Adanya fasilitas fisik di Universitas Pendidikan Indonesia yang mengusung kampus inklusif belum sepenuhnya aksesibel bagi penyandang mahasiswa difabel netra. Fasilitas yang tidak aksesibel mengakibatkan aktivitas maupun mobilitas bagi penyandang tunanetra terhambat. Sejalan dengan penelitian Meri Komalasari dalam tesisnya yang berjudul “Aksesibilitas Fisik Bagi Tunanetra di Universitas Pendidikan Indonesia” tahun 2020, menjelaskan bahwa secara umum aksesibilitas di UPI belum aksesibel. Hal ini dikarenakan aspek inklusi yang belum tercapai, seperti jalur pemandu, pintu, braille, lift, dan marka jalan.
Kampus ramah disabilitas, itulah julukan yang diberikan Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia, kepada Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2022 dilansir dari laman upi.edu. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya Pusat Difusi Inklusi atau Pusdifsi di UPI untuk memfasilitasi kebutuhan mahasiswa difabel pada 31 Oktober 2023 dengan tujuan untuk mencapai inklusivitas.
Peran Pusdifsi dalam Menciptakan Kampus Inklusif
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor UPI Nomor 2290/UN40/HK/2023 dan Nomor 2291/UN40/HK/2023, Pusdifsi memiliki peran sebagai lembaga dalam memajukan transformasi inklusivitas. Yuyus Suherman sebagai Ketua Pusat Difusi Inklusi (Pusdifsi) UPI menjelaskan kehadiran Pusdifsi sebagai Unit Layanan Disabilitas yang berkiprah untuk mencari solusi bersama demi mewujudkan kampus inklusif dan ramah disabilitas. Pada implementasinya, Pusdifsi menerapkan 3 prinsip inklusif, yakni respect (penghormatan), responsibility (tanggung jawab), dan relationship (hubungan).

“Kita berusaha. UPI sudah mulai respect. Respect itu sifat dasar, membantu memudahkan, dan juga bagaimana prinsip-prinsip inklusif diperkenalkan sebagai ilmu,” tuturnya.
Tercatat dalam rekapitulasi sebaran mahasiswa penyandang disabilitas tahun ajaran 2024/2025. Sebanyak 28 mahasiswa difabel tersebar ke berbagai program studi (Prodi) di setiap fakultas. Prodi Pendidikan Khusus (PKh) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) sebanyak 13 mahasiswa, Pendidikan Seni Rupa sebanyak 4 mahasiswa, Pendidikan Tata Boga hanya 1 mahasiswa, Pendidikan Seni Musik sebanyak 6 mahasiswa, dan Pendidikan Sejarah sebanyak 4 Mahasiswa.
Baca Juga: Mengunjungi Dago May Day

Namun, apakah mereka mendapatkan akses yang layak ketika ingin berkuliah?
Fasilitas Pendidikan Dirasa Belum Aksesibel untuk Mahasiswa Difabel
Sampai saat ini, tahun 2025, kampus UPI belum sepenuhnya menerapkan Inklusivitas dalam perkuliahan sehari-hari. Hal ini dirasakan oleh Ira, mahasiswa difabel netra Prodi Pendidikan Seni Musik Fakultas Pendidikan Seni dan Desain (FPSD). Ketika hari-hari kuliah, Ira masih belum bisa sepenuhnya mandiri dan butuh bantuan pendamping untuk menuju ruang kelas. Hal ini tentu sangat menyulitkan Ira dalam mengakses pendidikan di kampus UPI.
“Ketika kuliah, aku masih membutuhkan bantuan dari orang lawas. Guiding block juga hanya ada pada lantai 1 dan tidak ada huruf braille di ruangan sehingga saya belum bisa mandiri,” cerita Ira.

Ia juga menambahkan tentang lift mahasiswa yang tidak memiliki akses braille untuk tunanetra, sedangkan akses seperti ini hanya ada pada lift dosen.
”Yang saya tahu, lift braille hanya untuk dosen, sedangkan mahasiswa tidak ada dan mudah-mudahan bisa dibuat,” tambahnya.
Sejalan dengan yang diterangkan, nyatanya mahasiswa difabel belum bisa merasakan kesetaraan dalam akses pendidikan. Tentu bukan Ira saja yang mengalaminya, tetapi rekannya juga, Nicholas, mahasiswa difabel netra Prodi Pendidikan Musik FPSD merasakan hal yang sama.
“Mau nambahin juga, saya justru malah sering ke lift dosen karena ada huruf timbul yang dapat memudahkan saya, meskipun gak boleh, ya, tapi mau gimana lagi,” jelasnya.
Baca Juga: Debut single pertama “RE-PEACE” dengan judul “Tak Ada Yang Mengerti”
Selain Fasilitas Pendidikan, Fasilitas Ibadah Belum Aksesibel
Dalam menjalani perkuliahan, tentunya ibadah selalu berdampingan ketika jam istirahat. Biasanya, mahasiswa di UPI telah disediakan tempat ibadah berupa musala di setiap fakultasnya. UPI pun memiliki Masjid Al-Furqan yang menjadi satu-satunya tempat peribadatan terbesar mahasiswa Muslim. Masjid Al-Furqan merupakan pusat utama peribadatan Umat Islam di UPI. Sebagai tempat ibadah, kesetaraan bagi semua kaum harus dijunjung.

Nicholas, sempat menceritakan pengalamannya ketika ingin beribadah di kampus UPI. Ketika jam istirahat adzan zuhur, ia keluar dari FPSD dan ingin pergi menuju Al-Furqon.
“Dari segi aksesibilitas ibadah kurang, kadang masih minta bantuan teman antar ke masjid. Mau gak mau, aku harus pakai instingku sendiri. Guiding block yang ke arah Al-Furqon enggak nyambung. Bahkan, dihitung dari FPSD sampai sana itu gada guiding block sama sekali, makanya aku pas naik trotoar agak ngeri juga,“ ucapnya.
Ira merasakan empati terhadap Nicholas dan mahasiswa tunanetra lainnya meskipun Ira memiliki kepercayaan yang berbeda.
“Meskipun hanya untuk tahu tempat ibadah seperti Masjid Al-Furqan, untuk jalan akses ke sana memang masih banyak sekali gejlukan (polisi tidur) yang mungkin saya belum bisa melewatinya sendiri,” terangnya.
Ira juga merasa, sebagai mahasiswa Katolik, belum pernah beribadah di kampus UPI. Ia selalu beribadah di luar kampus. Hal ini karena UPI masih belum menyediakan akses ibadah untuk mahasiswa dengan keyakinan agama yang berbeda.
Ketua Umum Hima Musik, Muhammad Ridwan Satrio menanggapi pernyataan Ira dan merasa empati terhadap mahasiswa dengan kepercayaan lain. Baginya, jangan memandang mayoritas dan minoritas karena semuanya setara sebagai mahasiswa.
“Kita gak bisa menutup mata bahwa yang masuk UPI bukan hanya Muslim, tetapi agama lain juga. Setidaknya dibangun sebuah peribadatan umum atau ruangan khusus untuk mahasiswa lain agar mendapatkan akses ibadah yang sama,” jelasnya.
Ridwan juga menanggapi tentang tempat ibadah di Masjid Al-Furqan yang dinilai masih kurang aksesnya untuk disabilitas. Menurutnya, diperlukannya staf khusus atau pendamping untuk mahasiswa difabel yang kesulitan dalam beribadah di sana.
“Dengan fasilitas yang ada masih belum pas, perlu ada petugas khusus yang emang ada untuk menemani karena kalau misal Nicholas ingin beribadah, teman-temannya tidak selalu ada, harus ada yang menemani,” sarannya.
FIP sebagai Fakultas yang Ramah Disabilitas
Selain Masjid Al-Furqan yang merupakan tempat peribadatan mahasiswa Muslim terbesar di UPI, ada pula musala-musala di setiap fakultas. Musala di FIP adalah salah satu musala yang tergolong cukup dalam tingkat keaksesibelannya, dilihat dari adanya guiding block yang dapat memandu sampai depan musala. Sebagian besar, musala di fakultas lain atau bahkan Masjid Al-Furqan sekali pun tidak ada guiding block pasti karena guiding block-nya terputus beberapa meter dari musala atau masjidnya.

Menanggapi hal tersebut, Rois dan Adi, mahasiswa difabel netra dari Prodi PKh di FIP mengaminkan.
“Sekarang aksesibel aja sih karena kita juga ABK tunanetra yang notabene hanya memerlukan bantuan pendampingan, tetapi kalau untuk sisi sarana dan prasarana kita enggak terlalu bergantung pada fasilitas yang disesuaikan,” ucap Rois.
“Untuk fasilitas ibadah di FIP sendiri menurut aku sudah cukup memadai karena tempat ibadahnya sudah bisa kita akses gitu walaupun sendirian, apalagi kalau dibantu teman, ya, pasti lebih mudah,” tutur Adi melanjutkan.
Sejalan dengan Rois dan Adi, Sela yang juga mahasiswa tunanetra di Prodi PKh menyimpulkan bahwa musala di FIP sudah cukup aksesibel, baik dari segi akses jalannya maupun tempat ibadahnya.

“Kalau untuk akses salat aja sih cukup, tetapi kalau misal untuk baca Al-Quran di musala itu belum bisa karena memang belum ada musala yang menyediakan Al-Quran braille,” terangnya.
Baca Juga: Asa Mahasiswa Difabel Gapai Kesetaraan di Kampus Bumi Siliwangi
Rois dan Adi juga menambahkan bahwa mereka jarang berkegiatan di Masjid Al-Furqan sehingga mereka kurang tahu dan tidak terlalu menggantungkan aksesibilitas mereka pada keramahan fasilitas internal Masjid Al-Furqan. Hal ini berkaca pada akses eksternal Al-Furqan yang belum terpenuhi, apalagi aspek internalnya.

“Ketika mau beribadah di Al-Furqan memang sangat butuh bantuan teman atau orang lain karena untuk mengaksesnya sendirian aku perlu latihan dan itu tidak cukup sekali dua kali. Kalau memang dilihat dari segi fasilitasnya, Al-Furqan itu belum ada fasilitas yang dapat menunjang kita, contohnya guiding block,” ucap Adi.
“Awal-awal saya mengalami disorientasi karena keterbatasan penglihatan dan saya juga bingung untuk memberikan rekomendasi terkait fasilitas dan pengimplementasian yang tepat untuk kawan ABK itu bagaimana. Jadi, jalan satu-satunya, ya, meminta bantuan teman gitu,” Rois menambahkan.
Berkaca pada label inklusivitas UPI yang ramah akan disabilitas, tetapi nyatanya, Sela merasakan masih kurangnya inklusivitas di UPI, terkhusus untuk ranah peribadatan.
“Mungkin kalau untuk di FIP, menurut aku sudah cukup untuk kawan tunanetra, tetapi mungkin jika untuk diakses kawan-kawan yang pakai kursi roda belum cukup karena masih banyak tangga-tangga di FIP,” ucapnya.
Rois juga menanggapi perihal label inklusivitas UPI yang ramah akan disabilitas. Namun, kembali lagi Rois berpikir bahwa ia tidak bisa menyamaratakan aksesibilitas, terutama dalam akses beribadah.
“Inklusivitas itu berarti kita siap sebagai disabilitas untuk memasuki lingkungan yang lebih besar dan beradaptasi dengan lingkungan itu. Jadi, kalau misalkan kita malah meminta untuk ditambahkan fasilitas tertentu, justru kita malah menekankan pada pendekatan eksklusif,” terang Rois.
“Tetapi, ini kembali lagi kepada orangnya masing-masing, bukan berarti semua teman-teman tunanetra merasakan dan sepakat dengan apa yang kami ucapkan,” pungkas Adi meluruskan.
Mahasiswa PKh yang lainnya, yakni Nida Eks, Ketua GREAT UPI 2023 yang memiliki ranah di inklusivitas merasa simpati terhadap teman-temannya yang belum bisa mengakses sepenuhnya tempat ibadah di Masjid Al-Furqon, seperti adanya program wajib TUTORIAL UPI yang merupakan pembekalan dasar terhadap mahasiswa Muslim terkait pelajaran keagamaan. Namun, beberapa mahasiswa difabel belum bisa mengikuti kegiatan tersebut karena tempatnya tidak terakses.
“Sangat disayangkan, kebutuhan tutorial diwajibkan di kampus, sedangkan teman-teman lainnya belum bisa mengikuti karena tempatnya yang tidak aksesibel bagi mereka,” ucapnya.
Gilang, selaku Ketua Umum HIMA PKh merasakan simpati dan empati terkait label inklusivitas UPI yang menurutnya masih sangat jauh dari label itu sendiri.
“Tentunya saya kecewa dan saya sadar untuk menuju ke musala FIP ataupun Al-Furqan itu tidak aksesibel karena guiding block untuk tunanetra itu belum merata,” jawabnya.
Gilang sebagai Ketua HIMA PKh berharap dan menyarankan kepada pihak-pihak kampus agar bisa mewujudkan cita-cita inklusivitas yang digaungkan.
“Pertama, bentuklah dulu sebuah ULD. Nah, dari sana kita baru bisa melakukan banyak hal, seperti pengakomodasian JBI saat kuliah, penyediaan guiding block serta braille di setiap pintu,” jelasnya.
Dalam konteks pengaksesannya, setiap individu pasti merasakan hal yang berbeda. Namun, dalam ranah UPI yang sudah melabeli dirinya sebagai kampus inklusivitas seharusnya bisa untuk menyamaratakan semua pandangan terkait kemudahan akses. Lantas, perbedaan tingkat kenyamanan tempat ibadah seperti Masjid Al-Furqan dan musala fakultas yang belum sama rata. Perbedaan perasaan dalam pengaksesan fasilitas yang ada di UPI, terkhusus untuk beribadah. Hal-hal tersebut adalah tanda-tanda bahwa penyematan label inklusivitas tersebut belum sepenuhnya berhasil dilakukan.
Tanggapan Ketua DKM Al-Furqon

Ketua DKM Al-Furqan, Edi Suresman menanggapi bahwa kampus UPI sudah menerapkan inklusivitas. Hanya saja belum merata secara menyeluruh.
“Memang ramah hanya sesuai dengan kemampuan, di FIP sudah ada lift segala macam, di Al-Furqon aja yang belum. Mudah-mudahan rektor yang baru punya antisipasi respon yang bagus untuk kemajuan Al-Furqon,” tanggapannya.
Melihat realita yang ada, ia mengklaim sendiri bahwa Masjid Al-Furqan memang belum ramah disabilitas. Ia menjelaskan alasan masjid terbesar di UPI tersebut belum ramah disabilitas karena kurangnya dukungan dari pihak kampus dan kurangnya dana untuk membuat pembaruan.
“Memang belum ada sih yang khusus untuk mereka karena ‘kan ini masjid negara, tidak dibiayai seutuhnya, banyaknya dari masyarakat. Rektor sebelumnya tidak memberikan bantuan, akhirnya kita apa adanya saja,” klaimnya.
Edi menjelaskan bahwa Masjid Al-Furqan sudah mempunyai rencana untuk membuat lift demi kebutuhan lansia dan disabilitas. Namun, pergantian rektor menjadikan faktor hambatan program tersebut tidak terealisasi.
“Sebelumnya sudah direncanakan, tapi keburu lengser rektornya. Dia janji kalo kepilih lagi lift akan dibangun,” jelasnya.
Ia juga belum bisa seutuhnya untuk merencanakan penambahan fasilitas di Masjid Al-Furqon karena dana yang hanya bergantung pada sumbangan.
“Dari mana duitnya? Kita tidak punya usaha, pemasukannya hanya dari kencleng Jumat dan aplikasi barcode,” tambahnya.
Edi mengharapkan praktik dari Unit Pengumpul Zakat (UPZ) bisa segera dipraktikkan melalui tanda tangan rektor supaya ada dana yang masuk sehingga perbaikan atau penambahan fasilitas Masjid Al-Furqon bisa dihadirkan. Di sisi lain, wewenang tersebut harus mendapat izin dari arsitek awal.
“Jadi, saya berharap melalui UPZ, praktiknya bisa disegerakan melalui dukungan rektor dan mudah-mudahan rektor yang baru mau menandatangani. Pokoknya, kalau mau ubah wewenang segala macem harus izin dulu ke arsitek awal, tidak boleh sembarangan,” jelasnya.
Pada realitanya, satu-satunya tempat ibadah terbesar di kampus UPI belum menerapkan inklusivitas. Hal ini disebabkan faktor kebijakan pimpinan dan pemasukkan dana yang dinilai masih belum cukup untuk mengadakan penambahan fasilitas. Tentunya, Ketua DKM Al-Furqon mengharapkan terealisasikannya rencana pembangunan fasilitas yang bisa memudahkan lansia dan disabilitas untuk dapat mengakses ibadah.
Aksesibilitas Fisik Tempat Ibadah dan Tantangan Inklusivitas
Jika kondisi keterbatasan akses terus diabaikan, akan terjadi kesenjangan minat dan keterlibatan individu difabel dalam menjalankan aktivitas keagamaan maupun keikutsertaan dalam lingkungan peribadatan. Hal ini bukan hanya terjadi di Masjid Al-Furqan UPI, tetapi juga tercermin dalam hasil penelitian tentang gereja dan komunitas keagamaan lainnya.
Penelitian “Problematika Relawan: Pendampingan Spiritualitas dan Religiusitas Kristen Anak Difabel Kristen” yang ditulis oleh Chrisnatalia, dkk. (2022), menemukan bahwa sebetulnya gereja telah menyadari pentingnya inklusivitas, tetapi dominan merasa kesulitan menerapkannya secara fisik. Disebutkan juga bahwa akses fisik yang tidak memadai, seperti guiding block yang putus, jalan yang bertangga, dan minimnya fasilitas pendukung lainnya, menjadi penghalang utama bagi difabel dalam mengakses kegiatan religius secara mandiri. Selain itu, dalam beberapa kasus, pendamping atau keluarga harus mengangkat langsung difabel ke dalam tempat ibadah agar mereka dapat beribadah bersama jemaat lain.
Meski sebenarnya gereja tidak membedakan jemaat difabel dan non-difabel dalam aspek keterbukaan, tetapi tidak dapat dipungkiri, belum banyak terlihat bentuk keterlibatan aktif difabel dalam pelayanan maupun kegiatan keagamaan. Hal ini disebabkan karena belum adanya pendekatan personal dan keterlibatan dalam peran sosial-keagamaan sehingga memperlihatkan inklusivitas yang belum benar-benar terwujud secara utuh. Kondisi ini menjadi cermin penting bagi UPI sebagai institusi pendidikan yang melabeli dirinya sebagai kampus inklusif.
You With Us, komunitas yang berkecimpung pada pendidikan seputar disabilitas di Kota Bandung, sangat prihatin melihat situasi mahasiswa difabel UPI yang masih kesulitan dalam mengakses ibadah di Al-Furqon. Meskipun di UPI sudah ada tempat yang bisa diakses untuk seluruh mahasiswa, tempat tersebut belum sepenuhnya dapat dirasakan, khususnya oleh mahasiswa difabel.

“Saya merasa miris mendengar teman-teman masih kesulitan untuk melaksanakan ibadah. Seharusnya akses untuk mandiri itu terpenuhi oleh kampus sendiri,” ucap Nadia, Founder You With Us.
Dasar pemenuhan akses disabilitas di UPI nyatanya masih belum merata. Nadia menyarankan setidaknya dasar-dasar tersebut dapat terpenuhi, seperti dengan adanya guiding block. Hal ini sangat penting untuk kemudahan akses tunanetra dalam melaksanakan kegiatan di kampus.
UPI Berusaha untuk Mencapai Inklusivitas
Ketika sudah dilabeli sebagai kampus inklusivitas, mestinya UPI dapat menerapkan kesetaraan fasilitas secara menyeluruh, salah satunya tempat ibadah. Namun, dalam implementasinya, kampus belum sepenuhnya mewujudkan cita-cita inklusivitas. Bisa dilihat pada sudut pandang mahasiswa difabel ketika ingin mengakses pendidikan yang masih kesulitan. Begitupun dengan akses beribadah. Masjid terbesar di UPI belum menerapkan inklusivitas sama sekali, padahal ibadah seharusnya dapat dirasakan semua orang dan mestinya tempat ibadah menerapkan kesetaraan untuk siapapun yang ingin beribadah.
Meskipun begitu, UPI berusaha mencapai inklusivitas. Hal ini dibuktikan dengan adanya FIP yang merupakan fakultas yang sangat aksesibel bagi mahasiswa difabel. Selain itu, guiding block mulai diterapkan pada beberapa trotoar supaya memudahkan akses disabilitas. Kesetaraan kampus akan tercipta ketika semua elemen masyarakat kampus merasakan akses yang layak dalam melaksanakan kegiatan di kampus UPI dengan nyaman dan mandiri.
Baca Juga: Mengapa Anies Mengajar Kuliah Umum Bahasa dan Sastra di FPBS UPI?
***
Liputan ini merupakan luaran dari program Pelatihan Jurnalisme Inklusif Bagi Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda dengan kolaborasi Literat bersama BandungBergerak.
***
Penulis: Saddam Nurhatami dan Nabilah Novel Thalib
Editor: Laksita Gati Widadi