Bahasa Indonesia harus diutamakan dalam sumpah jabatan. Ini bukan sekadar soal administrasi, melainkan menyangkut prinsip, marwah, dan kedaulatan bangsa. Sebagai bahasa resmi negara, eksistensi bahasa Indonesia telah ditegaskan kedudukannya melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 31 ayat (1), yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pengucapan sumpah pejabat negara dan/atau lembaga.
Namun, di tengah upaya menguatkan identitas nasional, satu kalimat sumpah jabatan dalam bahasa inggris dari pucuk pimpinan kampus pendidikan ternama mengguncang kesadaran berbahasa. Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mengucap janji jabatannya saat pelantikan bukan memakai bahasa Indonesia seluruhnya, tetapi terselip beberapa frasa bahasa Inggris yang diucapkan.
“…menjunjung tinggi prinsip values for value, full commitment no conspiracy dan defender integrity,” ucap Didi Sukyadi dalam sumpah jabatan Rektor UPI.
Tentunya hal ini menuai kontroversi di kalangan pendidik kebahasaan. Terlebih dilakukan oleh instansi pendidikan ternama di Indonesia dan figur yang semestinya menjadi panutan dalam menjunjung bahasa nasional.
Sumpah Jabatan Rektor UPI, Terselip Slogan Bahasa Asing
Sumpah jabatan diucapkan dalam acara resmi pelantikan Rektor UPI Periode 2025-2030 di Gedung Ahmad Sanusi pada senin (16/06/25). Kampus UPI menjadi salah satu instansi pendidikan yang dinilai menyalahgunakan identitas kebangsaan dalam berbahasa sumpah jabatan karena terselip frasa bahasa Inggris ketika pengucapannya. Tentunya, hal ini dapat mengaburkan makna dan menurunkan wibawa negara.

Pandangan Akademisi Terkait Sumpah Rektor

Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, Tedi Permadi menanggapinya dengan menyarankan untuk melihat acara secara keseluruhan. Beliau mempertegas bahwasanya sumpah rektor memang menggunakan bahasa Indonesia. Ia juga sangat menyayangkan kepada reporter yang sepertinya tidak mengikuti kegiatan ini secara utuh. Terkait dengan slogan bahasa asing, ia mengakui belum mempelajari lebih lanjut karena hal itu menyangkut aspek khusus dalam tata laksana dan administrasi.
“Sumpah Rektor UPI menggunakan bahasa Indonesia, saya pun hadir pada waktu pelantikannya. Mengenai adanya slogan atau motto berbahasa asing dalam sumpah jabatan, kita pun masih mengadopsi bahasa daerah, seperti slogan Tut Wuri Handayani, Bhinneka Tunggal Ika,” tegasnya.
Baca Juga: Mahasiswa Difabel dan Kesetaraan Akses Beribadah di Kampus UPI – Literat
Berbeda dengan Kholid Harras, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UPI yang turut berkomentar mengenai sumpah jabatan Rektor UPI yang terselip bahasa Inggris. Ia menilai bahwa di mata publik, ini bukan hanya sekadar kekeliruan teknis, melainkan simbol dari kerapuhan bahasa nasional.
“Sebagai Guru Besar Linguistik, kita sangat percaya Prof. Didi Sukyadi pasti tidak bermaksud merendahkan bahasa nasional. Tapi dalam ranah publik, terutama forum resmi kenegaraan, tindakan simbolik harus berpijak pada regulasi, etika, dan rasa kebangsaan,” jelasnya.
Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa
Perlu diingat kembali momen bersejarah 28 Oktober 1928. Saat itu, para pemuda dari berbagai penjuru nusantara bersatu dalam satu ikrar, yakni Sumpah Pemuda. Dalam butir ketiga menyatakan “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Sumpah pemuda menjadi titik awal kesadaran kolektif bahwa bahasa adalah pondasi kebangsaan. Bukan hanya alat ucap, tetapi lambang perlawanan terhadap kolonialisme dan juga sebagai pemersatu wilayah yang majemuk.
Baca Juga: Mitomania: Ketika Kejujuran Terlalu Menyakitkan – Literat
Bahasa Indonesia lahir bukan dari kekuasaan, melainkan dari perjuangan. Identitas ini disepakati dan dihidupi oleh para tokoh pergerakan nasional sebagai bahasa persatuan, mendahulukan bahasa daerah, bahkan bahasa Belanda yang kala itu berkuasa. Dalam konteks ini, pengabaian bahasa Indonesia dalam momen sumpah jabatan bukanlah tindakan sepele, melainkan bentuk kemunduran ideologis bangsa.
Dalam Kajian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, hanya sekitar 76,5% lembaga pemerintahan yang konsisten menggunakan bahasa Indonesia dalam ranah formal tahun 2022. Angka ini menunjukkan masih ada persoalan mendasar dalam pemahaman terhadap fungsi bahasa negara. Maka, insiden penggunaan bahasa Inggris dalam sumpah jabatan Rektor UPI 2025 menjadi refleksi kegagalan. Kegagalan ini terlihat dalam upaya membumikan Sumpah Pemuda ke dalam praktik birokrasi.
Gengsi Globalisasi terhadap Bahasa Indonesia
Dalam menghadapi arus globalisasi, institusi pendidikan tinggi seperti UPI justru harus menjadi garda terdepan. Mereka perlu merawat dan meneguhkan posisi bahasa Indonesia sebagai lambang persatuan dan kemandirian bangsa. Sebab, di balik satu kalimat yang disisipkan dalam bahasa asing, bisa tersembunyi pelemahan komitmen terhadap cita-cita kebangsaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa. Sumpah jabatan bukan hanya sekadar seremoni, melainkan panggung simbolik yang harus menjunjung tinggi kedaulatan bahasa nasional.
Sudah saatnya, institusi pendidikan tinggi menjadi pelopor bukan hanya dalam inovasi dan ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam menjunjung tinggi bahasa nasional. Jangan sampai bahasa yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa tergantikan demi gengsi globalisasi atau demi tampak “berkelas” di podium kekuasaan. Sebab, ketika bahasa nasional mulai ditanggalkan dalam momen-momen sakral kenegaraan, makna yang terkandung di dalamnya ikut memudar. Lebih dari itu, harga diri bangsa pun ikut tergerus.
Baca Juga: Audiensi dan Mimbar Bebas: Mahasiswa Tuntut Transparansi dan Keadilan dalam Penetapan UKT – Literat
Penulis: Saddam Nurhatami
Editor: Rifa Nabila