Bandung, 1 September 2025 – Satu bulan berlalu sejak saya dan kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta Bahasa dan Sastra Indonesia (Hima Satrasia FPBS UPI) menjadi saksi betapa sederhananya kehidupan masyarakat di wilayah Desa Pangauban, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung.
Diskusi dengan Budaya Berbahasa di Pangauban
Selama empat hari lima malam (4–8 Agustus 2025) kami melaksanakan kegiatan berupa pengabdian disana. Delapan rangkaian utama pekan pengabdian ini adalah pengajaran, studi kemasyarakatan, seminar pendidikan, pesta buku, DiDaDi (Diskusi muDa muDi), pertunjukan seni, permainan tradisional, serta pengajian. Di balik semua kegiatan tersusun itu, kami banyak belajar untuk lebih dekat dengan kehidupan. Dengan ditemani matahari pagi yang elok, udara yang sejuk, air yang jernih, dan kesederhanaan.
Berbincang dengan beberapa warga di hari pertama kami tiba di desa Pangauban membuat kedekatan kami dan warga desa Pangauban menjadi lebih hangat lagi. Di balik kegiatan yang padat dan percakapan-percakapan akrab tersebut, kami menemukan satu hal menarik: bahasa Sunda tetap menjadi bahasa utama masyarakat Desa Pangauban.
“Menurut saya penggunaannya sangat baik karena mereka di sana melestarikan bahasa daerah yang semakin ke sini banyak orang yang melupakannya. Selain itu, bahasa Sunda di desa Pangauban masih umum dan bisa dipahami, bahkan oleh saya yang tidak terlalu menguasai Sunda ‘lemes’,” ungkap Jehan Al-Kautsar, Ketua Pelaksana P2M.
Baca Juga: Jika Membaca Bukan Prioritas: Realitas Minat Baca di Desa Pangauban
Fenomena itu tidak hanya terlihat pada orang tua, tetapi juga anak-anak. Mereka terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Sunda baik di rumah maupun di lingkungan sekolah.
“Sebetulnya mereka bisa juga ngomong pakai bahasa Indonesia, tapi ya karena bahasa ibunya bahasa Sunda, dan lingkungan sekitarnya rata-rata orang yang sudah sepuh pakai bahasa Sunda, jadi anak kecil juga nuturkeun,” (nuturkeun artinya mengikuti) ujar salah seorang warga Desa Pangauban yang saya temui di depan SDN Cikitu 02.
Meski demikian, Jehan menilai penggunaan bahasa Indonesia tetap perlu dikuatkan, terutama di ruang formal seperti sekolah. “Sejatinya akan selalu positif jika anak-anak bisa berbahasa Sunda. Namun, sekolah adalah ruang formal, seharusnya bahasa Indonesia dibiasakan agar ilmu pengetahuan bisa dikembangkan. Jadi, guru dan masyarakat harus punya andil dalam membiasakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” tambahnya.
Baca Juga: Bahasa yang Hampir Punah, Akankah Berakhir Musnah?
Tantangan Literasi Bahasa Nasional
Dalam salah satu sesi DiDaDi, mahasiswa bahkan menemukan fakta bahwa masih ada warga dewasa yang tidak mahir berbahasa Indonesia. Menanggapi hal tersebut, Jehan menyebut perlunya langkah konkret dari pemerintah desa setempat.
“Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu yang punya banyak manfaat. Harus ada pembiasaan komunikasi yang mengarahkan masyarakat agar tidak tertinggal dalam interaksi dengan pihak luar,” jelasnya.
Berdasarkan data kependudukan, Desa Pangauban dihuni oleh 13.854 jiwa yang tersebar di 3.951 kepala keluarga. Mayoritas penduduk masih menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian, meski bahasa Indonesia juga digunakan berdampingan. Kondisi ini mencerminkan bagaimana bahasa daerah tetap menjadi identitas kuat masyarakat pedesaan.
Bahasa: Harapan untuk Masa Depan Pangauban
Ke depannya, Jehan berharap masyarakat Desa Pangauban tidak hanya mempertahankan bahasa daerah, tetapi juga mampu menguasai bahasa Indonesia sebagai penopang kehidupan.
“Saya harap warga bisa memahami esensi bahasa Indonesia dan menggunakannya untuk mendukung aspek finansial maupun sosial. Pemerintah desa perlu hadir memberi pemahaman agar bahasa Indonesia benar-benar bisa menopang kehidupan masyarakat. Apalagi Pangauban punya potensi besar dengan kekayaan alam dan manusianya,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan oleh salah seorang tokoh pemuda masyarakat, Kak Pa’i, yang menekankan pentingnya keseimbangan. Menurutnya, budaya berbahasa Sunda harus tetap dijaga, tetapi kemampuan berbahasa Indonesia juga perlu lebih diprioritaskan agar generasi muda siap menghadapi perkembangan zaman.
P2M Hima Satrasia hadir di desa Pangauban bukan hanya menjadi ajang pengabdian, tetapi juga sebagai ruang refleksi tentang pentingnya merawat bahasa daerah sembari memperkuat penguasaan bahasa nasional.
Penulis: Masropah Humaya Saefi
Editor: Auliya Nur Affifah
Baca Juga: Mengapa Kita Lebih Sering Curhat Menggunakan Bahasa Inggris?