Di ruang digital, satu cuplikan peristiwa bisa berfungsi layaknya teks yang terbuka untuk berbagai pembacaan. Video pembagian bantuan dari helikopter oleh Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, beredar luas di media sosial setelah diunggah oleh sejumlah akun, salah satunya akun TikTok @ceritasumut. Video tersebut memperlihatkan bantuan dijatuhkan ke wilayah terdampak banjir yang sulit dijangkau jalur darat. Rekaman singkat itu menyebar cepat, diiringi respons publik yang beragam. Bagi sebagian orang, aksi tersebut dibaca sebagai simbol respons cepat di tengah kondisi darurat. Namun bagi yang lain, aksi tersebut memunculkan rasa tidak nyaman, seolah menegaskan jarak antara penguasa dan warga yang sedang membutuhkan pertolongan.
Perbedaan tafsir ini menunjukkan bahwa di era media sosial, sebuah tindakan publik tidak pernah berdiri sendiri. Ia direkam, dipotong, disebarkan, lalu dimaknai bersama. Pada titik inilah, semiotika menjadi alat bantu untuk memahami bagaimana sebuah aksi publik dapat dibaca sebagai tanda yang sarat makna.
Ketika Tindakan Menjadi Tanda
Dalam kajian semiotika, sebuah peristiwa tidak hanya dipahami sebagai kejadian, melainkan sebagai tanda yang dapat dibaca dan dimaknai oleh masyarakat. Tanda tersebut dapat hadir melalui tindakan, gestur, visual, maupun cara sebuah peristiwa direpresentasikan di media.
Roland Barthes, dalam bukunya Mythologies (1957), menjelaskan bahwa tanda bekerja dalam dua lapis makna. Pada tingkat denotasi, tanda dipahami secara literal atau apa adanya. Namun pada tingkat konotasi, tanda dapat membentuk makna lanjutan yang dipengaruhi oleh nilai budaya, ideologi, dan relasi kuasa yang menyertainya.
Dalam konteks ini, makna sebuah aksi publik yang masuk ke ruang digital tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pelaku. Makna tersebut ikut dibentuk oleh medium, sudut pandang visual, serta pengalaman dan pengetahuan audiens yang menontonnya. Karena itu, satu tindakan yang sama dapat memunculkan tafsir yang berbeda di ruang publik.
Baca juga : Keambiguitasan Pesan Teks dalam Teori Semiotik Roland Barthes
Aksi Cepat di Tengah Bencana
Secara kasat mata, aksi Bobby Nasution dapat dibaca sebagai upaya distribusi bantuan darurat ke wilayah yang sulit dijangkau akibat banjir. Dalam perspektif semiotika, fungsi praktis bukan satu-satunya lapisan makna yang hadir.
Dosen semiotika Universitas Pendidikan Indonesia, Kholid Abdullah Harras, menjelaskan bahwa tindakan publik seperti ini dapat dipahami sebagai sistem tanda.
“Dalam perspektif semiotika, sebuah aksi publik berperan sebagai representamen atau bentuk fisik tanda, yang kemudian dimaknai masyarakat sesuai konteks sosial dan visual yang menyertainya,” jelasnya.
Gestur menjatuhkan bantuan dari udara, posisi pelaku yang berada di atas, serta visual bantuan yang jatuh ke tanah membentuk rangkaian tanda yang tidak netral. Tanda-tanda ini berhubungan langsung dengan situasi bencana, sekaligus memicu respons emosional publik.
Dari Denotasi ke Konotasi
Pada tingkat denotasi, aksi tersebut adalah distribusi logistik dari helikopter ke wilayah terdampak banjir. Namun ketika dibaca pada level konotasi, makna lain mulai muncul. Helikopter tidak lagi sekadar alat transportasi, melainkan simbol kekuasaan, jarak, dan akses yang tidak dimiliki semua orang.
Kholid menjelaskan bahwa tindakan pemberian dari posisi yang lebih tinggi dapat menghadirkan makna simbolik tertentu.
“Secara simbolik, posisi ‘di atas’ sering dibaca sebagai relasi kuasa. Masyarakat tidak hanya melihat apa yang dilakukan, tetapi bagaimana dan dari mana tindakan itu dilakukan,” ujarnya.
Sudut pengambilan gambar yang menyorot bantuan jatuh dan sebagian rusak memperkuat tafsir tersebut. Dalam konteks ini, niat baik dapat terbaca berbeda ketika visual yang beredar justru menampilkan kesenjangan simbolik antara pemberi dan penerima.
Makna yang Bergeser di Ruang Digital
Makna sebuah tindakan menjadi semakin kompleks ketika ia masuk ke media sosial. Video yang awalnya utuh dipotong menjadi klip singkat, disebarkan tanpa konteks lengkap, lalu ditafsirkan oleh ribuan pengguna dengan latar belakang yang beragam.
“Ketika sebuah aksi direkam dan diviralkan, medium itu sendiri sudah mengubah maknanya,” ujar Kholid.
Framing visual, durasi video, pilihan sudut kamera, hingga komentar warganet berfungsi sebagai lapisan tanda baru. Di ruang digital, publik tidak lagi menjadi penonton pasif, melainkan ikut memproduksi makna melalui komentar, narasi, dan bahkan meme. Akibatnya, aksi kemanusiaan dapat bergeser menjadi simbol pencitraan atau kritik terhadap relasi kuasa negara dan warga.
Baca juga : Resensi Buku Semiotik dan Kajian Wacana Interaktif di Internet
Budaya Viral dan Tafsir Kolektif
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin aktif membaca tanda-tanda di ruang digital. Budaya viral memungkinkan satu tindakan melahirkan banyak makna sekaligus, seperti apresiasi, empati, kemarahan, hingga sindiran.
Kholid menilai fenomena tersebut sebagai pengingat pentingnya literasi makna di era digital.
“Kita hidup di ruang yang penuh tanda. Tanpa kesadaran semiotik, masyarakat mudah terjebak pada tafsir yang reaktif, sementara aktor publik sering luput memahami dampak simbolik dari tindakannya,” ujarnya.
Pada titik ini, semiotika tidak hanya menjadi alat analisis akademik, tetapi juga cara memahami dinamika komunikasi publik yang terus bergerak.
Dari Bantuan ke Perdebatan
Polemik bantuan dari helikopter pada akhirnya bukan semata soal benar atau salah, melainkan soal bagaimana makna terbentuk dan disebarkan. Di era digital, tindakan publik selalu berpotensi menjadi simbol, dan simbol tidak pernah sepenuhnya dapat dikendalikan oleh niat awalnya.
Kasus ini mengingatkan bahwa di tengah krisis, kehadiran negara tidak hanya diukur dari kecepatan bertindak, tetapi juga dari kepekaan membaca tanda. Sebab di ruang digital, satu gestur kecil dapat berbicara lebih keras daripada seribu penjelasan, dan makna yang lahir darinya akan terus hidup dalam ingatan kolektif publik.
Penulis : Kheiza Aulia Putri Andini
Editor : Aulia Fathiha Sitiazzahra




