Saya Terbakar Intimidasi Sendirian!

Menyikapi Sodoran Kontrak Politik

Saya rasa tulisan Tofan Aditya tidak bisa serta merta menyalahkan BEM Rema dalam menjalankan politiknya. Terdapat masalah kompleks yang terjadi di kampus ini, terlebih dalam beberapa waktu terakhir, terdapat persoalan intimidasi dan intoleransi yang mesti menjadi sorotan kita saat ini.

Melihat masalah tersebut, saya rasa curhatan sebelumnya belum membaca masalah secara menyeluruh, kita juga mesti membaca situasi yang lebih mendalam dan yang terbaru.

Perlu digaris bawahi konstitusi Indonesia menjamin hak politik setiap individu warganya, Melarang hak tersebut sama dengan melanggar kemanusiaan di negeri ini. Bila hal tersebut terjadi, intoleransi terhadap pilihan politik dan konflik horizontal tidak akan terhindari. Masalah ini jangan sampai terjadi kembali. Maka dari itu, marilah berkaca pada masa lalu!

Untuk Para Pemimpin Mahasiswa

Rekam jejak seorang pemimpin pasti mempunyai kondisi dan keunikannya masing-masing. Sebelum seorang pemimpin mencapai puncak dalam karirnya, ia akan  menempuh berbagai mekanisme serta berbagai hambatan. Hambatan-hambatan itulah yang justru membuat seorang pemimpin menjadi lebih kuat.

Perlu dicatat, Soekarno beberapa kali diasingkan oleh kolonial, hal ini membuatnya mempunyai waktu untuk membaca realitas Nusantara, meskipun setelah menjadi Presiden ia diruntuhkan oleh rezim orde baru.

Juga Adolf Hitler, atau dikenal sebagai sang Fuhrer yang gagal melancarkan kudeta di munich. Kudeta itu berujung 5 tahun  hukuman di penjara landsberg. Selama di penjara ia menulis Mein Kampf yang membuat perubahan besar dalam sejarah Jerman. Setelah keluar,  Adolf dengan berbekal Mein Kampf, beserta partai Social-Nationalitzche Partije yang dibuatnya berhasil menyingkirkan Weimar menjadi Reich Ketiga. Meskipun mesti kita catat baik-baik, bahwa pergerakannya ini berakhir menjadi salah satu genosida dan kejahatan kemanusiaan  terbesar dalam sejarah.

Juga Gandhi yang memutuskan untuk melawan kolonialisme Inggris dan sistem sosial menindas yang ada di India. Gandhi sempat dikucilkan bahkan oleh bangsanya sendiri –terutama dari Brahman– dan perjuangannya dianggap sebagai kemunduran dan kelemahan seorang Hindu dalam memperjuangkan nasibnya sendiri. Namun, konsistensinya melawan dengan jalan non-kekerasan menjadi catatan sejarah yang penting diingat sampai hari ini.

Dari beberapa kasus di atas, kita melihat bahwa intimidasi atau tekanan yang dilakukan oleh  lawan politik bukanlah alasan untuk putus asa, tapi malah sebaliknya. Mereka bangkit dan membuat gerakan yang dicatat dalam sejarah.

Baca juga: Presentasi Kelompok Itu Membosankan, Bukan?

Intimidasi karena Perbedaan Politik

Di Indonesia kasus intimidasi seperti ini bisa terjadi di semua lapisan, mulai dari jalanan, tempat kerja, sekolah bahkan universitas. Intoleransi terhadap sikap politik banyak menimbulkan perpecahan. Kita mesti sadar, bahwa perbedaan politik pernah menjadi alat penguasa untuk mengitimidasi seseorang.

Pada perbincangan  yang dilakukan oleh Andre Vltchek & Rosssie Indira bersama Pramodya Ananta Toer

Cita-cita dahulu adalah keutuhan nasional dalam segala hal. Soeharto membuat semuanya rusak. Persekutuan antara angkatan darat dan Golkar melahirkan Orde Baru-yang bertanggung jawab atas pembunuhan kurang-lebih dua juta orang, walaupun jumlah yang tepat tidak diketahui sampai sekarang. Dan Soeharto naik menjadi pemimpin diawali dengan pembunuhan dua juta orang yang dilakukan oleh militer dan golongan lain. Menurut pendapat saya, negara Indonesia ini dalam proses pembusukan. Tidak punya pemimpin. Sejak Soekarno dijatuhkan, sampai sekarang Indonesia tidak punya pemimpin. Bahkan generasi muda yang kita salut karena berhasil menurunkan Soeharto tidak mampu melahirkan seorang pemimpin, sampai sekarang! Indonesia berjalan tanpa arah sekarang ini.

Jawaban tersebut dikutip dari buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006).

Kemarahan Pram kepada kepemimpinan Soeharto bukan tanpa sebab, sebagai eksil yang ditahan karena perbedaan politik, ia menyampaikan kekecewaan itu karena bukan hanya beliau yang terdampak. Kritikan itu ia dasarkan pada kondisi keluarganya yang ikut terkena imbas dari kesewenang-wenangan rezim tersebut.

Anak dan cucu saya tidak mau membaca suratkabar. Saya tidak pernah mengerti mengapa hal ini bisa terjadi… mereka tidak lagi punya budaya membaca, mereka lebih senang menonton televisi… tidak punya keinginan untuk menambah ilmu

jawaban Pram ketika ditanya Andre Vltchek & Rossia Indira mengenai tidak ada kehausan akan ilmu pengetahuan di indonesia saat ini. Masih dikutip dari buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006).

Dampak dari hal tersebut bukan hanya berimbas pada dirinya sendiri. Tetapi juga kepada anak cucunya yang ikut mengalami abrasi kebudayaan karena imbas dari kepemimpinan orde baru. Maka tak heran bila fenomena tersebut terus berlanjut sampai saat ini.

Masalah Yang Mesti Kita Sikapi

Dua sub-judul di atas memuat; Bagaimana pemimpin bisa semakin berisi ketika dihadapkan dengan masalah dan bagaimana kondisi sosial kita yang intoleran dan  intimidatif. Kedua hal itu mesti disikapi dengan matang dan betul. Tak bisa kita serta merta melihatnya dari satu sisi. Serta perlu saya peringatkan kembali. Perbedaan politik adalah hak semua orang, bila hal tersebut dilanggar: SAYA TERBAKAR INTIMIDASI SENDIRIAN!

Baca juga: Kurikulum yang Tidak Dapat Dimaklum

Penulis: Ilham Abdul Malik