Larangan rekaman pementasan Hima Satrasia di Mokafak FPBS UPI 2025 menuai polemik: masalah teknis atau bentuk pembungkaman ekspresi mahasiswa?

Kamera Dimatikan Saat Penampilan Mokafak Hima Satrasia: Pembungkaman atau Masalah Teknis?

Selasa, 26 Agustus, dalam acara Masa Orientasi Kampus dan Fakultas (Mokafak) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yang sejatinya menjadi ruang ekspresi mahasiswa justru tercoreng dengan kebijakan panitia. Pada pementasan Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (Hima Satrasia), MC secara tegas mengumumkan bahwa pertunjukan tersebut tidak boleh direkam. Alasannya sederhana: pertunjukan tersebut menyinggung isu politik dengan menghadirkan visual tengkorak bajak laut. 

Keputusan panitia melarang rekaman tidak hanya membatasi dokumentasi, melainkan juga menutup akses publik pada gagasan yang coba ditawarkan mahasiswa Satrasia. Sikap ini mengingatkan pada praktik lama: bungkam dulu, pikir belakangan. Janggal, mengingat kampus sering berkoar sebagai ruang kebebasan akademik.

Kebijakan ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa mahasiswa dilarang mendokumentasikan karya yang sesungguhnya merupakan bagian dari dinamika intelektual dan budaya kampus? Apa yang sebenarnya ditakuti panitia saat mahasiswa berbicara lewat panggung?

Hima Satrasia: “Itu Bentuk Pembungkaman”

Neisya, salah seorang saksi dari Hima Satrasia menuturkan pengalaman membingungkan ketika penampilan mereka diumumkan. Menurutnya, MC menyampaikan larangan kepada audiens untuk tidak merekam penampilan berikutnya.

“Waktu MC announce penampilan Satrasia, dia bilang ke audiens, terutama ke mahasiswa baru: ‘Janji ya buat nggak ngerekam penampilan selanjutnya.’ Aku dan teman-teman bingung karena sebelumnya nggak ada pemberitahuan bahwa penampilan kita dilarang direkam,” ujarnya.

Ia mengaku perasaan bingung itu berkembang menjadi marah. “Aku takut kenapa-kenapa kalau ngerekam, soalnya nggak jelas ini larangan dari panitia atau dari himpunan. Rasanya aneh, seperti seolah-olah kita melakukan hal yang salah. Padahal itu cara kita memberi tahu ke semua orang bahwa ada lho yang seperti ini di UPI,” jelasnya.

Menurutnya, pelarangan itu bisa dibaca sebagai tindakan membungkam kebebasan berekspresi. “Apa yang kami tampilkan terinspirasi dari kejadian nyata. Seharusnya jangan ditutup-tutupi. Dengan melarang rekaman, panitia Mokafak seperti nggak mau orang luar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu sama saja pembungkaman. Kami hanya menuangkan keresahan lewat karya,” ungkapnya.

Fiqah, mahasiswa baru Satrasia 2025 yang turut menyaksikan, juga mengaku kaget ketika larangan rekaman diumumkan. “Kenapa gitu nggak boleh merekam? Setahuku dari panitia Mokafak juga tidak ada kriteria yang mengatur penampilan harus seperti apa. Menurutku, apa yang ditampilkan Satrasia itu tidak salah, malah sangat berani menyuarakan keresahan mahasiswa,” katanya.

Ia menilai drama Satrasia memiliki arti penting karena menggambarkan realitas yang layak dibahas. “Bahkan ada dosen yang menonton, artinya dosen pun tahu apa yang ditampilkan. Kalau direkam dan diposting, apakah itu akan merusak nama FPBS atau UPI? Menurutku tidak. Justru itu bentuk transparansi, menunjukkan mahasiswa peduli terhadap situasi kampus. Seharusnya diberikan kebebasan untuk merekam selama itu positif,” tambahnya.

Baca juga: Pendidikan Karakter melalui Literasi: Upaya Hima Satrasia di Desa Pangauban

Ketua Hima Satrasia: “Ini Bentuk Pembungkaman, Bukan Sekadar Alasan Teknis”

Zibal, Ketua Umum Hima Satrasia, langsung mendatangi Ketua Pelaksana Mokafak setelah kejadian. Ia mempertanyakan alasan pelarangan yang hanya diterapkan pada penampilan Satrasia. “Mas, naha Satrasia nggak boleh direkam? Masa himpunan lain boleh, tapi Satrasia nggak?” tanyanya.

Namun, ia kurang puas dengan jawaban dari ketuplak Mokafak. “Urang Kecewa sih, tidak puas dengan alasan yang dikemukakan ketuplak. Kalo benar cuma soal keterlambatan pengiriman konsep, itu alasan yang kurang kuat. Kami memang sibuk dengan urusan internal, tapi tetap ada landasan kenapa ada keterlambatan,” jelas Zibal.

Ia menilai pelarangan itu bisa terkait dengan sensitivitas tema yang dibawakan. “Dengan situasi politik yang genting, sangat mungkin kebebasan berekspresi ditahan. Kalau panitia merasa ini tidak aman, seharusnya tetap ada koordinasi, bukan serta-merta melarang rekaman. Itu sama saja dengan pembungkaman,” tegasnya.

Zibal juga mengkritik sikap Kema FPBS yang dinilai tidak konsisten dengan jargon “Kampus perjuangan, progresif dan revolusioner”. “Keputusannya nggak mencerminkan prinsip itu, penampilan Satrasia di setiap tahunnya selalu membawakan keresahan dengan melihat kondisi objektif yang ada. Ketika dilarang, artinya ada pembatasan dalam kebebasan berekspresi,” katanya.

Simbol tengkorak bajak laut yang digunakan Hima Satrasia sendiri bukan sekadar dekorasi panggung. Di luar kampus, visual ini dikenal luas sebagai simbol perlawanan populer lewat budaya One Piece dan telah dipakai mahasiswa maupun seniman di berbagai aksi sebagai tanda protes terhadap ketidakadilan. Di Indonesia, bendera ini bahkan sempat dikibarkan dalam demonstrasi dan menjadi sorotan media internasional. Larangan merekam dalam kacamata Satrasia, berarti memutus kemungkinan dialog publik yang lebih luas atas keresahan yang mereka representasikan.

Panitia Mokafak: Keputusan Demi Mitigasi Risiko

Berbeda dengan Satrasia, Ketua Pelaksana Mokafak FPBS UPI 2025, Derin, menegaskan bahwa keputusan melarang rekaman murni karena faktor teknis. “Setiap himpunan wajib mengirim konsep sesuai deadline. Satrasia terlambat, sehingga panitia belum pegang detail, termasuk visual dan sound,” ujarnya.

Menurut Derin, Satrasia juga tidak mengikuti briefing logistik dan ketika hari acara, panitia baru mengetahui soal visual tengkorak sekitar sepuluh menit sebelum pementasan. “Itu mendadak sekali. Operator bingung karena visual bisa bentrok dengan tampilan lain di layar. Jadi aku putuskan penampilan tetap jalan, tapi rekaman dilarang,” jelasnya.

Derin juga menyadari keputusan tersebut diambil semata-mata untuk mitigasi risiko demi kelancaran acara. “Istilah kasarnya mah kalau kalian mati, kita juga mati. Jadi mitigasi risiko yang paling aman saat itu ya lebih baik tampilkan saja, tapi tanpa di video,” ungkapnya.

Ia menegaskan panitia tidak merasa takut dengan isu yang dibawakan. “Dari panitia nggak ada ketakutan apa-apa. Kami sudah mikir juga bahwa Satrasia dari tahun ke tahun biasanya simulasi aksi, dan itu oke-oke saja. Jadi bukan karena takut, tapi karena mendadak sehingga responnya keluar berupa pelarangan rekaman,” katanya.

Setelahnya ia mengungkapkan ada upaya mediasi dari panitia kepada ketua umum Hima Satrasia dan menjelaskan alasan larangan perekaman. “Beres itu aku dan Ivan memberikan penjelasan langsung kepada ketua Hima Satrasia dan kami ngobrol istilahnya melakukan mediasi supaya ada keterangan di balik ini semua,” tambahnya.

Baca juga: Vox Populi, Vox Dei: Suara Tuhan yang Dibalas Kematian

Ketika Kamera Dimatikan, Ekspresi Ikut Dipadamkan

Meski alasan teknis diutarakan panitia, larangan dokumentasi atas sebuah pementasan berbasis isu sosial menimbulkan tanda tanya lebih besar. Kampus seharusnya menjadi ruang aman untuk menyampaikan kritik, bukan membatasi dokumentasi yang justru bisa memantik diskusi lebih luas. Terlebih lagi, jargon “Kampus perjuangan, progresif dan revolusioner” yang kerap digaungkan di forum mahasiswa justru runtuh ketika ekspresi mahasiswa sendiri dibatasi.

Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Amnesty International Indonesia pada Agustus 2025, yang menegaskan bahwa pembatasan dokumentasi dinilai sebagai bentuk intimidasi dan berpotensi melanggar kebebasan berekspresi. Amnesty bahkan mengecam razia aparat terhadap simbol Jolly Roger karena dianggap membungkam ruang kritik publik. Dengan merujuk pada hal itu, kebijakan panitia Mokafak melarang rekaman penampilan Satrasia bukan hanya sekadar soal teknis, melainkan cermin dari pola pembatasan ekspresi yang mestinya tidak terjadi di ruang akademik.

Kema FPBS: “Semoga Media Ini Bisa Mendamaikan”

Ivan, Ketua Umum Keluarga Mahasiswa (Kema) FPBS menilai polemik ini wajar menimbulkan perasaan tidak enak bagi Satrasia. “Kalau saya di posisi himpunan, pasti ada rasa sakit hati, apalagi di depan mahasiswa baru. Saya juga merasa sedih sekaligus marah kalau dilarang merekam,” ujarnya.

Meski begitu, ia menekankan bahwa alasan panitia sudah dijelaskan dengan jelas. “Kami mah setuju visual ini buat ditayangin, cuma karena kedesak sama waktu ya sudah, kita ngehold jangan main hape, dan kesepakatan ga boleh ngerekam atau dokumentasiin itu sebenernya udah ada pas hari pertama mokaku,” katanya.

Ia pun menyampaikan permohonan maaf kepada Satrasia. “Saya sebagai Ketum Kema merasa nggak enak hati. Semoga media ini bisa mendamaikan keduanya. Kami minta maaf jika kejadian ini menyinggung perasaan teman-teman Satrasia,” tutupnya. 

Kreativitas Didukung, Ekspresi Dibungkam

Larangan rekaman terhadap pentas Satrasia dalam acara Mokafak FPBS 2025 memperlihatkan paradoks di ruang akademik. Di satu sisi, mahasiswa didorong untuk kreatif dan kritis. Namun di sisi lain, ekspresi itu dibatasi dengan alasan teknis yang mendadak. 

Dalih keterlambatan konsep atau risiko logistik tidak cukup kuat untuk menutupi fakta bahwa yang dicegah bukan sekadar visual, melainkan akses publik terhadap pesan kritis yang ingin disampaikan. Bagi banyak mahasiswa, termasuk saksi yang hadir, larangan itu terasa seperti stempel “Berbahaya” pada karya mereka sendiri. Padahal, seni dan pementasan semacam itu justru merupakan sarana paling sehat untuk mengolah keresahan sosial di kampus.

Pertanyaan yang tersisa kemudian sederhana: Apakah larangan rekaman ini benar-benar lahir dari persoalan teknis yang mendesak, atau justru menjadi cara halus untuk membungkam ekspresi yang dianggap terlalu tajam? Pada akhirnya, publik yang harus menilai, apakah kebebasan berekspresi masih dilindungi, atau perlahan sedang dikorbankan atas nama keteraturan sebuah acara.

Penulis: Saddam Nurhatami
Editor: Allysa Maulia Rahman

Baca juga: Melihat Film “Sore: Istri dari Masa Depan” melalui Pengalaman Penonton