Merindukan Aksara yang Bersuara

Lagu adalah penghantar paling mudah untuk semua kalangan. Sudah tak jarang, musik dijadikan alternatif pengirim pesan musisinya, baik dari melodi maupun liriknya. Salah satu jalan yang ditempuh musisi dalam bermusik adalah menyampaikan kritik sosial secara implisit sehingga kadang pesan tersebut tidak langsung diterima oleh pendengar. Misalnya, kita ambil lagu “Elegi” dari duo folk pop asal Semarang grup musik Figura Renata yang beranggotakan Deviassita Putri (vokal) dan Bima Sinatrya (gitar dan vokal). Bisa kalian dengar dan renungi lirik-lirik dalam lagu tersebut.

Menurut Walzer (2002: 3) kritik sosial merupakan suatu aktifitas sosial yang berusia sama dengan masyarakat itu sendiri. Kritik sosial sebagai sosial sebagai suatu tindakan atau aktifitas sosial adalah kegiatan membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan secara cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat yang dapat dilakukan oleh siapapun. Kritik sosial adalah suatu aktifitas yang berhubungan dengan penilaian (judging), perbandingan (comparing), dan pengungkapan (Revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut.

Media utama dalam musik yang merujuk pada kritik sosial yaitu lirik. Kekuatan kata demi kata dalam lirik lagulah yang menjadi pedangnya. Maka dari itu perlu dilihat lebih jauh secara pemaknaan, yaitu denotatif dan konotatif. Misal, dalam pandangan denotatif pada bait ketiga,

Sunyi…
Sunyi…
Rindukan aksara yang bersuara
Rindukan aksara yang bersuara

Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan ini terbesit dalam pikiran pendengarnya, meskipun hanya sepersekian detik. Aksara? Bagaimana sebuah kode komunikasi bersuara? Bukankah ia harus disuarakan oleh pengguna kode tersebut? Jelas saja sunyi karena aksara tidak bersuara bukan? Lalu bagaimana ia merindukan aksara yang bersuara? Pertanyaan-pertanyaan klise, sebenarnya.

Lalu, jawaban-jawaban dari pertanyaan itu bisa kita dapatkan dari pemaknaan konotatif. Tuti dalam analisisnya mengatakan, “kehidupan nyata semakin sunyi dan sepi, semua hal dilakukan lewat teknologi. Penulis merindukan setiap tulisan yang langsung di utarakan, merindukan suara-suara yang penuh semangat sosial dan tak hanya mati dalam sebuah tulisan”.

Di sana jelas adanya pihak-pihak yang merasa disayangkan kehadirannya akibat teknologi. Jika meninjau secara keseluruhan, lagu ini pun menunjukkan adanya pengaruh besar dari teknologi terhadap kehidupan sosial pada akhir-akhir ini, bahkan sejak lama. Namun tidak begitu terasa, sampai akhirnya dunia sepi dan sunyi. Sebuah pukulan besar bagi mereka yang merasakannya, tersadari. Hidup bukan hanya tentang dunia maya saja, tapi ada dunia nyata yang telah sejak lahir membersamai mereka. Tantangan di lingkungan sekitar lebih nyata dari apa yang beredar di media sosial. Miris melihatnya ketika penggunan media sosial saling memberikan simpati, tetapi pada kenyataannya di kehidupan nyata, tak ada suara, sepi simpati, tak ada empati.

Jadi teringat hari ini, himbauan di rumah saja bukan berarti kita memenjarakan diri tanpa berbagi kabar mulut dengan tetangga, setidaknya lakukan sapaan ringan dan tunjukkan kepedulian dengan menanyakan keadaannya. Hari-hari ini juga para penulis mencoba bersuara, tidak dengan audio atau suara langsung. Tapi dengan kata-kata, yang memberi pengaruh tidak terbayangkan bagi pembacanya. Mereka pula adalah relawan dokumentasi masa. Sebuah tindakan yang lebih konkrit dilakukan.

Makalah oleh: Tuti Suryati “MENGGALI MAKNA KRITIK SOSIAL DALAM DIKSI LAGU ELEGI DARI GRUP MUSIK FIGURA RENATA”

Artikel oleh: Iin Haryani Subadri

Baca juga: Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa: Jejak Penghayatan dalam Sajak

Penulis: Tuti Suryati dan Iin Haryani Subadri