Siapa bilang kami anarkis? Sebab kami juga bertanya-tanya: siapa yang merusak halte bis?
Kalau kami mau, Agustus kemarin, kami ubah Senayan menjadi Maydan Tahrir. Biar saja seperti Mesir, sebab sedunia pun telah bereaksi. Masa, tidak juga digubris? Apakah suara kami terlalu kecil atau memang tertutup pagar besi yang menjulang tinggi? Tapi toh, atas dasar kepatuhan, sebagian dari kami pulang ketika adzan Maghrib berkumandang. Tepat saat matahari mengucap sampai jumpa esok hari, meski ada beberapa kawan lain yang tetap setia menyuarakan aspirasi supaya tidak ada lagi selingkuh birokrasi.
Sekali lagi, kami bisa mengubah Senayan menjadi Maydan Tahrir! Sebab Mesir sudah revolusi dua kali dan begitu pun kami, supaya bangga atas berdirinya demokrasi.
Satu jam setelah video berdurasi satu menit tiga puluh detik viral di media sosial, Senayan berubah jadi panggung penuh sorak. Tangan-tangan mengangkat poster, menyalakan kamera, mengerubungi besi baja, sambil salah satunya naik ke podium dadakan alias deck mobil bak. Saya kira ada konser amal, ternyata saya lebih banyak mendengar gemuruh amarah dan orasi panjang. Lalu seketika, saya ditarik ke belakang. Mata saya ditutup dengan kain merah.
“Pak?”
“Saya kira sudah di surga.”
“Ah, ngimpi kamu!”
“Masa orang yang seneng teriak-teriak begini masuk surga? Apa ngga berisik penghuni surga nanti mendengar orasi yang saya sebut aspirasi?” Barangkali, ini memang hanya kamar biasa yang punya meja kayu usang dan mesin tik tua. Saya melihat secarik kertas di sana, membawa ingatan saya melompat. Kemudian seseorang menepuk pundak saya dari belakang, “Coba dibaca!” Saya melihat kata pertamanya: Aku, kemudian dibaca seluruh judulnya: (Malu) Jadi Orang Indonesia.
Mantra Magis yang Mengubah Tukang Gojek Jadi Pahlawan: HULK!
Saya menoleh ke belakang, berharap orang tua yang tadi menepuk pundak masih berdiri menunggu saya selesai membaca. Namun, saya hanya melihat tembok lapuk yang kosong. Ini bagian yang paling sulit dijelaskan. Sebab, dalam benak saya, Taufik Ismail bukan sekadar penyair, tetapi melampaui pengenalan kita. Ialah Maestro kami, yang menitipkan penggalan-penggalan suci di atas secarik kertas. Mantra yang menyihir setengah jumlah penduduk menjadi pahlawan dadakan.
Bak sihir simalakama, kata-kata itu menjelma di jalanan Jakarta: sebagian menyalakan semangat, sebagian lagi menyalakan amarah. Sebab si tukang Gojek yang sedang melintas mencari rumah pelanggan tiba-tiba tubuhnya terkapar. Dilindas kendaraan taktis, besar dan gagah. Padahal, di bawah rodanya ada tubuh ringkih, jauh dari gambaran aksi heroik di film Hollywood. Padahal saya berharap si tukang chamek berubah jadi Hulk, sebab sudah memakai jaket hijau! Tetapi sebelum bisa berubah, ternyata sutradara kami punya skenario lain yang tidak ikut-ikutan Marvel. Maka, selamat datang di episode ‘Getir Peluh Demi Bangsa.’
…
Mirip seperti di film-film, apa yang awalnya hanya amarah personal berubah menjadi letupan bara api yang membesar. Lalu kabar lain datang, seorang mahasiswa hilang diseret entah ke mana, yang lainnya ditusuk karena terlibat aksi heroik adu ketangkasan verbal di depan publik. Bahkan, ketika malam hari tidak lagi menjadi waktu beristirahat, banyak wajah-wajah tak dikenal mondar-mandir mencari sesuatu yang tak pernah mereka sebut.
Di lorong kos, di halte bis, bahkan di jalan kecil dengan lampu temaram kuning. Seluruh kejadian menyeret perhatian publik. Maka, muncul pembantahan terang-terangan. Saya khawatir, bagaimana jika bait Maestro kami justru menjadi mantra kutukan, sebab kejadiannya sama persis:
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,
Ah, tapi entahlah! Saya percaya, Maestro bukan orang yang tega memberi mantra kutukan kepada kami. Mungkin saja ini hanya akal-akalan orang kedutaan. Siapa tahu mereka memang sedang gabut, lalu bermain monopoli dan membuat pentas drama. Kan, kita tidak tahu, tidak boleh juga jadi menuduh. Meski banyak ayat-ayat syair Maestro yang menceritakan kejadian Agustus kelabu.
Baca juga: Kamera Dimatikan Saat Penampilan Mokafak Hima Satrasia: Pembungkaman atau Masalah Teknis?
Siapa yang Meninggal?
Kepada siapa saja yang berkomentar dan unjuk rasa. Meski judulnya memang begitu, tetap saja disalahpahami sebagai ‘pemberontakan’ Sebab, memang apapun yang disampaikan terasa seperti suara pengemis, sehingga memang tidak pernah digubris. Kabarnya, itu karena SK kami tidak seberharga mereka yang masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi. ‘Resmi!’ Sebab berdasarkan hasil penghitungan suara setiap lima tahun sekali. Itu pun karena sebagian suaranya menjadi bisnis jual-beli. Sungguh penipuan paling besar, tanpa perasaan bersalah. Tapi ya apa boleh? Toh, memang dari dulu begitu.
Garis waktu telah menjadi benang merah bagi kami. Perihalnya bukan hanya menjadi catatan sejarah, namun menjadi gambaran utama bagaimana mereka telah lama melukis warna merah di atas kain kafan, dengan peti mati yang tak pernah dibelikan. Padahal tempo hari, kami hanya meminta kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250, yang hari ini hanya cukup untuk membeli permen! Apalah daya kami yang hanya meminta kenaikan sebesar 550 perak saja tidak dikabulkan. Sebab langsung datang kabar mengejutkan. Orang hilang! Ditemukan di hutan daerah Wilangan.
Ternyata belum beres ceritanya, sebab di tahun selanjutnya, seorang pria tiba-tiba dikabarkan masuk Rumah Sakit akibat pukulan batang besi di bagian kepala. Karena yang dipukul bukan Terminator, maka langsung saja tempurung otaknya rusak parah! Hanya karena ia terlalu berani menulis sesuatu yang tak disukai. Tapi ya, memang begitu. Itulah yang ditulis oleh Maestro kami:
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak
putus dilarang-larang,
Mengingatkan, ketika salah satu dari kami justru dikirimi paket. Saya kira, kawan kami mendapat hadiah kiriman dari Super Deal. Dag dig dug rasanya hati kami ingin cepat-cepat membuka bungkusan tersebut. Tapi yang ada, kami malah mundur saat tutup bungkusan terbuka. Beberapa dari kami melatah. Sebab kami tak percaya! Tak satu pun orang di dunia berani memberi hadiah ini. Sebab memang terlalu kasar. Tak bisa diucapkan dengan diksi maupun metafora selembut apapun. Saya kira, karena objek hadiah dadakan ini memang tidak punya padanan kata lain. Bahkan satu dunia setuju, ini adalah penghinaan!
Di Negara Kami, Hukum itu Bisnis Dagangan!
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Para penonton yang masih setia mengerubungi Senayan pasti tahu, ada hukum yang dilempar sana-sini, yang diganti karena itu-ini, yang ditetapkan secara tertutup karena katanya rahasia. Seperti meja kasino, kartu-kartu hukum dikocok, dibagikan sesuai taruhan, lalu dibeli dengan uang. Sudah pasti yang menang adalah yang beruntung!
Lalu yang menggunakan seragam abu menjaga pagar depan Senayan, supaya citra baiknya tetap terjaga ke seluruh penjuru negeri sebagai pembela rakyat. Padahal, mereka adalah NPC dari sandiwara orang-orang kedutaan. Sebab mereka sudah lebih dulu sadar, hukum di negeri kami bukan panglima, apalagi dibuat kuat seperti posisi Gadjah Mada. Mereka tidak sedang membangun Majapahit versi modern, mereka membuat tatanan baru. Pokoknya, hukum di negeri kami jadi kasir di pasar malam! Siapa yang punya modal besar, silakan belanja. Siapa yang punya uang silakan antre di jeruji besi panjang.
Namun, entah bagaimana, dari hiruk pikuk Senayan yang gaduh, saya ditarik ke belakang. Mata saya ditutup dengan kain merah. Kali ini tubuh saya sangat lemas. Entah apa ini, saya bingung menjelaskannya. Sebab saya masih tak kuasa untuk membuka mata.
Baca juga: Melihat Film “Sore: Istri dari Masa Depan” melalui Pengalaman Penonton
Mengunjungi Champs-Élysées dan Kembali Menuju Gorong-gorong Jakarta
Barangkali saya kurang tidur karena terbangun di kursi Citroën 2CV yang sedang menggelincirkan keempat rodanya di Champs-Élysées. Masih samar ketika melihat kota yang belum pernah dikunjungi. Sayup orang di luar meneriakkan “T’inquiète” (Jangan khawatir), saya balas “BOF!” (Meh!). Kemudian berlalu begitu saja. Tak ada yang menarik, tak ada yang indah, kecuali mata saya yang terbelalak ketika menatap Arc de Triomphe.
Sopir saya memelankan laju pedal, mungkin supaya saya bisa melihat Napoleon berdiri gagah di sana. Kemudian ia bilang, “T’as capté?” (Apa kamu mengerti?), (menunjuk ke dua air mancur monumental di ujung timur Champs-Élysées), saya balas mengangguk — dalam hati: Oh, Obelisk Luxor, mengingatkan saya tentang Revolusi Prancis.
Saya hanya berandai-andai, besok atau lusa sepertinya Ibu Pertiwi juga akan mengalami revolusi besar-besaran. Sebab pemikiran Tria Politica boleh jadi dianut teman-teman saya. Memperkenalkan demokrasi dan pembagian kekuasaan. Jadi saya berharap, akan dibangun Monumen Obelisk Luxor di Gambir supaya saya bisa bangga dengan yang namanya “Revolusi.”
…
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Maaf, saya hampir lupa. Indonesia juga pernah revolusi di tahun 1998. Namun, tak banyak orang yang mengindahkan sejarah itu rupanya. Sebab, dampaknya tidak sehebat revolusi Prancis maupun Amerika.
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs-Élysées dan Mesopotamia
Bagi mereka, terutama warga Prancis, revolusi bukan sekadar catatan sejarah di buku pelajaran, melainkan jantung yang pernah berdetak hingga mengguncang tahta kerajaan dan menata ulang dunia. Dari Champs-Élysées mereka berteriak “Liberté, Égalité, Fraternité.” Saya kagum, bagaimana teriakan jalanan bisa menjelma menjadi napas bangsa.
Place de la Concorde perlahan memudar, membawa harapan saya yang masih sama:
… akan dibangun Monumen Obelisk Luxor di Gambir supaya saya bisa bangga dengan yang namanya “Revolusi.”
…
Saya mengedipkan mata, Prancis berubah kembali menjadi kubah hijau kusam di bilangan Senayan. Bukan lagi Champs-Élysées, melainkan gorong-gorong Jakarta. Bayangan Napoleon tidak lagi terlihat gagah, sebab digantikan kursi-kursi empuk di dalam gedung yang suka dipakai tidur. Saya terperangah, ternyata yang tadi bukan bagian pelarian ke Paris, melainkan kaca besar yang menyorot wajah negeri sendiri.
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.1998
Penulis: Icha Nur Octavianissa
Editor: Allysa Maulia Rahman
Baca juga: Pendidikan Karakter melalui Literasi: Upaya Hima Satrasia di Desa Pangauban