Harga Pasar bagi Petani Desa Pangauban Jadi Penentu Benang Kehidupan Sehari-hari. Foto didokumentasikan oleh Hima Satrasia FPBS UPI 2025.

Merajut Benang Kehidupan Petani Desa Pangauban: Saat Harga Pasar Menjadi Penentu

Pendahuluan

Lima hari empat malam kami menginjakkan kaki di Desa Pangauban. Perjalanan menuju desa ini tidaklah mulus: jalanan berlubang, suasana sepi, dan hawa dingin yang menembus tebalnya selimut menjadi teman setia di perjalanan. Namun, semua keluhan seketika sirna saat tiba di tempat tujuan. Sambutan ramah warga, pemandangan alam yang memanjakan mata, dan interaksi sosial yang hangat membuat desa ini terasa seperti rumah kedua. Inilah awal kami menyadari bahwa harga pasar menjadi penentu benang kehidupan petani Desa Pangauban.

Di desa ini, nilai-nilai religius tampak kental, memengaruhi perilaku sosial dan mempererat hubungan antarwarga. Tanahnya yang subur, berpadu dengan tradisi bertani yang diwariskan sejak masa buyut, menjadikan pertanian sebagai nadi kehidupan masyarakat. Namun, di balik kesuburan tanah, tersimpan keresahan yang mengendap. Hasil panen para petani kerap ditentukan oleh fluktuasi harga pasar, yang tak jarang merugikan mereka.

Setiap kali membawa gabah atau sayuran ke Pasar Caringin, petani Desa Pangauban harus menerima kenyataan pahit: keuntungan yang mereka dapatkan sering kali tak sebanding dengan tenaga, waktu, dan biaya yang telah dikeluarkan. Panjangnya rantai distribusi dan ketatnya persaingan harga membuat mereka berada di posisi tawar yang lemah.

Meski begitu, banyak yang memilih bertahan. Pertanian bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga warisan leluhur dan sumber identitas desa. Beberapa menanam tanaman sela, sebagian memanfaatkan hasil tani untuk kebutuhan sendiri, dan semuanya saling membantu ketika harga jual jatuh.

Kehidupan Sederhana Menjadi Kunci untuk Bertahan Hidup

Bertani di Pangauban membutuhkan modal besar dengan risiko yang sama besarnya. Untuk menanam bawang daun di lahan seluas 250 tumbak, modal yang dibutuhkan bisa mencapai Rp20–75 juta, dengan potensi kerugian hingga Rp15–20 juta ketika harga pasar merosot. Bibit bawang daun pernah dibanderol Rp24.000–37.700 per kilogram, menambah beban biaya bagi petani.

Kepemilikan lahan yang tidak merata memperlebar jurang pendapatan. Petani dengan lahan luas memiliki peluang lebih besar untuk meraih keuntungan, sedangkan petani berlahan sempit dan buruh tani harus puas dengan upah harian: sekitar Rp35.000 untuk perempuan dan Rp60.000 untuk laki-laki.

Komoditas utama seperti bawang daun, jagung, dan padi sangat rentan terhadap fluktuasi harga. Bawang daun, yang menjadi andalan pemasukan, pernah anjlok ke harga Rp1.000 per kilogram—membuat kerugian mencapai belasan juta rupiah dalam satu musim panen. Jagung pun tak luput dari gejolak harga, dengan harga desa Rp3.000–7.000 per kilogram, sementara di pasar besar bisa menembus Rp15.000. Sayangnya, sebagian besar keuntungan itu berakhir di tangan pengepul, karena keterbatasan modal dan transportasi membuat petani jarang menjual langsung ke pasar.

Harga Pasar Menggenggam Nasib Petani Pangauban

Bagi petani Desa Pangauban, harga pasar ibarat arus deras yang sulit dikendalikan. Naiknya membawa kebahagiaan, turunnya menyeret ke pusaran kerugian. Fluktuasi ini bukan kebetulan, melainkan akibat dari permasalahan yang telah mengakar.

Ketergantungan pada tengkulak menjadi salah satu penyebab utama. Minimnya akses transportasi dan jaringan pembeli membuat sebagian besar petani menjual hasil panen kepada pengepul. Harga yang mereka terima jauh dari nilai pasar. “Ke pasar mah jarang, ongkos sama waktuna teu aya,” ungkap seorang petani bawang daun.

Tingginya biaya modal pun menjadi beban berat. Modal untuk menanam bawang daun di lahan 250 tumbak bisa menembus Rp70–75 juta. Ketika harga bibit mencapai Rp37.700 per kilogram, banyak petani terpaksa meminjam modal dengan bunga tinggi.

Ketimpangan kepemilikan lahan memperparah keadaan. Petani besar lebih mampu bertahan, sedangkan pemilik lahan sempit dan buruh tani sering harus mencari pekerjaan tambahan di luar desa. Infrastruktur jalan yang rusak menambah ongkos distribusi, sementara bantuan sosial kerap tidak tepat sasaran. “Kadang mah nu boga lahan gede nu meunang bantuan, nu leutik mah teu kabagean,” keluh seorang warga.

Strategi Bertahan Petani Pangauban Menghadapi Harga Pasar

Menghadapi kerasnya persaingan pasar, para petani berusaha mandiri. Mereka menanam berbagai jenis tanaman—bawang daun, padi, jagung, tomat—untuk mengurangi risiko kerugian. Jika harga satu komoditas jatuh, masih ada yang lain untuk dijual atau dikonsumsi sendiri.

Sebagian warga mencari penghasilan tambahan di luar sektor pertanian: membuka warung, berjualan sayur, atau bekerja di kota. Petani kecil juga mulai memanfaatkan limbah ternak dan sisa panen untuk membuat pupuk organik, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal.

Kerja sama bagi hasil menjadi salah satu solusi. Petani besar mengajak buruh tani menggarap lahan dengan pembagian hasil panen yang adil. Bahkan, lahan tidur pun dihidupkan kembali lewat skema ini. Selain menciptakan pendapatan baru, hubungan sosial antarwarga juga semakin erat.

Penutupan

Petani Desa Pangauban hidup di tanah yang subur, tetapi nasib mereka sering digenggam oleh harga pasar. Modal besar, risiko kerugian tinggi, ketimpangan lahan, dan infrastruktur yang buruk menjadi tantangan sehari-hari. Namun, di tengah keterbatasan, mereka menunjukkan daya juang: mendiversifikasi tanaman, berinovasi dengan pupuk organik, dan membangun kerja sama yang saling menguntungkan.

Dengan dukungan pemerintah melalui pembiayaan ringan, pelatihan teknologi ramah lingkungan, dan akses pasar yang adil, Desa Pangauban berpotensi menjadi komunitas pertanian yang mandiri dan sejahtera. Semangat gotong royong dan adaptasi yang telah menjadi ciri khas desa ini adalah benang kuat yang akan terus merajut kehidupan mereka.

Baca Juga: Tragedi Banjir Sumatra 2025: UPI Bebaskan UKT Mahasiswa Terdampak

Feature ditulis oleh Kelompok 7 P2M Hima Satrasia FPBS UPI 2025, di antaranya Zachira Nur Rizkia, Fadhia Davina Putri, Latifa Nurul Azmi, Alya Nursyifa Azizah, Zahrah, Nabil Atiqi Putra Amory, Farand Fahd El-Jabbar, Atikah Syahira, dan Delvian Nur Septa Cahyadi.

Editor: Alma Fadila Rahmah