Buat Apa Jadi Guru Katanya

Buat apa jadi guru? Pertanyaan itu terdengar ringan, bahkan seolah hanya basa-basi. Tapi siapa pun yang mendengarnya tahu bahwa pertanyaan itu menyimpan sinisme. Di balik nada tanya itu ada makna lain, kenapa memilih profesi yang katanya penting, tapi tak menjanjikan?

Antara Cita Konstitusi dan Realita Gaji

Dikutip dari antaranews.com, Direktur Advokasi Lembaga Riset Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) Agung Pardini menyampaikan hasil riset 74 persen guru honorer masih digaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Lucunya, dalam UUD 1945 alinea keempat, disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Sebuah cita-cita luhur yang diletakkan sejajar dengan kemerdekaan dan keadilan sosial. Tapi apa arti cita-cita konstitusional itu jika orang yang menjalankannya harus meminjam uang untuk bisa hidup layak?

Sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, guru bertugas mencerdaskan generasi penerus bangsa dengan tanggung jawab moral yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, realitanya kondisi objektif kesejahteraan guru saat ini masih rendah dan belum sebanding dengan pengabdian yang mereka berikan. Hal ini terlihat dari kondisi ekonomi guru yang kurang stabil, yang berimbas pada rendahnya minat masyarakat, khususnya generasi milenial dan Z, untuk menjadi guru (Hutasuhut, dkk. 2025). 

“Jujur saat masih sekolah saya pernah terpikirkan untuk menjadi seorang guru. Tetapi setelah mengetahui lebih banyak tentang dunia kerja dan bagaimana peran guru seringkali kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, khususnya di Indonesia, dan kurang dihargai karena ada beberapa oknum yang membuat perlakuan negatif sehingga berdampak kepada citra guru secara keseluruhan,” ungkap Andini Febrianti mahasiswa Ilmu Komunikasi UPI.

Buat Apa Jadi Guru?

Tidak ada yang pernah bertanya, “Buat apa jadi influencer?” atau “Buat apa jadi dokter?” karena jawabannya sudah otomatis lebur dengan material yang menjanjikan. Tapi kalau ada seseorang yang ingin menjadi guru, kenapa kita harus repot-repot mencari logika yang bisa diterima pasar? Mungkin karena kita sendiri belum benar-benar menghargai pendidikan. Kita kagum pada gelar, bukan pada pembelajar. Kita sering kali lebih menghargai mereka yang menghasilkan uang, daripada mereka yang berhasil mendidik manusia menjadi generasi yang berpikir kritis dan berdaya.

Baca Juga: Merayakan Hari Pustakawan: Jelajahi Kembali Rak-Rak Buku – Literat

Najwa Salsabila seorang mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar UPI menyatakan bahwa ia ingin menjadi guru karena ingin berkontribusi untuk generasi mendatang dan mengajarkan sesuatu kepada orang lain. Baginya, hal tersebut memberikan rasa kepuasan dan kebanggaan pribadi. 

“Kenapa aku mau jadi guru? Aku mau memajukan anak bangsa. Terdengar pasaran dan idealis, ya? Nyatanya, untuk saat ini aku mau jadi guru karena ingin berkontribusi untuk generasi selanjutnya, terutama di kampungku, itu secara logika. Secara historis dan emosional, sejak sekolah di pondok, di mana tidak ada gawai, internet, dan lain-lain, kalau bukan kepada guru tentu aku minta penjelasan ke teman seandainya ada materi yang kurang dipahami. Kami saling berdiskusi dan mengajarkan satu sama lain. Aku merasa senang dengan itu,” ungkap Najwa.

Selain itu, Sri Fatma Hidayah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI juga mengungkapkan bahwa menjadi guru bukanlah murni keinginannya. Tapi setelah terjun lebih jauh, apalagi setelah ikut P3K, ada kepuasan tersendiri melihat perkembangan anak-anak hasil didikannya. 

Fatma juga berpendapat terkait stigma masyarakat tentang profesi guru, “Aku paham mengapa banyak orang yang mempertanyakan buat apa jadi guru. Di tengah kondisi ekonomi sekarang mencari kerja itu susah, terlebih guru baru sulit sekali sejahteranya. Tapi, terlepas dari itu semua kita harus tetap ingat masa depan bangsa berada di tangan guru. Menurutku, jadi guru bukan hanya soal cari pundi-pundi uang, tapi demi menabung dampak,” ujar Fatma.

Jadi, buat apa jadi guru? Ya buat hidup, sama seperti profesi lain. Bedanya, hidup guru seringkali bukan tentang dirinya sendiri. Tapi tentang anak-anak yang kelak akan mengingat bahwa pernah ada seseorang mengenalkan mereka pada huruf dan angka, itu cukup.

Masalahnya Bukan Ideal Tapi Nilai Jual

Sebenarnya pertanyaan itu tidak sulit. Sesederhana jawaban, guru itu adalah pekerjaan yang mulia, mendapat kesempatan belajar seumur hidup, bisa menjadi panutan dan teladan, menebar ilmu sebagai amal jariyah, bahkan mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah selesai sampai di sana? Apakah deret alasan itu cukup menahan tawa sinis orang-orang yang sejak awal tak benar-benar bertanya, melainkan hanya menghakimi pilihan?

Baca Juga: Halo, Maba! Yuk kenalan sama Istilah-Istilah di Perkuliahan! – Literat

Faktanya, pertanyaan itu bukan tentang panggilan jiwa, melainkan soal material dan angka. Orang bertanya-tanya, mobil jenis apa yang bisa dikendarai dari gaji guru? Rumah tipe berapa yang mampu mereka beli? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menutup biaya pendidikan demi satu profesi bernama guru? Dan jawabannya… memang tak pernah cepat, tak pernah memuaskan.

“Memaknai profesi guru di tengah kondisi sosial-ekonomi saat ini… karyawan underpaid yang overwork? Maaf, tapi nyatanya memang begitu jika dihubungkan dengan ekonomi. Banyak sekali tuntutan yang diberikan pada profesi guru, tetapi bayarannya rendah,” ucap Najwa.

Persepsi negatif terhadap profesi guru, terutama jika dibandingkan dengan profesi lain seperti dokter juga turut memengaruhi. Seorang dokter bisa menjawab, “Sekali operasi bisa dapat belasan juta.” Pengacara bisa bilang, “Satu kasus bisa lunasi cicilan rumah.” Content creator bisa bangga berkata, “Sekali endorse setara gaji PNS tiga bulan.” Tapi guru? Guru hanya bisa membanggakan frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dikutip dari Aulia, dkk. (2023), peningkatan kesejahteraan guru penting untuk memperbaiki pandangan masyarakat terhadap profesi ini dan juga bisa meningkatkan kualitas kerja para guru.

Apa yang Perlu Diubah?

Banyak.

Sepertinya satu kata itu yang bisa diungkapkan secara gamblang. Kita balik lagi ke pertanyaan awal, “Buat apa jadi guru?” mungkin pertanyaannya salah. Mungkin justru perlu dipertanyakan balik, apa yang sebenarnya harus diperbaiki agar masyarakat lebih menghargai profesi ini. Kinerja guru akan meningkat seiring meningkatnya kualitas kesejahteraan guru. Kesejahteraan guru ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan material dan sosial, fasilitas dan infrastruktur yang memadai, dan upah yang sesuai dengan beban kerja.

Realistis saja, orang-orang bekerja untuk mendapatkan gaji, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Andini berpendapat bahwa gaji dan tunjangan guru itu harus ditingkatkan agar setara dengan profesi lain yang juga membutuhkan pendidikan tinggi. Selain itu, diperlukan juga cara mengubah mindset sebagian besar masyarakat yang seringkali memandang guru itu hanya dengan sebelah mata.

Selaras dengan itu, Najwa juga mengungkapkan cara paling efektif untuk menimbulkan rasa ingin menjadi guru dan merubah mindset masyarakat adalah dengan membuat profesi guru itu terasa worthy. Tuntutan yang diberikan harus punya batasan-batasan yang mencegah guru mendadak memiliki kewajiban jadi “malaikat”.

Selain tentang material, sistem juga perlu diubah. “Salah satu kunci supaya orang-orang berbondong-bondong ingin jadi guru adalah perbaiki sistem kebijakan menjadi adil dan lebih manusiawi. Adilkah kalau syarat menjadi guru itu harus PPG disaat orang di luar prodi Pendidikan bisa ikut PPG juga? Kalau begitu apa value-nya kuliah 4 tahun di Pendidikan kalau pada akhirnya harus begitu,” ungkap Fatma.

Baca Juga: Jejak Tiga Luka: Dilema Seorang Sarjana Perempuan – Literat

Kenapa guru harus membuktikan dirinya pantas dianggap sebagai pilihan yang layak? Kenapa jadi guru harus selalu diiringi penjelasan panjang agar tidak dianggap sepele? Pertanyaan-pertanyaan di atas tak menuntut jawaban tapi perubahan. Semoga, segera diubah.

Penulis: Azila Fitria Ramadhani 
Editor: Rifa Nabila