Psikolinguistik yang merupakan gabungan ilmu psikologi dan linguistik banyak menjadikan anak-anak sebagai fokus kajiannya. Hal itu tidak lain karena masa anak-anak adalah periode kritis dalam perkembangan. Dengan ditingkatkannya kemampuan pemerolehan aspek-aspek tertentu dalam bahasa, dapat diidentifikasi hal-hal apa yang membuat anak berpikir kritis. Pemerolehan bahasa pada anak juga merupakan proses kompleks yang melibatkan pembelajaran bunyi, kata, sintaksis, semantik, serta aturan sosial dalam penggunaan bahasa. Semua aspek tersebut dipelajari dalam beberapa tahun pertama kehidupan.
Mempelajari proses pemerolehan bahasa pada anak dapat membantu memahami kognisi, memori, dan perkembangan sosial. Dikatakan demikian karena pada saat memperoleh bahasa, anak harus memiliki kemampuan kognitif untuk mencerna, memori untuk mengingat aspek-aspek kata atau kalimat yang diajarkan, serta berkaitan pula dengan masukan sosial sekitarnya.
Fenomena yang kini banyak terjadi di Indonesia adalah pemerolehan bahasa pada anak didominasi juga oleh bahasa asing. Hal ini didukung oleh orang tua dan lingkungannya. Bahkan, beberapa orang tua memilih sekolah internasional saat menyekolahkan anaknya pada periode PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Lantas, apakah pembelajaran bilingual cenderung menguntungkan atau malah merugikan anak dalam proses perkembangannya?
Menurut dr. Joko Kurniawan, M.Sc., Sp.A, seorang dokter spesialis anak, kekhawatiran utama dalam pembelajaran dua bahasa pada anak adalah munculnya kebingungan bahasa. Maksudnya, anak menjadi sering menggabungkan dua bahasa pada satu kalimat atau lebih dikenal dengan sebutan code mixing. Padahal, Byers-Heinlein, dkk. berpendapat bahwa code mixing ialah kecerdikan anak dengan kemampuan bilingual untuk mengekspresikan pikirannya.
Selain itu, plastisitas otak pada awal kehidupan memungkinkan otak menerima semua informasi yang diberikan. Pemberian lebih dari satu bahasa di awal perkembangan otak diduga dapat meningkatkan stimulus dan akan berperan baik pada perkembangan selanjutnya dalam otak. Hal tersebut didukung dengan penelitian Blom, dkk. yang membuktikan bahwa anak bilingual memiliki keuntungan dalam tes memori kerja visuospatial dan verbal, khususnya pada tes yang membutuhkan pemrosesan.
Meskipun banyak bukti ilmiah yang menyebutkan keuntungan pembelajaran bilingual pada anak, bukan berarti kita dapat melupakan eksistensi bahasa daerah. Berdasarkan data Ethnologue, Indonesia menggunakan 720 bahasa daerah pada tahun 2023 yang terus mengalami peningkatan. Pengajaran bahasa daerah atau bahasa ibu juga sering dianggap sebagai dasar pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis. Selain itu, bahasa ibu mendukung pembentukan identitas positif dan hubungan keluarga juga komunitas.
Semenguntungkan apapun pembelajaran bahasa asing dalam bentuk bilingual, jangan sampai kita lupa untuk mengajarkan bahasa ibu juga. Tentunya, hal tersebut ditujukan agar anak dapat mewarisi budaya dan emosional dengan keluarga juga komunitasnya.
Penulis: Ekalia
Editor: Dalilah Syifa
Baca Juga: Keberagaman Sastra Populer: Mengangkat Eksistensi dan Karakter Kalangan Remaja