Waduh, mpus (sebutan sayang saya buat Kampus Universitas Pendidikan Indonesia), kayaknya kamu sudah keterlaluan. Masa iya, di situasi panik begini, kamu tega nge-prank mahasiswa.
Dua hari ke belakang merupakan hari yang cukup absurd bagi kita semua, khususnya saya. Bagaimana tidak? Kemarin, kita semua digegerkan dengan kemunculan hasil keputusan mengenai wawancara penangguhan dan bantuan biaya pendidikan di akun SIAK masing-masing. Kenapa geger? Sebab, banyak ketidakesuaian di dalamnya. Misalnya: ketika wawancara, katanya, dapat bantuan, eh sekarang malah dapat penangguhan; ada juga yang kemarin dijanjikan bantuan 75%, tetapi malah dapat 25%; terus ada pula yang awalnya tidak dijanjikan apa-apa justru nominal UKT-nya terpotong 50% (sumpah, yang dapat ini enak banget); terakhir, ada yang sudah mengikuti mekanisme wawancara, tetapi malah tidak ada perubahan di akun SIAK-nya.
Kejadian absurd tidak hanya berhenti di sana. Malam harinya, setelah isu tersebut meluas, tiba-tiba saja kolom tagihan di akun siak menghilang. Tentu ini menjadi pertanyaan besar. Banyak yang menganggap ini adalah sebuah anugerah bahwa ternyata perjuangan kita berujung pada UKT gratis bagi seluruh mahasiswa (setdah, perjuangan yang mana? Jangan merasa berjuang kalau nyatanya kita masih mengeluh dan tidak melakukan apa-apa). Ada juga yang menganggap bahwa hal tersebut merupakan konspirasi elit global yang berencana menyebarluaskan paham illuminati ke seluruh UPI (sumpah, ini enggak nyambung banget sih!).
Di Twitter, akun @UPIfess dipenuhi banyak pertanyaan. Orang-orang di media sosial tersebut mulai panik, saya jadi ikutan panik (cuma saya tidak nge-tweet, sebab saya introver). Sampai-sampai, Bung Rafqi Sadikin a.k.a Alem membuat tulisan yang mengkritisi pola manajemen di UPI. Waduh, ada apa nih? Kok di situasi panik begini, kampus bikin ulah, ya?
Tepat keesokkan harinya, perwakilan dari Isola Menggugat menggedor pintu rektorat. Tujuannya? Tentu mencari informasi mengenai kejadian tersebut. Info yang didapat, munculnya hasil wawancara tersebut adalah uji coba yang dilakukan oleh pihak rektorat. Artinya, apa yang tertera di sana masih belum pasti dan dapat berubah. Lalu, kejadian hilangnya kolom tagihan, curiga saya, adalah langkah tercepat untuk menaggulangi respons mahasiswa saat itu.
Baca juga: Biaya Kuliah Pasti Aman Karena Pembuat Kebijakan Pastinya Orang-Orang Berakal
Ah tetapi sayang, saya tidak mudah percaya. Mungkin ini beberapa pertanyaan retoris yang bisa kita (mahasiswa dan rektorat) pikirkan:
- Apa tujuan dari uji coba tersebut? Memangnya birokrat yang mengurus pemasukan dan penyajian data di SIAK itu orang baru, ya?
- Dari mana asalnya data tersebut? Sebab, walaupun banyak data yang tidak tepat, ada pula data yang sudah sesuai terlampir di sana.
- Apakah ini mencerminkan kebobrokan birokrasi di kampus? SK Rektor saja masih belum keluar, kok orang-orang TIK sudah bisa memasukkan data tersebut?
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya mendapatkan satu kesimpulan: UPI sedang melakukan prank kepada kita semua.
Sebetulnya, saya masih berprasangka baik kalau kampus melakukan April Mop, tetapi saya kembali berpikir, TIDAK ADA APRIL MOP DI BULAN AGUSTUS, FERGUSO!
Di situasi seperti ini, prank tidaklah lucu, bung. Ini bisa menjadi lelucon paling ironi sepanjang sejarah.
Selain itu, kesimpulan prank pun berdasar dari naik daunnya konten berbau dark jokes. Kalau tidak percaya, mari kita cek di Yotube, ada berapa penonton yang menyaksikan prank? Banyak sekali kan? Bahkan, Fadil Jaidi, salah satu Youtuber Indonesia, 5 hari yang lalu mengunggah video prank berjudul “PAH ADIL PAKE TATO”, dan telah ditonton sebanyak 2,6 juta. Gila, gaji guru honorer aja kalah, tuh!
Kalo kata Kang Koestanbaum sih, hal tersebut karena kecenderungan orang-orang senang dengan ekpresi malu, kikuk, dan bersalah dari korban prank. Nah, ekspresi tersebut yang menjadi kenikmatan dan candu bagi penonton.
Terus, mengapa konten prank semakin menjamur? Pertama, ingin terkenal. Melihat antusias penonton yang begitu besar, tentu hal ini menjadi langkah kilat untuk mencapai popularitas. Kedua, sebab artis, imam besar kita semua, membuat konten serupa.
Namun, kalau kita kembali ke kasus UPI, rasanya tidak etis bila kita di-prank seperti ini. Semestinya, kampus belajar dari kasus Ferdian Paleka (buat yang belum mengenal Paleka, dia yang ngeprank transpuan dengan memberikan kardus bersisi batu bata dan sampah). Intinya sih, jangan memanfaatkan situasi panik begini (di mana orang-orang sedang kesusahan) untuk kepentingan sendiri. Apalagi yang paling parah adalah ketika tanpa kepentingan sama sekali.
Ah tetapi, kalau saya sih, andaikata kampus meminta maaf, saya tidak terima. Kejadian seperti ini tidak cukup hanya dengan kata maaf, bos! Di sisi lain, saya ingin sedikit berpesan kepada Bung Rafqi Sadikin a.k.a Alem dan seluruh mahasiswa UPI:
Daks, setidaknya overthinking yang membunuh kebahagiaan kita (saya, kamu, dan seluruh mahasiswa UPI beserta orang tuanya) sudah terjawab. Namun, walau begitu, sepertinya kita harus tetap bergerak. Sebab, apa yang kita inginkan belum sepenuhnya tercapai.
Baca juga: MENYEDIHKAN! KAMPUS UPI BERSICEPAT MENUNTUT PEMBAYARAN UKT DITENGAH PANDEMI YANG BELUM MEREDA
Penulis: Tofan Aditya