Mengapa Kita Memilih Skripsi Paperless sebagai Solusi?

Beberapa tahun yang lalu atau mungkin baru kemarin, kita lihat seberapa tebal skripsi yang ditulis oleh kakak tingkat berserakan di perpustakaan. Atau lebih parahnya, kita pernah menemukan kertas penelitian skripsi jadi bungkus gorengan.

Lucunya, di balik serba-serbi menjadi apa skripsi kita nanti, aku pernah melewati satu adegan ketika ada mahasiswa yang menangis ke dosen pembimbingnya karena harus berhadapan dengan dosen killer ketika ujian sidang. Jadi, rasanya kalau melihat bungkus gorengan, malah teringat mahasiswa yang pernah menangis tadi.

Terlepas dari itu, skripsi dalam bentuk cetak atau hard file memang menjadi standar di banyak kampus. Namun, di balik ketebalannya yang terkesan prestisius, skripsi cetak memiliki sejumlah kekurangan. Selain menguras kantong dompet untuk mencetak dan menjilid, skripsi cetak juga lebih rentan terhadap kerusakan.

Lebih dari itu, banyak dari skripsi akhirnya hanya menjadi tumpukan debu di rak perpustakaan—atau, seperti yang aku sebutkan sebelumnya, bisa berakhir sebagai bungkus gorengan. Banyaknya skripsi yang disimpan di rak perpustakaan lama kelamaan dapat menghabiskan tempat penyimpanan. 

Sebagai solusi dari berbagai persoalan tersebut, beberapa kampus mulai menerapkan konsep skripsi paperless. Skripsi yang disimpan dan diserahkan secara digital menawarkan pendekatan yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

Jadi, mahasiswa tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk mencetak dokumen tebal. Selain itu, penyimpanan digital memungkinkan akses yang lebih melalui repositori daring kampus, sehingga hasil penelitian bisa diakses dan dikutip lebih luas oleh pihak lain.

Baca juga: Paradigma Transformasional Pendidikan Tinggi: Mengupas Arah Kebijakan Mendikti Saintek 2025

Dengan penerapan skripsi paperless, kita juga membuka peluang baru: kampus bisa mengelola arsip akademik secara lebih rapi dan terintegrasi, serta mengurangi limbah kertas. Bayangkan kalau seluruh perguruan tinggi menerapkan sistem ini—dari segi ekologi, berapa banyak pohon yang bisa diselamatkan, dan betapa efisien proses akademik dapat berlangsung.

Oleh karena itu, konsep paperless ini mendapat tanggapan positif dari para mahasiswa. Banyak yang merasa senang karena tidak terlalu dibebani biaya cetak, serta merasa lebih bebas untuk mengakses referensi dan mengirimkan revisi. Beberapa mahasiswa bahkan menyebut skripsi paperless sebagai “angin segar” di tengah tekanan tugas akhir yang kerap menyita energi.

“Setuju karena hal ini bisa menekan biaya, apalagi kalau skripsi biasanya memakan biaya yang cukup banyak, sedangkan konsep paperless lebih bisa disiasati,” sahut Aliefia.

Namun di balik itu, beberapa mahasiswa juga sedikit waspada terutama soal rentannya aktivitas plagiarisme. Selain itu, beberapa mahasiswa masih ada yang lebih nyaman dan paham jika mendapatkan review dari pembimbing dalam bentuk tulisan tangan lewat beberapa bagian skripsi yang dicetak. Hanya saja, persoalan ini kembali ke masing-masing individu.

Pada akhirnya, skripsi paperless bukan hanya sebuah inovasi teknis, tapi juga cerminan dari kesadaran baru: bahwa proses akademik bisa tetap bermakna meski revisinya hanya lewat layar datar semata. Dalam dunia digital, langkah kecil seperti ini bisa menjadi awal dari perubahan besar yang lebih bijak dan berkelanjutan.

Penulis: Icha Nur Octavianissa 

Editor: Nabilla Putri Nurafifah

Baca juga: Jika Semua Sekolah Sama, Mengapa Kesempatan Kita Berbeda?