Berbicara mengenai demokrasi, pasti kita sudah sering mendengarnya atau bahkan ada yang merasa jengkel ketika mendengar kata tersebut. Bukan jengkel karena terlalu sering mendengar kata tersebut, tetapi jengkel karena kata demokrasi hanya bualan bagi setiap pemangku-pemangku kebijakan. Miris memang ketika mendengar hal tersebut, yang harusnya menjadi sebuah senjata untuk membawa kesejahteraan pada rakyat, tetapi ya sudahlah. Kawan-kawan juga pasti mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam”.
Lalu, ada satu rakyat yang bertanya:
“Tapi kenapa yang merasakan hanya orang-orang yang terlibat di dalamnya saja, Pak?”
Kemudian, orang tersebut pun menghilang entah kemana.
Percakapan di atas merupakan gambaran demokrasi yang dianut di dalam negeri setengah jajahan dan setengah feodal ini. Kadang kebebasan berpendapat dan pemberian hak yang sama menjadi hal yang bias ketika diimplemantasikan di Indonesia. Namun, itu dulu sih, enggak tahu tah kalau sekarang mah, mungkin sudah lebih baik (mungkin itu juga).
Permasalahan mahasiswa pada saat ini sangat kompleks kawan-kawan, bahkan saking banyaknya seringkali kita lupa bahwa ada masalah yang terjadi di dalam kampus (antara memang lupa atau tidak tahu). Contohnya adalah menyoal biaya pendidikan yang semakin mahal dan tidak transparan, fasilitas berbayar, tertutupnya akses informasi perihal PT. UPI Edun Indonesia, DO paksa, serta pembangunan UPI Subang. Namun kawan-kawan, itu adalah merupakan peranakan dari permasalahn pokok yang harus kita selesaikan, yaitu tentang liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan.
Sepekan yang lalu, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) baru saja memeriahkan pesta demokrasi yang dikemas dalam bentuk Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira). Tentu hal tersebut memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada mahasiswa untuk menggunakan haknya dalam mengambil keputusan. Pesta tersebut berjalan sangat meriah, sampai-sampai menimbulkan tendensi pergejolakan politik di dalamnya. Sangat meriah sekali bukan?
Tanggal 2-5 Juni 2022 merupakan momen-momen puncak dalam pesta demokrasi, karena setiap mahasiswa UPI berhak memilih dan menentukan siapa yang kelak akan memimpin organisasi mahasiswa di ranah universitas, atau Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa. Memang banyak sekali isu yang ceunah mah terjadi pada saat pesta demokrasi dilaksanakan. Namun itu hanya asumsi-asumsi liar saja yang mungkin tidak melibatkan data serta fakta yang terjadi di lapangan. Fokus tulisan ini bukan untuk membahas permasalahan tersebut, melainkan lebih dari itu.
Wajah baru dalam pesta demokrasi merupakan sebuah penyegaran. Hal tersebut demi menjawab permasalahan-permasalahan yang hadir di tataran mahasiswa. Struktur kepengurusan yang baru serta visi misi menjadi senjata baru untuk menumbangkan rezim yang menindas mahasiswa (kapitalis birokrat) dan praktik liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi yang masih bergulir di kampus. Namun apakah memang bisa?
Apa yang Menjadi Permasalahan Utama?
Mari kita berkaca kepada sejarah, substansi utama yang menjadi problematika mahasiswa sekarang atau mahasiswa UPI khususnya adalah tentang komersialisasi pendidikan. UPI merupakan salah satu kampus yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang memiliki kuasa dalam mengatur kegiatan akademik maupun non-akademik. Ada 5 sektor yang yang diatur dalam hal tersebut, salah satunya adalah sektor keuangan, maka secara tidak langsung UPI berhak mengatur keuangannya sendiri.
Akar utama dalam permasalahan tersebut adalah otonomi pendidikan tinggi dalam UU PT hanya menjadikan kebebasan mimbar akademik, kebebasan akademik ini menjadi tameng atas otonomi non-akademik (keuangan). Kampus tetap dijadikan sebagai institusi untuk berdiri sendiri dengan topangan dana dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, perusahaan-perusahaan borjuasi besar komprador, tuan tanah serta imperialisme (pasal 84 UU PT).
Demikian juga amanat pasal 88 UU PT, pemerintah menyerahkan pada pendidikan tinggi untuk menetapkan satuan biaya operasional pendidikan tinggi (SBOP) yang dinamai uang kuliah tunggal (UKT) yang dihitung dari tahun ke tahun. Tentu pada penerapan UKT, biaya pendidikan tinggi akan selalu naik setiap tahun ajaran baru. Oleh karena itu, UU PT mempunyai dampak buruk bagi keberlangsungan pendidikan tinggi.
Melalui skema otonomi universitas, maka setiap kampus apapun itu statusnya akan didorong untuk mencari sumber pendapatannya secara mandiri. Tentu pendapatan terbesarnya adalah dari mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan pendapatan universitas dari APBN dan biaya pendidikan. Pada Laporan Tahunan UPI 2021, tercatat dana yang masuk dari APBN adalah sebesar Rp. 72.931.002.000 sementara dari biaya pendidikan adalah sebesar Rp. 201.555.678.905.
Mahasiswa yang saat ini sedang kelimpungan untuk mendapatkan hak pendidikan sebagai warga negara semakin dipersulit dengan adanya regulasi tersebut. Tidak sedikit mahasiswa yang memutuskan untuk mengakhiri masa pendidikannya dengan bekerja hanya untuk bertahan hidup. Melihat hal tersebut seolah hal yang biasa saja terjadi di dalam negeri setengah jajahan dan setengah feodal. Pendidikan yang seharusnya menjadi penopang hidup massa rakyat, malah dijadikan alat oleh kapitalis birokrat untuk melanggengkan kekuasaan imperealisnya.
Padahal jika kita menilik mengenai landasan yang mengatur perihal hak pemenuhan warga negara untuk memperoleh pendidikan sudah termaktub pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 C ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Maka sudah sangat jelas pada hakikatnya pendidikan merupakan hak asasi manusia, sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak mereka sebagai warga negara. Namun, jika praktik komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan masih terjadi, hal di atas hanya akan menjadi hal yang utopis.
Selain itu, dalam UU No. 23 Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 ayat 1 dijelaskan bagaimana sejatinya negara menyelenggarakan proses pendidikan bagi warganya. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Nilai–nilai demokrasi yang bersandarkan pada prinsip kesetaraan, partisipatif, kepentingan rakyat, dan keadilan. Sehingga pendidikan yang demokratis tentu anti terhadap penyelenggara yang diskriminatif terhadap rakyat. Contohnya; karena pendidikan yang mahal membuat anak buruh, petani, suku minoritas, miskin perkotaan tidak dapat mengecap pendidikan.
Dijelaskan pula pada pasal 5 ayat 1, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Dengan begitu tidak ada pendidikan yang berdasarkan kelas mana dia berada, apakah borjuasi atau proletariat, semua berhak memiliki pendidikan yang sama tanpa membedakan status mereka apa.
Beberapa penjelasan di atas merupakan runtutan sebab akibat permasalahan yang saat ini hadir di kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa UPI. Kecacatan sistem pendidikan di Indonesia yang berorientasi pada pasar bebas yang menghendaki mereka untuk menjadi pekerja atau buruh. Kualitas pendidikan yang tercemari akibat adanya praktik-praktik kotor membuat mahasiswa harus berjuang lebih keras demi mendapatkan pendidikan yang layak.
Hubungannya Dengan Pemira Apa Dong?
Pesta demokrasi merupakan salah satu upaya untuk memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada setiap manusia untuk menentukan haknya dalam memilih atau menentukan sesuatu hal. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mengizinkan dan memberikan hak, kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat serta turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. Pemerintahan sendiri merupakan organisasi atau wadah orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah kenegaraan dan kesejahteraan rakyat dan negara. Pemerintahan di dalam pemira diwujudkan dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema).
BEM Rema UPI merupakan lembaga eksekutif yang mempunyai wewenang untuk menjalankan undang-undang sebagaimana yang dijelaskan di dalam sistem demokrasi. Dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut menjadi dasar dalam menjalankan program kerja. Meskipun memiliki acuan terhadap konstitusi, organisasi pun perlu turut membaca kondisi yang terjadi agar apa yang dihadirkan di dalam program kerja sesuai dengan kebutuhan.
Kondisi yang terjadi sebagaimana yang telah saya paparkan mengenai komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan. Hal itu menjadi problematik utama dan akar dari segala masalah yang hadir saat ini. Sebagai organisasi seharusnya memiliki langkah yang strategis untuk menyelesaikan akar masalah tersebut. Jika hanya mengurusi dampak dari isu pokok, maka perubahan bukan hanya tidak akan terjadi, tetapi malah akan semakin menguntungkan pihak yang berkuasa.
Secara historis selama saya berkuliah di UPI, belum pernah saya merasakan organisasi yang menjalankan program stategis untuk mengatasi masalah tersebut. Semua program-program yang dihadirkan selalu hanya membereskan masalah taktis dan tidak sampai ke akarnya. Oleh karena itu organisasi setingkat universitas perlu mempunyai program atau eskalasi gerak yang berjenjang dan sistematis dalam menyelasaikan masalah tersebut.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membuat basis massa yang kuat, yang tercerdaskan, dan terpimpin program. Jika kita tidak bersatu dan hanya mementikan ego masing-masing, maka perubahan tidak akan pernah terjadi. “Perubahan adalah karya berjuta-juta massa” itulah pegangan dalam menuju perubahan. Maka basis massa yang kuat adalah pondasi utama dalam meruntuhkan rezim yang menindas rakyat.
Tantangan yang sering dihadapi adalah tidak konsistensinya organisasi dalam mengarahkan mahasiswa untuk bersatu melawan musuh utama. Bahkan dalam gerak lajunya organisasi kadang hanya dijadikan alat oleh beberapa pihak, ketika organisasinya pun sudah seperti itu maka keinginan untuk mewujudkan pendidikan yang demokratis, ilmiah, dan mengutamakan rakyat hanya akan menjadi sia-sia.
Harapan Kedepannya
Saya memiliki harapan kepada para pemimpin organisasi di tingkat universitas untuk mendahulukan isu yang pokok, yaitu liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan. Langkah-langkah kerja yang konkret serta objektif dalam menentukan laju gerak organisasi perlu dibenahi. Jika organisasi terus menutup mata dan tidak menentukan sikap dalam permasalahan ini maka harapan untuk sebuah perubahan hanya akan menjadi angan-angan.
Organisasi merupakan sekelompok individu yang berada dalam satu wahana atau wadah yang terikat secara program, tujuan, dan kepentingan. Wahana dapat didefinisikan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan dan alat untuk memperjuangkan hak mahasiswa. Dengan demikian peran organisasi dalam mengembalikan hak mahasiswa memiliki peran yang sentral, terlebih organisasi di tingkat universitas yang memiliki jaringan, akses, serta basis massa yang mumpuni untuk melakukan perubahan.
Organisasi juga harus bisa memahami realita-sosial. Apa yang sedang terjadi, yang sedang berkembang, serta persoalan masyarakat. Sehingga eksistensi organisasi bisa dirasakan oleh seluruh mahasiswa sebagai penampung aspirasi benar-benar terasa.
Demikian apa yang saya sampaikan semoga menjadi sebuah pendorong untuk setiap mahasiswa agar melek dan peka terhadap kondisi yang terjadi. Organisasi pun tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini jika mahasiswanya acuh tak acuh dan tidak berpartisipasi terhadap perjuangan ini. Sudah cukup dewasa kawan-kawan sebagai mahasiswa untuk ikut berjuang, turut terlibat dalam perubahan ini sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kita sebagai mahasiswa.
Baca juga: Drama Tari ‘Angling Sumpah Drupadi’: Simbol Perempuan Kuat dan Tangguh
Penulis: Hasbi Ramadhan
Editor: Wulan Sari