P3K (Program Penguatan Profesional Kependidikan) atau yang biasa dikenal dengan istilah PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) adalah program yang dikembangkan UPI sebagai salah satu implementasi kebijakan MBKM. Program ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan mencari pengalaman dalam praktik pendidikan di sekolah-sekolah.
Saat pertama kali mendengar penjelasan mengenai program ini, yang terbayang di kepalaku adalah pengalaman mengajar yang lancar dan menyenangkan. Namun kenyataannya tidak selalu begitu. Di balik rencana pembelajaran yang rapi dan tugas yang terstruktur, ternyata ada hal-hal yang tak tertulis tetapi tetap harus dihadapi.
Insecure dan Pengembangan Diri
Hari pertama mengajar, aku berdiri di depan kelas dengan tangan dingin. Kuperkenalkan diri dan kusampaikan maksud kedatanganku dengan harapan mereka berempati dan mau berkompromi. Suara ramai siswa menyambutku, sebagian melirik, tersenyum tipis, ada juga yang tertawa kecil.
Mungkin karena badanku yang tidak jauh berbeda dengan mereka, atau wajahku yang belum pantas dipanggil “Ibu”. Bahkan salah seorang dari mereka sering memanggilku “Kak”, kemudian meminta maaf untuk itu. Aku tidak marah. Karena kutahu, bukan bermaksud tidak sopan, tetapi mungkin bagi mereka aku hanya seorang kakak mahasiswa. Bukan guru sungguhan.
Momen-momen ketika mereka asyik mengobrol saat aku menjelaskan atau pura-pura sibuk saat aku bertanya, menimbulkan rasa seperti tak dianggap. Dalam hati aku bertanya, “Apa aku tidak cukup layak untuk didengarkan?”. Perasaan itu sempat menghantui beberapa hari pertamaku. Aku mulai mempertanyakan banyak hal: Apa penampilanku kurang meyakinkan? Apa suaraku terlalu kecil? Atau caraku yang membosankan?
Namun perlahan aku belajar dengan mencoba hadir bukan hanya sebagai seorang pengajar, tetapi juga sebagai pendengar. Beberapa kali aku mengajak mereka berdiskusi dan negosiasi. Aku mulai menghafal nama mereka satu per satu agar dapat menyebut nama saat berbicara atau bertanya.
Aku mencari berbagai ide permainan seru dan relevan bagi mereka di kelas. Selain itu, aku juga membaca beberapa buku untuk menemukan strategi dan metode mengajar yang variatif untuk kelas-kelasku dan tidak jarang pula meminta saran kepada guru pamong maupun rekan-rekanku di sana.
Baca juga: Buat Apa Jadi Guru Katanya
Ada hal-hal yang baru kusadari setelah menjajal menjadi seorang pengajar.
1. Atmosfer Setiap Kelas Berbeda
Kelas yang biasa kujumpai sebelumnya hanya melalui ruang-ruang kuliah seperti simulasi mengajar atau microteaching. Semuanya terasa terkendali. Mahasiswa diam saat dosen berbicara, suasana tenang dan teman-teman yang kooperatif. Namun, saat memasuki kelas-kelas di sekolah, aku mendapati atmosfer yang lebih dinamis dan sangat berbeda tiap kelasnya.
Ada kelas yang cenderung lebih tenang, siswa-siswanya responsif dan mudah diarahkan. Sementara kelas lainnya terasa ramai, tetapi dalam pembelajaran justru sangat pasif. Perbedaan ini cukup mengejutkanku. Energi kelas dan karakter siswa begitu memengaruhi bagaimana suasana belajar terbentuk. Dari situ, aku belajar bahwa menjadi guru bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga soal membaca situasi.
2. Metode dan Pendekatan Terhadap Siswa Tidak Bisa Disamaratakan
Ketika awal mengajar, aku sempat berpikir bahwa metode yang berhasil di satu kelas pasti akan berhasil juga di kelas lain. Tapi nyatanya, karakter siswa yang berbeda mengharuskan aku untuk menyesuaikan metode dan pendekatan pada masing-masing kelas.
Misalnya, dalam sebuah kelas, aku dapat berhasil menggunakan metode jigsaw. Aku membagi mereka ke dalam beberapa kelompok, lalu membagikan potongan materi yang harus mereka pahami dan sampaikan ke teman kelompok lainnya. Di luar dugaanku, mereka tampak antusias, diskusi berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan di akhir sesi, sebagian besar siswa mampu menjawab pertanyaan dan menjelaskan dengan benar. Metode ini terasa benar-benar efektif di kelas ini.
Karena keberhasilan tersebut, aku pun mencoba menerapkan metode yang sama di kelas yang berbeda. Namun, hasilnya jauh dari prediksi. Saat dibagi kelompok, beberapa siswa terlihat bingung, pasif, dan tidak menjelaskan materi kepada kelompok lain dengan benar.
Ketika tiba giliran mereka menjawab dan menjelaskan, hanya sedikit siswa yang antusias menjawab dengan tepat. Kelas menjadi gaduh dan sulit dikendalikan, sehingga aku perlu sedikit lebih lantang dan tegas untuk menertibkannya. Dari pengalaman tersebut aku sadar bahwa sebagai pengajar aku perlu mengenal karakter siswa dengan baik agar mampu memberikan pengalaman belajar yang variatif dan efektif.
Baca juga: Cantik Itu Luka: Masihkah ‘Si Cantik’ Menjadi Impian?
3. Beri Contoh, Bukan Hanya Materi
Beberapa hari pertama mengajar, setiap malam aku berusaha mengingat materi apa saja yang harus aku sampaikan. Aku membuat catatan agar tidak ada yang terlewat saat menjelaskan nanti. Kupikir tugasku sebagai guru sudah selesai jika sudah menyampaikan seluruh materi kepada siswa-siswaku. Tetapi, saat benar-benar mengajar di kelas, aku mulai menyadari bahwa siswa sering kali meminta contoh.
Ketika aku sedang menjelaskan cara berpidato, mereka bertanya mengenai intonasi dan gestur yang baik itu bagaimana. “Bu, tolong contohkan intonasi baca pidato pada bagian ini”. “Bu, gestur waktu kita membuka pidato harus seperti apa?”.
Pertanyaan-pertanyaan itu memaksaku untuk memberikan contoh bagaimana cara berpidato agar menarik pendengar. Mereka tidak cukup dengan teori yang tertulis di buku. Mereka perlu sosok yang bisa ditiru. Di situlah aku mengerti, bahwa guru yang baik bukan hanya yang pandai menjelaskan, tetapi juga mampu memberi teladan, sekecil apa pun itu.
Setelah melewati hari-hari di ruang kelas dan sekolah, aku menyadari bahwa profesi ini bukanlah profesi yang bisa dijalani dengan setengah hati. Ia menuntut keberanian, kepekaan, dan kesediaan untuk terus belajar dan berkembang. Melalui program P3K kemarin, aku seolah diberi cermin yang memperlihatkanku akan kelemahan dan potensi diriku sendiri. Meski aku pernah merasa tidak cukup layak dan tidak cukup dewasa untuk menjadi guru, ternyata proseslah yang menguatkan.
Dari balik papan tulis, aku menuliskan setiap kisah dan pembelajaran sarat makna. Kuucapkan terima kasih untuk siswa-siswa yang bersedia kudidik dan tanpa sadar menjadi guru kecil yang mengajariku banyak hal. Untuk guru pamongku yang selalu memberi arahan dan menguatkan di tengah rasa gugupku, dan rekan-rekan yang bersedia bertukar kisah lantas menyulapnya menjadi tawa di sela lelah.
Penulis: Sri Fatma Hidayah
Editor: Allysa Maulia Rahman
Baca juga: Halo, Maba! Yuk kenalan sama Istilah-Istilah di Perkuliahan!
Baca juga: Jika Semua Sekolah Sama, Mengapa Kesempatan Kita Berbeda?