menjamur, baik di dunia maysa atau di dunia nyata. Patriarki hadir karena didikan lingkungan yang terbiasa membiarkan laki-laki mengeksplori banyak hal tanpa batasan, sedangkan perempuan tidak memiliki kebebasan yang serupa. Ajaran ini secara alami menumbuhkan kesenjangan yang menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan dan perempuan sebagai pihak yang harus tunduk.
Patriarki tentunya tidak hanya ada di Indonesia. Selama masih terdapat ketidaksetaraan gender di suatu lingkungan, di situlah patriarki hadir. Semaju apa pun suatu negara, patriarki masih akan tetap ada. Salah satu contohnya adalah negara tetangga, tetangga jauh lebih tepatnya, yaitu Korea Selatan. Mungkin ketika mendengar kata “Korea Selatan” kamu akan langsung teringat dengan dunia hiburannya yang begitu maju. Namun, pada kenyataannya, budaya patriarki di sana pun masih sangat kental.
Sebagai isu sosial yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, patriarki telah banyak diangkat menjadi karya visual, baik film maupun drama. Indonesia pun telah memiliki beberapa karya yang mengangkat isu patriarki, salah satunya ialah film Kartini karya Hanung Bramantyo. Dengan kemajuan industri hiburannya, Korea Selatan juga memiliki karya serupa, yakni drama yang berjudul When Life Gives You Tangerines.
Baca juga: Zine Lawan dan Diskusi Publik: Mengulas Kegagalan Reformasi Hari Ini
Kartini: Perlawanan Perempuan Jawa dalam Meruntuhkan Tembok Patriarki
Kartini adalah seorang perempuan Jawa yang merupakan anak dari seorang bupati. Hidup di lingkungan dengan aturan-aturan yang terasa merugikan perempuan membuat Kartini merasa tidak betah.
Anak perempuan berdarah ningrat yang harus dipingit sejak menstruasi pertama hingga ada laki-laki bangsawan yang datang melamarnya. Nah, perempuan Jawa yang akan menjadi Raden Ayu harus menikah dengan bupati, tidak peduli jika sang bupati telah memiliki istri. Hal tersebut menunjukkan bahwa poligami pada masa itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Akan tetapi, Kartini tidak berpikir demikian. Ia ingin kelak suaminya hanya mencintai dirinya seorang.
Dalam film ini, Kartini menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap peran perempuan yang dianggap hanya perlu fokus memasak dan mengurus rumah. Baginya, peran perempuan lebih dari itu. Perempuan berhak untuk membaca, berpendidikan, dan mengambil keputusan.
Selama masa pingitan, Kartini mengisi waktu luangnya dengan membaca berbagai jenis buku yang ia dapatkan dari salah satu kakak laki-lakinya. Kartini memang senang membaca dan menulis; ia kemudian mulai menulis artikel yang berhasil diterbitkan dalam jurnal dengan bantuan Nyonya Ovink-Soer.
Sebagai keturunan ningrat, Kartini dapat menempuh pendidikan, berbeda dengan perempuan lain yang tidak memiliki privilese serupa. Perempuan Jawa saat itu hidup hanya untuk menikah. Menyadari hal tersebut, Kartini merasa bahwa hal itu tidaklah benar. Ia meyakini bahwa pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk mengubah pola pikir masyarakat.
Dalam misinya memperjuangkan kesetaraan gender, Kartini terus berusaha agar semua perempuan memperoleh hak yang sama seperti laki-laki, tanpa memandang kasta. Baik dalam pendidikan, berpendapat, maupun dalam rumah tangga. Ia kemudian membuka perkumpulan kecil di rumahnya untuk mengajari perempuan membaca dan menulis.
Hingga saat Kartini akan menikah pun, ia tetap setia pada misinya. Kartini memberikan empat syarat kepada calon suaminya:
- Kartini tidak mau mencuci kaki calon suaminya di pelaminan.
- Kartini tidak ingin dibebani dengan aturan sopan santun yang rumit, ia ingin diperlakukan seperti orang biasa.
- Kartini mengharuskan suaminya untuk membantunya membangun sekolah bagi perempuan dan orang-orang miskin.
- Kartini ingin Yu Ngasirah, ibunya yang berasal dari kalangan biasa dan dijadikan pembantu, bisa tinggal di rumah depan.
Baca juga: Laut Bercerita: Jeritan Sunyi para Aktivis ‘98?
Aesun: Hidup dalam Bayang-Bayang Patriarki
Dalam drama Korea berjudul When Life Gives You Tangerines, pemeran perempuan utama, yaitu Aesun merupakan perempuan Jeju yang telah mengenal patriarki sejak kecil.
Drama ini menyoroti bahwa perempuan dianggap tidak bisa menjadi pemimpin. Saat masih duduk di bangku sekolah, Aesun dan salah seorang teman laki-lakinya terpilih menjadi kandidat ketua kelas. Walaupun mendapat suara terbanyak, Aesun justru berakhir menjadi wakil ketua kelas, sementara kandidat laki-laki yang jumlah suaranya lebih sedikit terpilih menjadi ketua kelas. Perlakuan ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender. Masyarakat menganggap perempuan tidak mampu memimpin suatu komunitas. Mereka berpikir hanya laki-laki yang pantas memimpin dan mendominasi.
Aesun sangat mengagumi puisi dan memiliki impian melanjutkan kuliah di jurusan sastra. Namun, lingkungannya kembali tidak mendukung keinginannya. Saat ia mengungkapkan mimpinya, keluarganya menyarankan Aesun untuk langsung bekerja. Masyarakat Jeju beranggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan berakhir “di dapur”.
Aesun harus semakin mengubur mimpinya ketika ia dikeluarkan dari sekolah setelah berusaha kabur ke Busan. Sementara itu, Gwansik, teman kecilnya yang ikut pergi bersamanya, hanya mendapat skorsing. “Laki-laki dianggap gagah, perempuan dianggap tak tahu malu,” ucap salah satu anggota keluarga Aesun. Hal ini memperlihatkan bahwa ketika laki-laki melakukan tindakan berani, masyarakat menganggapnya keren dan patut dipuji. Namun, ketika perempuan melakukan hal serupa, mereka justru dianggap melanggar norma dan tidak sopan.
Setelah menikah dengan Gwansik, anak laki-laki pertama dari keluarga Yang, Aesun tetap menerima perlakuan tidak adil dari keluarga suaminya. Keluarga Yang sangat memuja anak laki-laki. Saat Aesun masih tinggal bersama mertuanya, mereka tidak makan di meja yang sama. Di rumah itu terdapat dua meja makan, yaitu meja untuk laki-laki dan meja untuk perempuan. Namun, Gwansik melanggar aturan keluarga tersebut dan memutuskan untuk makan bersama Aesun dan anaknya.
Baca juga: Alegori Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Novel “Animal Farm” Karya George Orwell
Kartini dan Aesun: Perempuan yang Hidup Beriringan dengan Patriarki
Meski berasal dari negara dan budaya yang berbeda, Kartini dan Aesun sama-sama hidup dalam bayang-bayang patriarki yang terus menghantui serta membatasi ruang gerak mereka. Dari kisah keduanya, kita dapat melihat bagaimana perempuan hidup terkekang oleh aturan-aturan yang merugikan kaum perempuan.
Kartini dan Aesun sama-sama melawan. Mereka berusaha lepas dari stigma masyarakat yang menganggap laki-laki lebih tinggi dalam segala hal, sedangkan perempuan berada di bawah laki-laki. Akan tetapi, mereka melawan dengan cara yang berbeda.
Kartini melawan melalui tulisan-tulisannya yang membuka cakrawala baru. Melalui pemikiran dan karyanya, Kartini ingin menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak untuk berpikir, berpendapat, berpendidikan, turut andil dalam pengambilan keputusan, serta bermimpi. Berbeda dengan Kartini, Aesun tidak memberikan perlawanan secara terang-terangan. Namun, tindakannya bukan berarti ia ingin budaya patriarki tersebut diwariskan kepada anak-anaknya. Aesun tetap berpegang teguh pada pemikiran bahwa perempuan bisa dan harus berpendidikan. Bersama dukungan dari Gwansik, Aesun ingin anaknya dapat menempuh pendidikan tinggi.
Kartini dan Aesun memang melawan patriarki dengan cara berbeda, tetapi perlawanan keduanya sama-sama berangkat dari keresahan dan ketidakadilan yang mereka alami sebagai perempuan. Keduanya ingin hidup bebas dari budaya patriarki yang selama ini membelenggu kehidupan mereka.
Penulis: Neisya Amalia Putri
Editor: Allysa Maulia Rahman