Mampu berkuliah di perguruan tinggi adalah cita-cita banyak orang. Segala cara dilakukan untuk dapat berkuliah di perguruan tinggi favorit. Mulai dari memperbanyak wawasan, mencari penghasilan tambahan, sampai berusaha masuk lewat pintu belakang. Manusia hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang menentukan. Azeg.
Menjadi mahasiswa tidak serta-merta menjadikan seseorang bertambah dewasa -contohnya dalam menentukan pilihan- a.k.a labil. Sebagai anak muda, kelabilan tentu adalah hal yang wajar, termasuk dalam menentukan jawaban dari pertanyaan, “Mau jadi apa nanti?” Pertanyaan semacam itu mungkin dirasakan juga oleh beberapa mahasiswa Depdiksatrasia, khususnya dalam menentukan konsentrasi apa yang akan dipilih: sastra atau linguistik.
Konsentrasi sastra atau linguistik sebenarnya sama baiknya, sama-sama menyuguhkan ilmu dan praktik yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Masalahnya adalah: bagaimana jika tidak tertarik sama sekali dengan sastra atau linguistik?
Ya itu salah sendiri, ngapain masuk prodi Bahasa dan Sastra Indonesia?
Jawaban di atas tentu tak dapat disalahkan. Walaupun terlihat seperti sebuah candaan, tetapi ada benarnya juga. Namun, karena tulisan ini dimuat di media kampus yang tersohor dan dibaca kalangan akademik, maka jawaban yang dihadirkan perlu akademik juga.
Oke, kita ulang.
…. Masalahnya adalah: bagaimana jika tidak tertarik sama sekali dengan sastra atau linguistik?
Perdalam mata kuliah umum, khususnya kewirausahaan.
Baca juga: Demokrasi Kampus: Gerbang Awal Solusi dari Masalah di UPI
Sepanjang empat semester yang sudah saya jalani, terdapat beberapa mata kuliah yang sedikit membuat saya harus mengernyitkan dahi.
“Ini mata kuliah apa, sih, kok gak ada nyambung-nyambungnya sama bahasa atau sastra?”
“Dari SD sampe kuliah ketemu ini lagi”
“….”
“….”
Mulai dari mata kuliah Bahasa Inggris, Landasan Pendidikan, Pendidikan Agama Islam, Olahraga, sampai Kewirausahaan. Khusus mata kuliah yang terakhir, berhasil membuat saya menemukan jawaban mengapa pihak fakultas memaksa kita semua memahami mata kuliah yang sedikit—bahkan hampir tidak ada—korelasinya dengan prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Pihak kampus—khususnya Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra—sadar: tidak semua mahasiswa punya cita-cita yang relevan dengan prodi yang dipilih.
Disclaimer: jawaban ini hanya hasil cocokologi tanpa didasarkan penelusuran yang kompeten. Pembaca disarankan mencari sumber yang lebih tepercaya agar dapat mengetahui alasan pasti dari permasalahan—yang sebenarnya bukan masalah serius—ini.
Memperdalam mata kuliah Kewirausahaan adalah satu cara yang bisa dipilih oleh mahasiswa Depdiksatrasia yang masih bingung dalam menentukan tujuan setelah lulus nanti. Mata kuliah ini memberikan pengetahuan tentang kewirausahaan, kiat-kiat berwirausaha, praktik-praktik dalam berwirausaha, dan lain-lain. Berbekal modal dan tekad yang kuat, bukan tidak mungkin mahasiswa Depdiksatrasia bisa menjadi seorang wirausahawan yang sukses, amin. Gelar sarjana sastra yang didapat anggaplah sebagai pengalaman pendewasaan diri dan perluasan pemikiran.
Cara ini hanya berlaku bagi mahasiswa yang masih labil dalam menentukan masa depannya saat lulus nanti. Tak menutup kemungkinan, cara ini juga dilakukan mahasiswa yang walaupun sudah memiliki tujuan pasti dan istiqomah selepas lulus, ingin menyiapkan plan B kalau gelar yang didapat nanti hanya akan membuat mereka AFK (away from kerjaan).
Teruntuk Ibu Dra. Novi Resmini, M.Pd., tulisan ini tidak mengandung maksud apa-apa. Tulisan ini hanya curcol belaka. Tolong nilai saya jangan dijadikan “E”—kalau dijadikan “A”, saya tak keberan kok, Bu.
Baca juga: Lebih Pilih yang Mana? Dikasih Duit Beli Kuota atau Dikasih Kuota?
Penulis: Daffa Imam Naufal