Beberapa tahun belakangan selepas mengampu mata kuliah Pergelaran Kesusastraan, saya selalu memikirkan, “Di mana batasan pembeda antara Pergelaran Kesusastraan dan Teater?” Sepertinya, Pergelaran Kesusastraan adalah bagian dari kata “Teater” sebagai pertunjukan. Entah sejak kapan Pergelaran Kesusastraan melulu menjadi sebuah keharusan diadakan.
Bentuk dari sastra pun masih ada puisi dan prosa. “Kalau puisi dan prosa kan gak bisa dijadiin pertunjukan,” pernyataan yang mungkin saja dilontarkan oleh siapa saja saat saya bicara bentuk sastra yang lain. Pertanyaan lain muncul di kepala saya, “Mengapa mahasiswa prodi Bahasa Indonesia (eh apa sih nama prodi itu?) harus membuat pertunjukan?” Selama saya berada di prodi itu, saya melihat gagasan-gagasan yang mentah yang dibuat pada banyak pertunjukan, baik yang naskah drama asli maupun yang adaptasi.
Masihkah relevan Pergelaran Kesusastraan menjadi mata kuliah yang harus diadakan?
Melihat gagasan-gagasan yang mentah dan dibawa ke atas pentas, seharusnya dosen-dosen pengampu dapat meninjau kembali mengenai relevansi diadakannya kembali mata kuliah ini. Apalagi yang menggunakan naskah drama, harusnya bukan sebuah kewajiban bagi mahasiswa Bahasa Indonesia membuat pertunjukan teater. Bukan tidak boleh, tetapi mengapa harus dijadikan mata kuliah yang sudah pasti A? Para dosen harusnya bisa melihat gagasan-gagasan yang mentah ini sebagai tamparan keras yang menghantam masing-masing muka mereka.
Baca juga: Lelucon-Lelucon Ganjil Pergelaran Kesusastraan
Hal yang harus dipertanyakan kembali adalah, “Adakah diskusi kesusastraan pada mahasiswa Bahasa Indonesia? Jika ada, bagaimana diskusi kesusastraannya? Apakah pembahasan-pembahasan tentang perkembanganny berjalan dengan baik pada mahasiswa Bahasa Indonesia? Adakah ruang pengembangan bagi gagasan-gagasan yang dimiliki mahasiswa Bahasa Indonesia?
Ruang atas kajian kesusastraan, diskusi kesusastraan, dan juga penulisan teks sastra harus hadir jika dosen-dosen ingin gagasan-gagasan yang kuat hadir dari mahasiswa Bahasa Indonesia. Hal-hal tersebut bisa dihadirkan dalam kurikulum setiap prodi, mengingat beberapa persoalan yang dipaparkan di atas. Karena sudah jelas Pergelaran Kesusastraan sudah tidak lagi relevan bagi Mahasiswa Bahasa Indonesia. Prodi Bahasa Indonesia pun sepertinya begitu kekurangan penulis-penulis yang andal. Bukankah jarang sekali mahasiswa Bahasa Indonesia yang getol menulis naskah drama? Jelas kita kekurangan penulis, bukan pergelarannya!
“Aduh, tulisan ini terlalu banyak pertanyaan mengenai kurikulum, tanpa si penulis pernah membuatnya,” pernyataan yang mungkin saja dilontarkan oleh siapa saja pada tulisan ini. Aduh, pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dilontarkan oleh si penulis di kelas, karena ia keburu kelar dari segala urusan di kelas.
Baca juga: KRISIS ADVOKASI DI FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
Penulis: Angga